Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ternyata, Info Intelijen Hoax Ini Masih Terus Dipercaya dan Disebarluaskan

10 Maret 2015   20:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:50 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya saya malas menulis “berita” Komjen Budi Gunawan yang jika tidak dilantik akan membongkar kecurangan pemilu. Katanya, informasi tersebut didapat dari pengamat intelijen. Baru, setelah sore tadi Kompasiana menayangkan artikel soal BG yang akan membingkar kecurangan pemilu yang dilakukan Jokowi-JK, saya tertarik untuk mencari tahu kebenarannya.

Dari google, ternyata berita ini hanya dimuat dari situs yang “itu-itu juga”. Salah satunya adalah arrahmah.com. Dengan judul berita “Batal jadi Kapolri, pengamat intelelijen: BG akan bongkar kecurangan Pilpres 2014”, Arrahmah membertakan pernyataan pengamat intelijen Umar Abduh yang mengatakan, dengan tidak dilantiknya BG sebagai Kapolri, BG akan membongkar kecurangan dalam Pilpres 2014. BG mempunyai data kecurangan yang dilakukan tim sukses maupun Jokowi sendiri di Pilpres 2014.

Dulu pernah saya ungkapkan Pilpres 2014 ada kecurangan. Datanya ada di BG, jika tak diangkat jadi Kapolri, BG akan mengungkap kecurangan Pilpres 2014,” kata Abduh pada 4 Februari 2015..

Ditambahkannya, data kecurangan yang dimiliki BG sangat valid karena kecurangan Pilpres 2014 dilakukan secara sistematis dan massif.

“Selama ini selalu diopinikan bahwa kemenangan Jokowi di Pilpres 2014 tanpa ada kecurangan karena rakyat berbondong-bondong dan didukung artis, padahal ada rekayasanya,” jelas Umar.

Benarkah yang dikatakan Umar sampai pernyataannya ini menarik Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) mendesak BG  untukmembongkar skandal kecurangan Pilpres 2014.

“Bila benar BG punya data kecurangan Jokowi pada Pilpres  lalu, sudah sepatutnya BG membongkar skandal kecurangan tersebut," kata Andriyana dalam siaran persnya pada 11 Februari seperti dikutip republika.co.id

Yang disampaikan oleh Umar sebenarnya pernah ramai diperbincangkan saat pascapilpres 2014. Keterangan Umar itu dapat dilihat dari video yang diunggah di Youtube. Dan ketika video itu terus menyebar saya sudah menertawai penjelasan Umar tersebut dalamInfo Hoax Umar Abuh Masih Disebarkan

Kenapa saya sebut informasi tersebut hoax?

Dalam video yang diunggah ke Youtube tersebut, Umar mengaku mendapat bocoran data dari TNI/Polri yang menyatakan Prabowo memang pilpres dengan 54% suara. Katanya informasi TNI/Polri ini bersifat rahasia dan hanya diberikan kepada “Cikeas” sebagai user-nya. Selain itu Umar pun mengatakan jomplangnya data pemilu PPK dengan KPU.

Dalam rekaman video Umar mengatakan personel TNI/Polri dibiarkan leluasa memotret hasil penghitungan suara tanpa ada yang berani melarang. Dan, karena diambil dari hasil jepretan, menurut Sekretaris Jenderal Center for Democracy And Social Justice Studies (CeDSoS ini, data TNI/Polri lebih akurat ketimbang KPU. Selain itu Umar juga mengatakan data TNI/Polri lebih lengkap dari KPU karena memuat data jumlah partisipan pemilu dan golput.

Kalau saja Umar melihat tahap pemilu langsung di lapangan pastinya ia tahu bukan hanya personel TNI/Polri yang dibolehkan memotret Formulir C1 Plano. Semua orang, tanpa perlu meminta izin, boleh memotret C1 Plano karena formulir hasil penghitungan suara ini dipajang di TPS setelah penghitungan suara selesai agar semua orang bisa mengetahui hasil pemilu di TPS tersebut. Sedang, selama proses pemilu berlangsung tidak satu pun aparat TNI/Polri yang memasuki TPS. Jadi yang dikatakan Umar itu salah besar.

Lagi pula tidak ada larangan mem-video-kan atau memotret aktivitas pemilu di dalam area TPS. Boleh-boleh aja memotret orang masuk TPS, mengambil surat suara, masuk ke bilik suara, memasukkan surat suara ke dalam kotak, mencelupkan jari ke tinta, sampai keluarTPS. Malah mengambil gambar orang yang sedang mencoblos pun boleh. Yang tidak boleh itu mengambil gambar pilihan orang karena sifatnya yang  rahasia.

Memang benar aparat TNI/Polri memiliki data hasil pemilu. Mulai dari tingkat TPS, kelurahan, kecamatan, sampai seterusnya aparat TNI/Polri mencatat hasil pemilu. Masalahnya, kalau sumber datanya sama, yaitu dari TPS, bagaimana mungkin data TNI/Polri berbeda sampai 8% dari hasil resmi KPU?

Dalam pemilu personel TNI/Polri dilibatkan untuk menjaga keamanan. Itu pun bila anggota Linmas yang bertugas di TPS tidak mampu lagi mengatasi situasi. Karenanya satu personel TNI/Polri diperuntukan bagi beberapa TPS. jadi mereka tidak berjaga di satu TPS saja.

Seandainya Umar pernah melihat C1 pastinya ia tidak akan mengatakan data TNI/Polri lebih lengkap dari KPU karena memuat data jumlah partisipan dan non partisipan (golput). Dalam C1 jelas terdapat Data Pemilih dan Data Pengguna Hak Pilih. Data Pemilih dan Pengguna Hak Pilih terdiri dari pemilih berdasarkan DPT, DPK, DPTb, dan DPKTb. Berapa jumlah pemilih yang tidak menggunakan haknya atau golput, ya tinggal kurangi saja jumlah Data Pemilih dikurangi jumlah Data Pengguna HakPilih. Misalnya total Data Pemilih di TPS 01 ada 400 sedang total Data Pengguna Hak Pilih di TPS tersebut 350 orang, berarti yang tidak datang dan mencoblos di TPS 01 adalah 50 orang.

Lucunya lagi, dalam video tersebut Umar mengatakan jomplangnya data PPK dengan KPU. PPK itu apa? PPK itu singkatan dari Penitia Pemilihan Kecamatan yang area kerjanya meliputi kecamatan. Di bawah PPK ada PPS (Panitia Pemungutan Suara) yang wilayah kerjanya seputar kelurahan/desa. Di bawah PPS ada KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang wilayah kerjanya di TPS. Di atas PPK berturut-turut ada KPU Kota/Kabupaten, KPU Propinsi, dan KPU (pusat). Jadi PPK itu organ tubuh KPU sendiri. Data yang didapat KPU berasal dari PPK juga. Jadi, bagaimana mungkin data PPK jomplang dengan KPU? Di tengah sorot perhatian luas dari publik dan media, kalau data yang dibawa PPK ke jenjang di atasnya berbeda pastinya telah terjadi kericuhan luar biasa sejak rekapitulasi di tingkat kota/kabupaten.

Pernyataan Umar yang mengaku pakar intelijen ini sebenarnya tidak lebih dari sekedar membangun opini adanya konspirasi antara presiden, TNI/Polri, KPU, dan institusi-institusi negara lainnya untuk memenangkan Jokowi-JK. Malah Umar menyebutnya “Cikeas”, artinya yang berkonpirasi bukan SBY sebagai presiden, tetapi SBY sebagai Ketum Demokrat atau SBY sebagai pribadi.

Menariknya lagi, informasi hoax Umar ini disambung dengan informasi hoax lainnya yang mengatakan Badan Intelijen Negara (BIN) memeriksa Komisioner KPU gara-gara datanya berbeda dengan data TNI/Polri. Kalau memakai teori konspirasi yang dibangun Umar yang terlibat konspirasi memenangkan Jokowi bukan cuma KPU, tapi juga Presiden RI, TNI, Polri, dan yang lainnya. Jadi, seharusnya BIN juga memeriksa SBY sebagai presiden atau sebagai Ketum Demokrat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun