Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ademnya Ngaji Pada Orang-orang "Kafir"

8 Juli 2015   17:02 Diperbarui: 8 Juli 2015   17:21 4707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Gusti Allah ora ndeso”, begitu petuah Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun yang di-share beberapa teman lewat akun Facebook-nya. Gusti Allah ora ndeso atau Allah tidak kampungan sebenarnya sudah menyebar sejak 2008. Saya sendiri tahu “Gusti Allah ora ndeso” dari artikel yang ditulis oleh Dewa Gilang. Gilang mem-publish-nya pada 16 Desember 2012, bertepatan dengan hari ulang tahun saya.

“Gusti Allah ora ndeso” bercerita tentang Cak Nun yang ditanyai pilihannya ketika pada saat yang bersamaan harus mengantar pacarnya berenang, shalat Jumat berjamaah di masjid, dan mengantar ke rumah sakit tukang becak miskin yang mengalami kecelakaan tabrak lari. “Mana yang Sampeyan pilih?” todong si penanya.

Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”

“Tapi, sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya.

“Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu.” jawab Cak Nun. (Lengkapnya bisa dibaca di http://ads.id/forums/archive/index.php/t-15196.html)

Jawaban yang dijelaskan Cak Nun sangat gamlang. Cak Nun pun membeberkan dengan jelas alasan kenapa lebih mengutamakan mengantar tukang becak yang membutuhkan pertolongan ketimbang menunaikan kewajiban shalat Jumat. Sekalipun Cak Nun menguraikannya dengan tidak sedikit pun mencukil ayat-ayat Al Quran atau Hadist Nabi, tetapi jawabannya sungguh “cespleng”, melegakan serta menyejukkan.

Tuhan, kata Cak Nun, tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Sebenarnya bukan hanya pada diri manusia, Tuhan ada di semua ciptaannya, termasuk seoker anjing. Ingat saja hadist yang mengatakan seorang pelacur masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Nabi tidak menyebut agama yang dianut si pelacur. Namun apapun agamanya pelacur adalah pendosa, toh si pendosa itu bisa masuk surga hanya dengan memberi minum ciptaan Allah yang kehausan.

“Gusti Allah ora ndeso” hanya satu dari sekian banyak petuah Cak Nun yang mampu mencerahkan. Tapi, menariknya, Cak Nun kerap dituding kafir oleh sebagian orang. Sebagai “kafir” nama Cak Nun kerap disebut bersamaan dengan nama tokoh-tokoh lainnya seperti Buya Safii Maarif, Said Aqil Siradj, Ulil Abshar Abdalla, Mustofa Bisri, Quraish Shihab, dan tentu saja dedengkotnya: Gus Dur.

Anehnya, saya merasa lebih adem mengaji pada tokoh-tokoh yang sering dikatai sebagai kafir ini ketimbang kepada ulama-ulama yang mengafirkan mereka. Di Kompasiana sendiri saya mendapat banyak pencerahan dari  tulisan-tulisan Dewa Gilang, penulis yang sering dituding kafir oleh sejumlah Kompasianer.

Sekarang jejeran orang kafir bertambah satu setelah Ade Armando menyatakan kalau Allah tidak mengharamkan LGBT, karena yang dilaknat Allah adalah perilaku hubungan seksual yang kasar. Karena saya mendukung pendapat Ade, belasan inbox yang isinya juga mengafirkan, saya terima lewat Facebook. Dan, seperti biasa tidak ada satu pun dari inbox itu yang saya balas. Hanya saya lebih beruntung, tidak satu pun inbox yang isinya mengancam membunuh seperti ancaman kepada Ade lewat akun Twitter-nya.

Bagi saya pendapat Ade tidak salah. Kenapa? Sebab sejak lama saya yakin jika manusia dilahirkan ke dunia dalam keadaan suci, bersih tanpa noda. Nah, kalau homo/biseksual dilaknat oleh Allah, itu sama saja Allah melaknat manusia sejak ia masih berbentuk janin. Bahkan lebih dari itu, Allah telah melaknat manusia ketika sperma dan ovum pembawa gen homo/biseksual menyatu. Jadi dengan pendapat Ade, saya lebih meyakini kalau tidak satu pun bayi yang dilahirkan dengan membawa dosa, apalagi laknat. Dan yang dilaknat Allah adalah perbuatan yang dilarangnya. Poin inilah yang tidak ditangkap oleh penghujat Ade.

Dan tanpa disadari, saya telah mengaji pada Ade yg diteriaki kafir itu. Sekali lagi saya mendapat pencerahan dari orang “kafir”. Hati pun jadi adem lagi.

Ngaji pada orang “kafir” memang bikin saya adem, tapi mungkin bagi sebagian orang sebaliknya. Tengok saja kisah yang juga di-share teman lewat facebook ini.

Suatu hari ada kiyai-kiyai NU kumpul di sebuah pondok pesantren. Saat itu Mbah Yai Ahmad Mustofa Bisri ingin menerangkan tentang awal mula kesalahan beragama.

Beliau melemparkan pertanyaan, “PPP, PDI, dan Golkar itu wasilah (jalan/sarana) atau ghoyyah (tujuan akhir)?”

Para kiyai pun serempak menjawab dengan mantap, “Wasilah!”. Ada yang saking mantapnya, jadi malah setengah berteriak.

Kiyai sepuh ini ( Mustofa Bisri) memberikan Pujian, “Nilai 100 untuk bapak-bapak kiyai.”

“NU, Muhammadiyah, dan semacamnya itu wasilah atau ghoyyah?” Mbah Mustofa Bisri bertanya lagi.

Para kiyai kemudian menjawab pelan agak ragu-ragu, “Wasilah...”

Gus Mus hanya tersenyum mendengar nada jawaban para kiyai yang mulai terasa berubah.

Pertanyaan terakhir, Mbah Mustofa Bisri pun bertanya Kembali , “Islam, Katholik, Hindu, dan semacamnya itu wasilah atau ghoyyah

Seketika itu pula ruangan menjadi hening. Tidak ada kiyai yang menjawab. Mbah Mustofa sampai mengulangi pertanyaannya tiga kali, para kiyai tersebut tetap hanya diam.

Kemudian ada kiyai yang balik bertanya, “Kalau pendapat Gus Mus sendiri bagaimana?”

Dengan mantap beliau menjawab, “Agama Islam adalah wasilah.”

Para kiyai kemudian ribut sendiri, “Lho, bagaimana bisa agama Islam adalah wasilah?!”

Sekali lagi, dengan mantap, Mbah Yai Ahmad Mustofa Bisri menjawab penuh kharisma,

“Karena ghoyyah-nya (tujuannya) adalah Allah.” Seketika itu pula, semua kiyai di ruangan tersebut kembali diam semua.

Karenanya, di berbagai kesempatan, Mbah Mustofa Bisri menasehati nahdliyyin untuk selalu menghormati umat beragama lain. Bagaimanapun juga, umat beragama lain pada dasarnya sama seperti umat muslim, yaitu sedang berusaha menuju-Nya. Semua pilihan orang lain harus dihargai, seperti diri kita ingin dihargai memilih wasilah agama Islam.

Nah, kalau saya merasa adem membaca kisah di atas. Tapi, bagi sebagian orang akan memrotesnya keras sebab menganggap Gus Mus telah menyejajarkan semua agama, atau Islam sama dengan agama lainnya.

Saking, mungkin, saking jengahnya dengan tudingan kafir dan lainnya, Gus Mus yang juga penyair ini pun meluapkannya dalam sebuah puisi.yang menurut saya kocak menggelitik, judulnya "Aku Harus Bagaimana ?"

Begini isi puisinya.

 Aku pergi tahlil, kau bilang itu amalan jahil

Aku baca shalawat burdah, kau bilang itu bid’ah

Lalu aku harus bagaimana…?

Aku bertawasul dengan baik, kau bilang aku musrik

Aku ikut majlis zikir, kau bilang aku kafir

Lalu aku harus bagaimana…?

Aku shalat pakai lafadz niat, kau bilang aku sesat

Aku mengadakan maulid, kau bilang tak ada dalil yang valid

Lalu aku harus bagaimana…?

Aku gemar berziarah, kau bilang aku alap-alap berkah

Aku mengadakan selametan, kau bilang aku pemuja setan

Lalu aku harus bagaimana…?

Aku pergi yasinan, kau bilang itu tak membawa kebaikan

Aku ikuti tasawuf sufi, malah kau suruh aku menjauhi

Ya sudahlah… aku ikut kalian…

Kan ku pakai celana cingkrang, agar kau senang

Kan kupanjangkan jenggot, agar dikira berbobot

Kan ku hitamkan jidat, agar dikira ahli ijtihad

Aku kan sering menghujat, biar dikira hebat

Aku kan sering mencela, biar dikira mulia

Ya sudahlah… aku pasrah pada Tuhan yang ku sembah… !!

Pusi Gus Mus dicopas dari http://kuntawiaji.tumblr.com/post/31205969884

Sumber foto : mamatzone.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun