Minggu kemarin 5 Juli 2015 Jokowi terlihat kompak dengan Rini Sumarno. Keduanya hadir untuk meresmikan meresmikan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang 1x35 megawatt (MW), di Garut, Jawa Barat.
Sebelum meresmikan proyek tersebut keduanya menyambangi pameran UKM binaan Pertamina yang digelar tidak jauh dari lokasi peresmian. Di situ Jokowi jaket kulit yang dijajakan di salah satu stan. Sewaktu Jokowi menanyakan harga jaket kulit yang disukainya, Rinilah yang menjawabnya. Akhirnya, keduanya menggenakan jaket kulit yang dibeli dari satu stan yang sama dan memakainya ketika meresmikan proyek PLTP.
Kok bisa kompak? Padahal sebelumnya ramai diisukan kalau Menteri BUMN Rini Sumarno menghinadinarendahkan Jokowi selaku pimpinannya. Kata isu yang beredar di media, Rini mengatakan, "Kalau memang saya harus dicopot ya silakan. Yang penting presiden bisa tunjukan apa kesalahan saya dan jelaskan bahwa atas kesalahan itu saya pantas dicopot. Belum tentu juga presiden ngerti apa tugas saya. Wong presiden juga enggak ngerti apa-apa," ungkap Akbar membacakan transkip tersebut.
Kok Jokowi tidak marah dimaki seperti itu? Malah ia tidak mengomentari sedikit pun isu yang pertama kali disebarluaskan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Padahal konon kata Tjahjo, Jokowi sudah mendengar rekaman suara penghinaan terhadap dirinya. Diungkapkan juga oleh Tjahjo kalau Jokowi terkejut mendengarnya.
Kenapa Jokowi tidak seperti SBY yang gesit bereaksi kalau ada isu yang menyerempet pribadinya? Apa mungkin karena Jokowi tidak seberani SBY?
Kalau dipikir selintas, memang terkesan sepertinya Jokowi membiarkan dirinya dihinadinakan seperti itu. Tetapi, kalau dipikir panjang sedikit saja, maka sikap Jokowi sangat tepat.
Kenapa? Coba pikirkan kalau kita pernah menghina seseorang yang kedudukannya lebih tinggi dari kita, entah itu lebih tua, atau lebih tinggi kedudukan sosialnya. Kemudian hinaan kita itu terdengar olehnya. Tapi, orang yang kita hina tersebut tidak marah, tidak menjauhi kita, tidak pula membalas hinaan kita. Orang yang kita hina itu malah mendatangi kita seolah tidak pernah mendengar hinaan kita. Apa yang kita rasakan? Justru dengan sikap tersebut, kitalah yang merasa direndahkan. Lantas kita jadi tidak enak hati.
Begitu pula yang dilakukan Baginda Nabi. Bagaimana Nabi Muhammad menghadapi hinaan dari perempuan tua buta yang kebetulan beragama Yahudi. Nenek tua ini mengemis di sudut pasar Madinah. Setiap ada orang yang mendekatinya si nenek tua berkata, “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya, maka kalian akan di pengaruhinya.”
Tetapi hampir setiap pagi, Rasulullah SAW mendatangi nenek buta itu dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah katapun Rasul menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu. Padahal pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad.
Kisah tersebut hanya satu dari beberapa riwayat yang menuturkan sikap Rasul kepada orang-orang yang menghinanya. Masih ada beberapa lagi kisah laiinya. Apakah dalam menghadapi hinaan yang diterimanya, Jokowi meneladani sikap Rasul? Entahlah.
Apakah Jokowi meneladani Nabi Muhammad atau tidak bukanlah persoalan. Yang pasti sikap yang ditunjukkan Jokowi (kalau memang hinaan itu benar adanya), demikian pula dengan Rasul pastinya membutuhkan kelapangdadaan yang luas. Tidak gampang bagi seseorang untuk memaafkan penghinanya. Unruk bersandiwara berpura-pura memaafkan atau seolah-olah tidak ada persoalan pun tidak mudah. Tidak mudah menutup-nutupi luapan batin ketika seseorang berdekatan dengan orang yang disukai atau yang tidak disukainya, apalagi bila ada permusuhan. Gestur atau bahasa tubuh akan mengungkapkan isi hatinya. Demikian pula dengan Jokowi dan Rini. Kalau keduanya berpura-pura nampak kompak di hadapan orang banayk seolah tidak ada masalah di antara keduanya, pasti akan ada beberapa pasang mata yang menyaksikan kepalsuannya..
Melihat kekompakan Jokowi-Rini, sudah semestinya Tjahjo dan kader PDIP lainnya, serta Akbar Faisal gigit jari. Karena ternyata Jokowi tidak bisa digoyang dengan isue penghinaan. Apakah Rini akan dicopot atau tidak, itu persoalan lain. Dan, secara tidak langsung Jokowi tengah menunjukkan bahwa hinaan sekeji apapun terhadap dirinya bukanlah persoalan yang dapat mengganggu prioritas kerjanya. .
Sikap Jokowi yang tidak memedulikan isu hinaan terhadap dirinya tersebut juga sebagai jawaban Jokowi atas tudingan-tudingan miring yang terus menyerang pemerintahan yang dipimpinnya, keluarga besarnya, serta dirinya sendiri. Jelas hinaan bukahlah alasan bagi Jokowi untuk marah. Seperti kata Benjamin Franklin, "Anger is never without a reason, but seldom with a good one.” Lagi pula, Hulk saja butuh alasan kuat yang mampu membuatnya marah dan menjadi raksasa hijau.
Apa Jokowi tidak bisa marah? Tentu saja bisa. Jokowi marah kalau mendapati adanya pelayanan yang buruk dari aparat pemerintah. Kemarahan ini yang pernah ditunjukkan Jokowi sewaktu menyidak Pelabuhan Tanjung Priok. Dan, sewaktu menjadi Gubernur DKI, Jokowi sempat marah sewaktu melihat pelayanan buruk di kantor kelurahan yang disidaknya.
Sumber gambar:
http://www.shearcomfort.com/blog/road-rage-10-quotes-keep-calm-driving
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H