“Gusti Allah ora ndeso”, begitu petuah Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun yang di-share beberapa teman lewat akun Facebook-nya. Gusti Allah ora ndeso atau Allah tidak kampungan sebenarnya sudah menyebar sejak 2008. Saya sendiri tahu “Gusti Allah ora ndeso” dari artikel yang ditulis oleh Dewa Gilang. Gilang mem-publish-nya pada 16 Desember 2012, bertepatan dengan hari ulang tahun saya.
“Gusti Allah ora ndeso” bercerita tentang Cak Nun yang ditanyai pilihannya ketika pada saat yang bersamaan harus mengantar pacarnya berenang, shalat Jumat berjamaah di masjid, dan mengantar ke rumah sakit tukang becak miskin yang mengalami kecelakaan tabrak lari. “Mana yang Sampeyan pilih?” todong si penanya.
Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”
“Tapi, sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya.
“Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu.” jawab Cak Nun. (Lengkapnya bisa dibaca di http://ads.id/forums/archive/index.php/t-15196.html)
Jawaban yang dijelaskan Cak Nun sangat gamlang. Cak Nun pun membeberkan dengan jelas alasan kenapa lebih mengutamakan mengantar tukang becak yang membutuhkan pertolongan ketimbang menunaikan kewajiban shalat Jumat. Sekalipun Cak Nun menguraikannya dengan tidak sedikit pun mencukil ayat-ayat Al Quran atau Hadist Nabi, tetapi jawabannya sungguh “cespleng”, melegakan serta menyejukkan.
Tuhan, kata Cak Nun, tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.
Sebenarnya bukan hanya pada diri manusia, Tuhan ada di semua ciptaannya, termasuk seoker anjing. Ingat saja hadist yang mengatakan seorang pelacur masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Nabi tidak menyebut agama yang dianut si pelacur. Namun apapun agamanya pelacur adalah pendosa, toh si pendosa itu bisa masuk surga hanya dengan memberi minum ciptaan Allah yang kehausan.
“Gusti Allah ora ndeso” hanya satu dari sekian banyak petuah Cak Nun yang mampu mencerahkan. Tapi, menariknya, Cak Nun kerap dituding kafir oleh sebagian orang. Sebagai “kafir” nama Cak Nun kerap disebut bersamaan dengan nama tokoh-tokoh lainnya seperti Buya Safii Maarif, Said Aqil Siradj, Ulil Abshar Abdalla, Mustofa Bisri, Quraish Shihab, dan tentu saja dedengkotnya: Gus Dur.
Anehnya, saya merasa lebih adem mengaji pada tokoh-tokoh yang sering dikatai sebagai kafir ini ketimbang kepada ulama-ulama yang mengafirkan mereka. Di Kompasiana sendiri saya mendapat banyak pencerahan dari tulisan-tulisan Dewa Gilang, penulis yang sering dituding kafir oleh sejumlah Kompasianer.
Sekarang jejeran orang kafir bertambah satu setelah Ade Armando menyatakan kalau Allah tidak mengharamkan LGBT, karena yang dilaknat Allah adalah perilaku hubungan seksual yang kasar. Karena saya mendukung pendapat Ade, belasan inbox yang isinya juga mengafirkan, saya terima lewat Facebook. Dan, seperti biasa tidak ada satu pun dari inbox itu yang saya balas. Hanya saya lebih beruntung, tidak satu pun inbox yang isinya mengancam membunuh seperti ancaman kepada Ade lewat akun Twitter-nya.