Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Banjir 2014 Hanyutkan Topeng Politisi

19 Januari 2014   12:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:41 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta telah mengubah Jokowi menjadi monster menakutkan bagi pesaing politiknya. Segala macam strategi dilancarkan untuk merontokkan pamor Gubernur DKI Jakarta ini. Gilanya, upaya perontokan itu semakin kencang disarangkan tanpa memedulikan kondisi warga Jakarta yang tengah mendertadilanda bencana banjir. Mengais kesempatan di tengah kesempitan ini terungkap lewat pernyataan-pernyataan politisi.

Dradjad Hari Wibowo, misalnya, Wakil Ketua DPP PAN ini malah berandai-andai wacana pencapresan Jokowi tidak mencuat, pastinya bencana banjir yang melanda ibu kota ini akan dipikul bersama oleh semua pihak. Dradjad pun mengaku ia dan banyak tokoh lainnya menjadi canggung untuk turun tangan membantu Jokowi menangani masalah Jakarta.

"Sayangnya, Jokowi 'tersandera' oleh wacana pencapresan yang terlalu awal. Dia disandera pendukung-pendukungnya sendiri yang tak sabaran ingin 'ngatur negara'," ungkapnya kepada Kompas.

"Jokowi tidak lagi mendapatkan dukungan penuh tokoh-tokoh nasional yang dulu 'membawa' Jokowi dari Solo ke Jakarta," tambahnya.

Miris mendapati pengakuan politisi seperti Dradjad ini. Apakah sudah sedemikian tumpulnya nurani para politisi hingga ditengah kesengsaraan rakyat pun masih menghitung untung-rugi bagi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tidakkah mereka trenyuh menyaksikan bayi-bayi yang meringkuk kedinginan dalam dekapan ibunya?

Lain Dradjad lain pula Ruhut Sitompul. Di tengah guyuran hujan deras yang melanda ibu kota Juru Bicara Partai Demokrat ini malah mengaitkan blusukan yang dinilainya gagal mengantisipasi banjir dengan isu pancapresan Jokowi.

"Terbukti blusukan-nya percuma, satu tahun, gimana mau mengurus Indonesia kalau mau mengurus Jakarta saja tidak bisa?" celoteh orang dekat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini.

Ucapan penyanjung SBY ini berubah 180 derajat dengan yang pernah dikatakannya tahun lalu. Saat banjir Jakarta 2013 Ruhut mengaku memahami kesulitan yang dihadapi Jokowi dan Ahok.

“Jangankan Jokowi Ahok, Superman pun kesulitan menyelesaikan banjir dan macet di Jakarta,” ujar Ruhut seperti yang dikutip republika.co.id.

Dari jajaran kabinet pimpinan SBY, Joko Kirmanto menunjukkan sikap ketidaknegarawanannya dengan menolak rencana Jokowi memercepat perbaikan jalan TB Simatupang yang rusak akibat banjir. Joko yang merasa wewenangnya dilangkahi Jokowi ini meminta Jokowi untuk tidak mencampuri urusan pemerintah pusat.

"Wong ngurusin jalan provinsi aja banyak kok. Tugasnya sudah banyak, jangan ngambil-ngambil (wewenang) pusat," ujar Djoko saat jumpa pers di Kantor Kementerian PU, Jakarta, Rabu (15/1/2014) seperti dikutip Kompas.

Lebih parah lagi, politisasi banjir ini sudah menjalar ke masyarakat luas. Lewat broadcast messagemasyarakat menyebarkan informasi-informasi “hoax”. Ada yang memajang spanduk “Jokowi Capres Banjir”. Ada pula yang berkomentar miring di berbagai media sosial. Dan, tidak sedikit pula yang menayangkan artikel dengan pelintiran data. Dan, bukan sekedar oknum masyarakat saja yang memerkeruh situasi, stasiun TV One pun demikian. Lewat tayangan breaking news-nya TV One menyebarluaskan berita hoax soal banjir di Kampung Pulo yang mencapai ketinggian 7 meter. Entah apa maksud stasiun TV milik capres Aburizal Bakrie ini dengan berita hoax-nya itu?

Dari pernyataan Dradjad, Ruhut, Joko, informasi hoax ini dapat terbaca perilaku politisi berserta pendukungnya. Banjir rupannya tidak hanya merendam daerah-daerah di Indonesia, tapi juga menghanyutkan rasa kemanusiaan politisi beserta pendukungnya. Tidak ada lagi rasa senasib sepenanggungnya di antara rakyat dan politisi. Yang hanya bersisa hanya syahwat kekuasaan tanpa mengindahkan lagi jerit tangis rakyat. Bahkan, sepertinya para politisi beserta pendukungnya itu berharap banjir kali ini benar-benar lebuh besar dari tahun-tahun sebelumnya.

Dari peristiwa banjir ini pula terungkap bila kedekatan politisi dengan rakyat hanyalah strategi mendulang suara. Karenanya tidak perlu heran bila di setiap bencana para politisi sigap turun tangan lengkap dengan atribut kepartaiannya. Itulah kenapa PKS yang terbiasa mencuri simpati rakyat di setiap bencana dengan berbagai bendera, umbul-umbul, baliho, serta spanduk-spanduknya bereaksi keras pada pernyataan Jokowi yang melarang parpol mendirikan posko bencana. Reaksi keras PKS atas himbauan Jokowi ini berbeda dengan parpol lainnya menerima. Dari sini rakyat bisa menduga motif dibalik kesigapan PKS di setiap bencana.

Sekarang pilihan kembali kepada rakyat, apakah masih akan memberikan suaranya pada politisi/parpol yang telah tersibak topengnya itu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun