[caption id="attachment_317513" align="aligncenter" width="565" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]
Terkait permohonan Yusril Izha Mahendra, banyak parpol dibuat cenat-cenut menunggu ketok palu Mahkamah Konstitusi. Sebab bila permohonan ini dikabulkan, maka pemilu legislatif dan pemilu presiden bakal digelar serentak.
Pelaksanaan pemilu serentak jelas akan memorat-maritkan situasi politik Indonesia 2014 ini. KPU harus menjadwal ulang proses pemilihan umum. Parpol terpaksa jungkir balik menata ulang strategi pemenangannya. Selain itu, parpol mau tidak mau harus mendeklarasikan pasangan capres-cawapresnya karena parpol yang memiliki pasangan capres-cawapres, apalagi dari internal partai, memiliki gengsi tersendiri. Para capres dan cawapres yang telah mendeklarasikan diri pun terpaksa mengutak-atik siasatnya.
Sekalipun pileg dan pilpres diselenggarakan serentak, demikian pula dengan waktu kampanyenya, namun di sisi lain posisi pileg dan pilpres tidak saling kait. Pemilih bisa mencoblos parpol tanpa memilih capres-cawapres yang diusung oleh parpol tersebut. Sebaliknya, pemilih pun bisa mencoblos capres-cawapres tanpa wajib memilih parpol penggusungnya. Atas situasi ini tentu ada pihak-pihak yang diuntungkan, ada pula yang dirugikan.
Siapa saja yang diuntungkan dan siapa yang buntung bila uji materi Yusril dikabulkan MK?
Partai Demokrat, parpol besutan Susilo Bambang Yudhoyono ini tengah mengadakan konvensi yang hasilnya direncanakan diputuskan setelah pileg. Untuk memudahkan proses pencapresannya dan menaikkan nilai jualnya sudah pasti kesebelas peserta konvensi akan mati-matian mendulang suara saat kampanye pileg. Tapi, jika Yusril “menang” maka setidaknya dari sebelas peserta konvensi tersebut tinggal menyisakan dua peserta yang dipasangkan sebagai capres dan cawapres (jika capres dan cawapres dipilih dari peserta konvensi). Tentu saja dengan bersisa dua tokohnya ini, sedang sembilan lainnya terpaksa angkat koper, kekuatan Demokrat untuk mendongkrak keterpurukannya dalam pileg menurun tajam. Sedang, di sisi lain tingkat elektabilitas peserta ajang pencarian bakal capres Demokrat pun hanya satu digit, atau anggota Klub Capres Satu Digit.
Dengan terpisahnya kaitan antara pileg dan pilpres pastinya akan membuat senang Partai Golkar yang merasa terbebani oleh pencapresan ketua umumnya, Aburizal Bakrie. Persoalan Lapindo yang identik dengan ARB bahkan dituding sebagai penyebab turunnya tingkat elektabilitas Golkar. Karenanya, sekalipun dalam kampanye keduanya satu panggung, namun partai Golkar akan mengopinikan bila antara Golkar dan ARB tidak terkait. Dengan opini Golkar dan ARB tidak terkait pastinya akan meringankan langkah caleg Golkar untuk mendulang suara.
Bertolak belakang dengan Golkar dan ARB-nya adalah Partai Gerindra dengan capresnya Prabowo Subianto. Ketokohan Prabowo berhasil meningkatkan keterpilihan Gerindra. Situasi Gerindra dengan Prabowo-nya sebelas dua belas dengan PAN dengan Amien Rais-nya pada pemilu 2004, di mana elektabilitas Amien lebih tinggi ketimbang PAN. Maka, berbeda dengan Golkar, Gerindra pastinya akan semakin mengidentikkan dirinya dengan capresnya Prabowo. Dan, jika pemilu diputuskan diselenggarakan serentak, maka Prabowo yang dalam berbagai rilis survei namanya diposisikan sebagai pesaing Jokowi tidak perlu lagi pusing-pusing memikirkan koalisi. Prabowo bisa maju hanya dengan dukungan Gerindra dan tinggal memilih cawapres yang bisa mengangkat elektabilitasnya dan tentu saja bisa membantunya bila ia menjadi Presiden RI.
Bagi Hanura yang sudah mendeklarasikan pasangan Wiranto dan Hary Tanoe sebagai capres dan cawapresnya keputusan apa pun keputusan MK tidak menjadi persoalan. Sekalipun Hanura identik dengan capresnya, Wiranto, namun tingkat elektabilitas Hanura dan Wiranto masih rendah. Hal serupa pun terjadi pada PKPI yang identik dengan Sutiyoso dan NasDem dengan Surya Paloh-nya. Namun, bila MK mengabulkan permohonan Yusril, maka sebagaimana Prabowo, baik itu Wiranto-Hary Tanoe, Sutiyoso, maupun Paloh secara otomatis bisa mengajukan dirinya sebagai capres tanpa perlu melihat perolehan suara legislatif.
PAN dan PBB nasibnya setali tiga uang. Kedua parpol ini relatif tidak tergantung dengan figur yang memiliki jabatan dalam struktural partai. PAN yang diketuai Hatta Rajasa masih identik dengan pendirinya, Amien Rais. PBB sekalipun memiliki Yusril yang kian populer, namun partai ini identik dengan Masyumi. Sayangnya baik Hatta maupun Yusril masih berstatus sebagai “anggota Klub Capres Satu Digit”. Tapi, bila kemudian MK memutuskan pemilu serentak, maka kedua parpol ini tidak perlu lagi pusing memikirkan pencalonan kedua kadernya. Sebagaimana Gerindra, kedua parpol ini hanya dipusingkan untuk mencari cawapresnya.
Sementara PKS, sekalipun partai ini tidak menggantungkan diri pada figur tertentu, namun mantan presidennya, Hidayat Nurwahid, menjadi harapan bagi partai yang terjerat kasus korupsi. Harapan kepada HNW terlihat dari kemenangannya dalam Pemilu Raya yang diselenggarakan internal partainya. Maka, bila MK memutuskan pemilu serentak, sudah bisa dipastikan bila PKS akan mengusung HNW sebagai capresnya.
Kondisi terburuk dialami PPP. Parpol ini sebagaimana PAN, PBB, dan PKS. PPP tidak tergantung pada ketokohan. Sialnya, selain menurut beragam rilis survei tidak lolos ke Senayan parpol ini pun tidak memiliki tokoh internal yang layak jual. Bahkan, Suryadharma Ali sebagai ketua umumnya pun hampir tidak pernah muncul dalam berbagai rilis survei. Maka, tidak seperti PAN, PBB, dan PKS yang bila MK memutuskan pemilu serentak akan langsung menentukan capresnya dan tinggal mencari cawapres, PPP sudah pusing tujuh keliling menentukan capresnya. Ada kemungkinan bila capres yang diusung oleh PPP didatangkan dari luar partai.
Sekalipun bernasib serupa dengan PPP, tingkat elektabilitas jeblok dan tidak memiliki kader internal yang cemerlang, PKB masih memiliki pilihan untuk mencapreskan dua tokoh “outsourcing-nya” Rhoma Irama dan Mahfud MD. Baik Mahfud maupun Rhoma merupakan “anggota Klub Capres Satu Digit”. Namun, Rhoma memiliki tingkat popularitas yang bahkan melebihi Jokowi. Jika mengandalkan tingkat elektabilitasnya, maka baik Rhoma maupun Mahfud tidak akan berbuat banyak bagi perolehan suara PKB. Dengan demikian bila MK memutuskan pemilu serentak, maka dengan serentak pula PKB akan mengusung Rhoma sebagai capresnya.
Nah, ini yang menarik: PDIP dengan Jokowi-nya. PDIP memiliki Jokowi yang tingkat elektabilitasnya sulit dijangkau oleh tokoh lainnya. Menurut survei terakhir yang digelar Litbang Kompas, tingkat elektabilitas Jokowi mencapai 43,5%, meski pencapresan Jokowi belum dideklarasikan. Dalam berbagai survei pun disebut perolehan suara PDIP terdongkrak oleh popularitas Jokowi. Tapi, kenapa PDIP menolak keras bila pemilu digelas serentak?
Kata kuncinya ada pada suara PDIP terdongkar oleh popularitas Jokowi. Masalahnya, pendukung Jokowi belum tentu pendukung PDIP. Inilah yang menyebabkan pada pemilu 2014 nanti “suara” golput akan berkurang sedang suara PDIP akan meningkat. Dengan kata lain, pendukung Jokowi yang bukan pendukung PDIP (termasuk golput) mau tidak mau mencoblos PDIP. Karena dengan memenangkan PDIP sama halnya dengan melancarkan proses pencapresan Jokowi, di mana PDIP tidak perlu dipusingkan lagi untuk berkoalisi guna memenuhi ambang batas 20%. PDIP pastinya akan mengampanyekan, “Pilihlah PDIP untuk memudahkan pencapresan Jokowi.”
Namun, bila pileg dan pilpres digelar serentak. Dan sebagaimana ditulis di atas hubungan pileg dan pilpres tidak saling kait, maka pendukung Jokowi dapat berlega hati mencoblos Jokowi pada kertas suara pilpres tanpa perlu melubangi gambar banteng pada kertas suara pileg. Tentu saja PDIP masih akan mengampanyekan “Pilihlah PDIP untuk memudahkan pemerintahan Jokowi.” Namun perolehan suara PDIP tidak lagi terdongkrak secara signifikan oleh popularitas Jokowi seperti bila pileg dan pilpres digelar terpisah.
Jadi, dengan pemilu serentak maka Demokrat, ARB dan PDIP-lah sebagai pihak yang paling dirugikan, sedang Golkar dan pendukung Jokowi menjadi pihak yang paling diuntungkan. Golkar tidak lagi dibebani oleh masalah Lapindo yang menjadi tanggung jawab ARB sedang pendukung Jokowi tidak lagi harus mencoblos PDIP untuk memenangkan Jokowi sebagai Presiden RI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H