Mendekati 1 Ramadhan 1436 H ini, polemik “Hormati yang tidak berpuasa” justru semakin santer dibicarakan. Sekalipun Menag sendiri sudah menjelaskan kicauannya lewat #ubahtwit, tetapi penjelasan Lukman dalam rangkaian kicauannya itu belum juga mampu menghentikan polemik.
Polemik “Hormati yang tidak berpuasa” tersebut berawal dari kicauan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang isi aslinya, “Warung-warung tak perlu dipaksa tutup. Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang berpuasa.”
Pernyataan Lukman yang disampaikannya lewat akun @lukmansaifuddin pada 5 Juni 2015 pukul 05.40 tersebut kemudian disebarluaskan dengan memotongnya-motongnya menjadi “Hormati yang tidak puasa”. Tentu saja makna dari hasil “editan” twit Lukman ini berbeda jauh dengan twit aslinya. Dan itulah yang kemudian menjadi kontroversi. Apalagi seteah ditambahi oleh bumbu-bumbu provokatif seperti yang disebarluaskan oleh (tentu saja) PKSpiyungan.org.
Dua hari yang lalu misalnya, Wasekjen PKS Mahfudz Siddieq mengatakan,
"Seperti pernyataan menteri agama yang meminta umat Islam yang akan berpuasa untuk bertoleransi kepada masyarakat lain yang tidak berpuasa. Ini menurut saya di tengah kondisi ekonomi seperti saat ini, di mana masyarakat akan mudah marah, kurang bijak dan oleh karena itu ke depan hal-hal seperti ini sebaiknya dihindari," ujar Mahfudz
Kemudian kader terbaik partai dakwah ini juga mendesak Menag untuk segera minta maaf.
"Kalau mencermati reaksi umat, mestinya Menag segera minta maaf, agar memasuki ramadhan, umat menjadi lapang dan tidak merasa marah. Mudah-mudahan itu hanya kesalahan lidah saja,"
Kalau saja pengecam ini memperhatikan twitt asli Lukman, atau setidaknya membaca #ubahtwit pastinya tidak akan muncul pernyataan seperti yang dilontarkan oleh kader terbaik PKS di atas. Sebab, dalam twit Lukman ada beberapa kata yang dihilangkan.
Dari kata-kata yang dihilangkan itu ada satu kata penting yang jika dihilangkan akan mengubah 180 derajat artinya. Lukman pun sebenarnya sudah menjelaskan dalam #ubahtwit, “Kata itu adalah “juga”. Lewat #ubahtwit Lukman menjelaskan Kedua; kata 'juga' pada "kita harus hormati juga" secara implisit mengandung makna: selain menghormati yg sedang berpuasa,”
Dalam http://kbbi.web.id/juga ju.ga. [adv] (1) selalu demikian halnya (kadang-kadang untuk menekankan kata di depannya): berkali-kali dipanggil, tetapi ia tidak mau datang --; (2) sama atau serupa halnya dng yg lain atau yg tersebut dahulu: ayahnya pandai, anaknya – demikian.
Maka juga pada, “Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang berpuasa” berarti sama atau serupa halnya dengan yang lain atau saling.
Kata “juga’ yang diartikan saling biasanya digunakan pada anak kalimat. Contohnya Aku mencintai Chaca, Chaca juga. Kalimat tadi bisa ditulis “Chaca juga mencintaiku” yang artinya aku dan Chaca saling mencintai.
Karena “juga” berarti “sama atau serupa halnya dng yg lain atau yg tersebut dahulu”, “juga” tidak mungkin disebut pada kalimat pertama, atau di awal. Jadi harus ada yang menyertai. Contohnya, “Aku suka lari pagi, puput juga”.
Maka kalimat Lukman jika ditulis lengkap akan menjadi “Mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang berpuasa harus menghormati kita, kita juga harus menghormati mereka.” Yang artinya yang tak berkewajiban dan tak sedang berpuasa dan yang berpuasa saling menghormati.
Jadi, sebenarnya tidak perlu ada polemik, apalagi sampai ada provokasi-provokasi yang hanya mengeruhkan suasana bulan suci Ramadhan, apabila semua pihak mau memahami kata “juga” atau setidaknya membaca dengan baik penjelasan pada #ubahtwit.
https://twitter.com/lukmansaifuddin
http://www.pkspiyungan.org/2015/06/menag-lukman-kita-harus-hormati-yang.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H