Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Ninoy yang Lugu dan Kompasianer yang Aneh

20 Mei 2015   11:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:47 3942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini kejadian beneran. Bener-bener bener, bukan bener-bener hoax. Ceritanya begini, Kemarin itu, 19 Mei 2015 saya bersama Kompasianer lainnya diundang makan siang sama Pak Presiden. Sekitar jam 10-an aya berangkat dari hotel di jalan Jaksa bersama Ninoy Karundeng, Gunawan, dan Alan Budiman. Saya, Gunawan, dan Alan kan anak kampung jadi nggak ngerti Jakarta, apalagi soal istana. Jadi segala sesuatunya diserahkan sama Ninoy. Kami bertiga mah pasrah saja.

Sampailah kami di pintu gerbang Setneg. Mobil yang disupiri Ninoy berhenti tepat di pintu yang bertuliskan Khusus CD, Menteri, dll. Baru saja mobil berhenti datanglah penjaga pos.
“Selamat pagi,” sapa sang penjaga.
“Selamat pagi,” jawab Ninoy.
“Bapak dari mana?”
“Kami dari Kompasiana.”
Si penjaga mulai bingung. Mungkin belum pernah mendengar Kompasiana. “Mau bertemu siapa?”
“Mau ketemu dengan presiden.” Masih Ninoy yang menjawab.
“Ada perlu apa?”
“Mau makan,” jawab Ninoy lugu.
“Ada undangannya?”
“Ada di BBM.” Semakin lugu saja jawabannya.

Mungkin karena bingung, masa sih ketemu presiden cuma buat makan, undangannya lewat BBM pula, akhirnya si penjaga tidak bertanya-tanya lagu. Ia lantas memberi petunjuk untuk masuk lewat pintu lainnya.

Bagaimana ya laporan tentara penjaga ke komandannya? Itu yang saya pikirkan begitu mobil mulai menjauh dari gerbang.
“Lapor, Komandan. Ada orang-orang culun yang mau makan dengan presiden. Undangannya di BBM. ....Ngakunya” Kira-kira begitu laporannya.

Nah ini yang lebih seru.
Pas memerkenalkan diri, saya bilang begini, “Saya Gatot … Gatot Swandito dari Cirebon. Saya lebih dikenali oleh kader PKS ketimbang saya sendiri.”

Begitu mendengar “PKS” meluncur dari bibir saya, Pak Jokowi spontan tertawa lepas.

Sealama dekat dengan Presiden Republik Indonesia, saya memerhatikannya. Pakaiannya sederhana, hanya batik. Ini berbeda dengan para qiyadah, para murabi kader-kader partai dakwah. Contohnya, Ustad Luthfi Hasan Ishaaq yang memakai kemeja putih lengkap dengan rompi warna orange bertuliskan "Tahanan KPK"-nya. Jam tangannya pun tidak kelihatan sama sekali. Ini juga berbeda dengan Ustad Anis Matta yang menggelangi lengannya dengan jam tangan mewah merek Rolex. Pastinya lagi, dalam kesempatan itu Pak Presiden benar-benar mendengar suara kami semua. Ini snagat-sangat berbeda dengan Ustad Arifinto yang ketika rekan sejawatnya tengah memutar otak memcahkan kesulitan-kesulitan yang dialami rakyat, Ustad PKS ini malah nonton bokep dari gadgetnya.

Oh ya, perawakan Pak Jokowi juga ramping, malah terbilang kurus. Ini sangat berbeda dengan perut buncit Ustad Aher, calon presiden dari PKS yang pada minggu kemarin diperiksa oelh kabareskrim dalam kasus korupsi stadiun di Bandung.

Yang asyik itu Ninoy. Bayangkan, di hadapan presiden dengan matanya yang pecicilan dia bilang begini, “Pak Jokowi, saya sarankan Bapak untuk tidak menanggapi komentar-komentar SBY. Bla bla bla. Saya ini Wakil Presiden Penyair Indonesia bla bla bla... Sekarang saya mau terus terang. Saya ini sesungguhnya paranormal dan Ki Sabdopanditoratu dalam tulisan saya itu sebenarnya saya sendiri....

Nah, kalau yang ini benar-benar membingungkan. Sepulang dari Istana, kami menuju rumah makan di Depok. Selesai makan kami datang ke kantor Kompasiana di Palmerah Selatan. Di sana kami diterima oleh Kang Pepih.
Kang Pepih orangnya ramah, baik hati dan tidak sombong. Terbukti Boss Kompasiana yang rambutnya mulai ditumbuhi uban ini mau mengongkosi taxi untuk saya, Gunawan, dan Alan, sesuai dengan permintaan Ninoy. Sekalipun itu cuma becandaan Ninoy yang ngerjai Kang Pepih, paling tidak niat untuk mengongkosi kami bertiga yang datang dari kampung itu sudah diridhoi oleh Allah.

Di ruang Kang Pepih itu kami ngobrol ngalor ngidul tidak jelas. Seperti sewaktu di Istana Negara, waktu dan kesempatan didominasi oleh Ninoy. Saking mendominasinya sampai-sampai begitu Ninoy minta dikasih kaos, Kang Pepih langsung mengiyakannya.

Anehnya, dalam  perbincangan yang hampir berlangsung selama 3 jam itu tidak sekalipun kami membicarakan si jari lentik atau pun si bulu mata lentik. Ini yang paling membingungkan selama saya bersama mereka. Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya jenis kelamin mereka itu apa?

Lebih membingungkan lagi, karena sama sekali tidak menyinggung si jari lentik, sekarang ini saya tidak yakin lagi kalau saya ini berjenis kelamin lelaki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun