Rabu, dua hari yang lalu (8/1/2014) Kompas.com menyuguhkan hasil survei periode ketiganya. Survei yang dilakukan secara tatap muka ini melibatkan 1.400 responden dari 34 provinsi di Indonesia. Seperti pada beberapa rilis survei sebelumnya, perhatian publik tertuju pada tingkat elektabilitas Jokowi yang terus meroket. Menurut rilis survei Kompas itu suara Jokowi melompat dari 17,7 persen menjadi 43,5 persen dalam rentang waktu setahun, 2012 hingga 2013.
Melejitnya tingkat keterpilihan tersebut mengundang banyak tanggapan. Ada yang menanggapi positif ada juga yang negatif. Ada yang memercayai angka-angka yang disajika, ada pula yang meragukan, atau bahkan tidak memercayainya. Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, misalnya, mengungkapkan ketidakpercayaannya pada survei yang digelar Badan Penelitian dan Pengembangan Kompas tersebut. Sedang Ketua Umum PPP Suryadharma Ali terheran-heran dengan melejitnya tingkat keterpilihan Jokowi.
Jika Prabowo Subianto tidak percaya dan Suryadharma Ali terheran-heran, tapi kenapa saya memercayai hasil survei Kompas tersebut?
Survei merupakan hasil pengumpulan informasi. Salah satu caranya dengan menanyai responden secara tatap muka tentang obyek yang sedang diteliti. Lalu, bagaimana jika metode tatap muka itu diganti dengan metode pengamatan.
Saya beri tiga pertanyaan kepada teman-teman.
1.Menurut pengamatan, apa merek pasta gigi yang paling banyak dikonsumsi oleh tetangga-tetangga di sekitar rumah teman-teman?
2.Menurut pengamatan, apa merek obat masuk angin yang paling banyak dikonsumsi oleh tetangga-tetangga di sekitar rumah teman-teman?
3.Menurut pengamatan, apa merek rokok filter yang paling banyak dikonsumsi oleh tetangga-tetangga di sekitar rumah teman-teman?
Saya yakin teman-teman akan mudah menjawab pertanyaan pertama; ragu-ragu menjawab pertanyaan kedua; dan tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan ketiga. Karenanya jawaban teman-teman itu harus dibandingkan dengan hasil survei.
Dan, untuk membandingkan pengamatan teman-teman dengan hasil survei silahkan klik di sini.
Memang, ada jenis-jenis produk yang hanya dengan pengamatan bisa diketahui tingkat brand awareness-nya. Namun, ada juga yang sulit diamati. Rokok, misalnya, sulit bagi kita untuk mengetahui tingkat brand awareness produk rokok. Karenanya produsen rokok besar biasanya melakukan survei dua kali dalam setahun. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat persaingan dengan produsen-produsen/ merek-merek rokok lainnya.
Nah, selanjutnya saya mau bertanya, menurut pengamatan teman-teman kompasianer, siapakah tokoh yang paling tinggi tingkat elektabilitasnya?
Kalau jawabannya Jokowi, maka pengamatan teman-teman tidak berbeda dengan bebeberapa survei yang sudah dirilis. Demikian pula dengan pengamatan saya. Karena itu saya sepenuhnya percaya rilis survei "Kompas" dan juga rilis survei lainnya.
Lalu, bagaimana kalau ada survei yang merilis bukan Jokowi-lah yang berelektabilitas tertinggi, tapi Aburizal Bakrie (ARB)?
LSI, misalnya, pernah merilis hasil survei yang bertajuk “Capres Pemilu 2014: Capres Riil Versus Capres Wacana” . Dalam rilis survei itu ARB disebut sebagai capres dengan tingkat elektabilitas tertinggi yang bersaing dengan Megawati Soekarnoputri. Sekalipun secara metodologi survei LSI itu tidak salah, karena LSI menghilangkan nama Jokowi dan Prabowo, namun tetap saja mendapat banyak cibiran. Hal ini karena survei yang menurut LSI “riil” itu tidak sesuai dengan pengamatan “riil” publik.
Nah, dengan penjelasan ringan diatas, pertanyaanya sekarang, apakah Prabowo, Suryadharma, seluruh peserta konvensi Demokrat, Hidayat Nurwahid dan lainnya masih tidak percaya pada hasil survei yang menempatkan tingkat elektabilitas Jokowi pada posisi puncak dan bertaut jauh dengan para pesaingan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H