Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPU Ogah Belajar, DPT Tetap Kusut

21 April 2014   17:19 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:23 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah saya menayangkan tulisan bagaimana KPPS bisa menjadi milyuner dengan memanfaatkan kesemrawutan DPT, ada teman yang bertanya, “Saya dapat undangan dobel, bisa tidak saya menjualnya?” Sebagai konsultan kecurangan pemilu yang berpengalaman sebagai Ketua KPPS, saya menjawabnya “bisa ya” tapi juga “bisa tidak”.

Saat datang ke TPS, pemilih mendaftar ke KPPS. KPPS memeriksa C6 yang dibawa pemilih lalu mencocokkannya dengan DPT. Setelah cocok KPPS menyebutkan nama dan nomor urut pemilih yang didengar oleh saksi. Saksi kemudian mencocokkan data pemilih dengan DPT yang diterimannya. Sudah pasti, setiap pemilih yang menggunakan hak suaranya akan diberi tanda pada lembaran DPT.

Jadi, bila C6 dobel tersebut bernomor urut sama, maka pemilih tidak bisa memanfaatkan C6 dobel yang diterimannya. Misalkan, Mas Wahyu mendapatkan dua lembar C6. Satu C6 dengan nomor urut 234, sedang satu lagi bernomor urut 234, maka Mas Wahyu tidak mungkin mencoblos dua kali, karena nomor urut dan pemilih pada DPT sudah ditandai. Dengan demikian Mas Wahyu tidak bisa memanfaatkan sisa C6 lainnya.

Tapi, bila C6 yang diterimannya bernomor urut berbeda, barulah pemilih bisa memanfaatkannya, entah untuk dirinya sendiri atau dijual kepada parpol/caleg. Sekalipun pemilih diketahui sudah mencoblos sebelumnya, tapi karena nomor urut pada C6 dan DPT berbeda baik KPPS maupun saksi tidak berhak menolak pemilih tersebut. Misalnya, Pakde Kartono mendapatkan dua C6 dengan nomor urut 345 dan 346. Dengan dua C6 yang berbeda nomor ini Pakde bisa menggunakan keduanya. Pakde bisa menggunakan C6 dengan nomor urut 345 untuk mendaftar sebagai pemilih. Sedang C6 dengan nomor urut 346 bisa digunakan kembali oleh Pakde atau dijual kepada parpol atau caleg. Kemudian caleg atau parpol memberikan C6 346 kepada timses-nya untuk mencoblos di TPS di mana C6 346 atas nama Pakde terdaftar.

Lho, bukannya sebelum keluar dari TPS jari pemilih ditandai dengan tinta. Benar, sebelum keluar jari pemilih ditandai dengan tinta. Dan, sebelum masuk TPS pun KPPS memeriksa jari pemilih terlebih dahulu. Faktanya, tanda tinta pemilu mudah dihilangkan. Sebagai konsultan kecurangan pemilu, saya membuktikan kepada teman-teman satu KPPS kalau dalam hitungan menit tanda tinta pada jari saya sudah tidak terlihat lagi.

Itu masukan saya sebagai konsultan kecurangan pemilu, tetapi sebagai anak bangsa yang baik dan benar serta mengharapkan pelaksanaan pemilu yang berkualitas tinggi, maka saya akan memberi masukan kepada KPU.

Pertama kali kisruh DPT terjadi pada pileg 2009. Sejak pileg 2009 sampai pileg 2014 KPU sudah menggelar 5 kali pemilu, pileg 2009, pilpres 2009, pilkada gubernur, pilkada bupati, dan pileg 2014. Tapi, setelah 5 kali gelar pemilu, ternyata KPU tidak juga berhasil mengatasi carut-marut DPT.

Kenapa?

Jawabannya mudah. Karena KPU tidak memaksimalkan KPPS. KPPS adalah penyelenggara pemilu yang terakhir menangani DPT. Dari DPT yang diterimanya, KPPS membuat undangan C6. Undangan C6 ini kemudian dibagikan kepada pemilih selambatnya H-3. Saat membagikan C6 inilah KPPS menemukan pemilih-pemilih siluman dan pemilih yang tidak beralamat di RW setempat. Apakah temuan tersebut dilaporkan? Tidak!. C6 yang tidak terbagikan itu kemudian dibuang ke tempat sampah. Seharusnya temuan tersebut dilaporan untuk memutakhirkan data DPT yang digunakan untuk pemilu berikutnya.

Kemudian pada H-1, saya sebagai ketua KPPS banyak didatangi warga yang menanyakan C6 yang tidak diterimannya. Karena nama warga tersebut tidak dtemukan dalam DPT yang saya pegang, saya menyarankan untuk menanyakan kepada KPPS TPS 23 (saya TPS 22), dan bila pada DPT “tetangga” namanya tidak terdaftar saya himbau untuk menggunakan KTP atau identitas lainnya. Pada Hari H, tercatat ada 2 pemilih yang menggunakan KTP. Apakah KPPS melaporkan nama-nama pemilih tersebut? Tidak! Padahal seharusnya nama pemilih yang tercatat sebagai pengguna KTP atau identitas lainnya dilaporkan untuk memutakhirkan data DPT yang digunakan untuk pemilu berikutnya.

Karena temuan-temuan KPPS tersebut tidak ada mekanisme palaporannya, maka sampai akhir hayat dikandung badan pun DPT akan tetap semrawut. Toh, tips yang saya berikan kepada KPU ini mudah dijalani. Tinggal terima laporan dari KPPS, lantas memperbarui DPT untuk pemilu selanjutnya. Bukankah komisioner KPU adalah orang-orang cerdas yang pembelajar. Tapi, kenapa setelah sekian kali menggelar pemilu KPU belum juga mau belajar. Masa saya yang baru pertama kali menjadi ketua KPPS sudah bisa menjadi konsultan kecurangan pemilu.

Salam Jurdil

Gatot Swandito

Konsultan Kecurangan Pemilu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun