Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jokowi & Angka Suci 13

28 November 2014   20:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:36 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pak Gasa?”

“Ya, saya sendiri,” jawabku sambil memandangi wajah gadis yang berdiri di depan pintu rumah.

“Saya Nilam,” kata gadis itu mengenalkan namanya sambil menjulurkan tangan. Sudut-sudut bibirnya mengembang.

“Gasa,” sahutku singkat lalu menjabat tangannya. “Panggil saja Mas Gasa.”

“Saya yang diminta Profesor Robert Langdon menjemput Mas malam ini.”

“Oh iya iya,” ucapku tergagap. Jadi ini yang disuruh Langdon untuk menjemputku. Lewat telepon Langdon yang sedang berada di Indonesia memintaku untuk menemuinya. Awalnya saya tidak percaya kalau yang menelepon saya siang tadi adalah Langdon, simbolog Universitas Harvard yang terkenal dalam novel-novel Dan Brown itu. Saya pikir Landon adalah tokoh fiksi. Tapi setelah Langdon mengirim lewat Facebook foto paspornya saya pun mempercayainya.

“Kita berangkat sekarang,” ajak Nilam.

“Oke, aku sudah siap.”

“Kenapa Langdon memintaku menemuinya?” tanyaku di dalam mobil setelah melewati basa-basi obrolan.

“Prof bingung dengan “salam dua jari” dan “salam tiga jari”. Ia menaruh perhatian kepada angka 2 yang disebut Jokowi selama kampanye dan angka 3 setelah Jokowi menang dalam pilpres.”

“Kenapa simbolog itu bingung?” Aku terkekeh sambil memandangi wajah Nilam.

“2 dan 3. Apakah itu 2x3 atau 3x2?”

“Maksudnya?”

“2+2+2 atau 3+3?”

“Aku tidak mengerti,” sahutku. “Aku bukan pakar matematika. Apalagi profesor matematika saja dibuat bingung soal itu.” Aku tidak mau dibuat pusing dengan soal matematika. “Terus, kenapa Langdong mengurusi soal in?”

“Akhir dari perjuangan Jokowi disimbolkan dengan angka 3,” jelas Nilam. “Dua angka 3 jadi 33.”

Aku terbahak mendenger analisa Nilam.

“33 adalah level tertinggi dalam Freemason. Dan Jokowi adalah Indonesia Satu. Orang tertinggi di Indonesia.

“Dan, dulu Jokowi tinggal di rumah dinas yang dinamai Lodji Gandrung. Lodji atau loji adalah tempat kumpul-kumpul orang-orang mason,” sindirku.

“Pertanyaannya lagi, kenapa Jokowi memerhatikan laut?”

“Indonesia adalah negara maritim. Nusantara disatukan oleh lautan. Dan, potensi sumber kekayaan laut kita bisa tiga kali APBN.”

“Bukan itu. Jawabnya karena laut adalah tempat matinya Firaun.”

Aku tidak bisa lagi menahan tawa.

Nilam memandangku dengan tatapan kesal. “Nanti Nilam jelaskan semuanya.”

Sebelum menemui Langdon di hotelnya, Nilam memngajakku mampir di sebuah rumah. Rumah itu berada di pinggiran Jakarta Timur. Jalan yang melewati rumah itu tidak berpenerang.

“Ini rumah Profesor Jati Kumoro,” kata Nilam. “Ayo kita masuk.”

Rumah Profesor Jati Koemoro dipenuhi debu setelah lama ditinggal penghuninya. Dengan kunci duplikat Nilam membuka pintu belakang rumah lalu menarik tanganku menuju lantai atas.

Sekilas aku melihat kalender yang menggantung: Kalender 2002. “Jadi sudah 12 tahun Jati meninggalkan rumah ini.”

“Ya,” kata Nilam. “Padahal katanya akan pulang setelah satu purnama.”

“Jangan-jangan sebentar lagi Jati muncul.”

Nilam tidak menyahut.

“Kalau bicara Firaun, angka apa yang disucikannya?” tanya Nilam.setelah kami berada di perpustakaan pribadi Profesor Jati. Pada dindingnya terpajang foto-foto relief erotis dari berbagai candi.

“13,” jawabku singkat.

“Yup. Dan, angka itu yang paling sering keluar dari Jokowi.”

“Sering keluar?” tanyaku heran.

“Babi, daging yang dimakan Kaesang yang kemarin menghebohkan itu. Huruf “B” dibentuk dari angka 1 dan 3 yang disatukan.” Nilam membungkuk mencari buku dari rak.

Aku tersenyum melihat Nilam yang sedang membungkuk. Pantatnya besar dengan pinggulnya yang ramping. “Semoga kesempatan itu datang,” bisik sanubariku.

“Coba lihat ini.” Nilam meletakkan buku di atas meja. “Mesir dalam Angka” demikian judulnya. “Ini hasil penelitian Profesor Jati tentang simbol angka dalam budaya Mesir kuno yang dibukukan. Tapi, karena tidak satu pun bukunya yang laku, ia banting setir menjadi peneliti candi erotis.”

Kuperhatikan Nilam membolak-balik halaman buku yang dicetak dengan kertas buram berkualitas buruk.

“Jokowi kelahiran tahun 1961,” kata Nilam. “Life begin at 40. Usia Jokowi sekarang 53.” Nilam menatapku. “Jadi, 13 tahun setelah Jokowi berusia 40 tahun ia menjadi presiden.

“Lalu?”

“Menurut budaya Mesir kuno 13 tahun adalah usia matang manusia. Tapi, dalam budaya Kabbalah 13 tahun adalah usia terbaik untuk mendalami ilmu sihir.”

“Sihir?”

“Sihir bisa dikatakan sebagai sesuatu yang berbeda dengan yang diperlihatkan.” Nilam tersenyum lebar. “Jadi sihir juga bisa dilakukan dengan membangun citra dirinya ... pencitraan!”

“Wow!”



“13 adalah angka suci yang diwariskan turun-temurun. Angka suci ini kemudian disisipkan juga ke dalam lambang negara Amerika Serikat.” Nilam membuka halaman yang menampilkan lambang negara Amerika.”13 bintang di atas kepala Elang membentuk Bintang David. 13 garis di perisai atau tameng burung. 13 daun zaitun di kaki kanan burung. 13 butir zaitun yang tersembul di sela-sela daun zaitun. 13 anak panah. 13 bulu di ujung anak panah. 13 huruf yang membentuk kalimat ‘Annuit Coeptis’. 13 huruf yang membentuk kalimat ‘E Pluribus Unum’. Dan, masih ada yang lainnya.”

“Apa hubungannya dengan ..” belum sempat aku meneruskan.

“Kenapa Jokowi tidak menaikkan premium di harga 8.200, 8.400, atau 8.600?” potong Nilam, “Tapi, 8.500”

“Apa karena 8+5 sama dengan 13?” jawabku asal.

“Tepat.”

“Apa itu yang dijelaskan Langdon?”

“Langdon?” Nilam tersenyum lebar.

“Ya.”

“Langdon sudah pulang ke negaranya kemarin malam.”

“Jadi yang siang tadi meneleponku itu bukan Langdon?”

Nilam tertawa.

“Jadi itu suara orang?” Aku tidak memoercayai kebodohanku. “Kalau begitu paspor yang saya terima itu editan Photoshop?” Aku bertambah bingung. “Terus, apa hubungan semua ini denganku?”

“Supaya Mas menuliskannya di Kompasiana.”

Hampir saja aku meluapkan kemarahanku.

“Sttt...” Nilam memalangkan telunjuk di bibirnya. “Ada yang datang.” Nilam mengambil buku “Mesir dalam Angka” lalu memasukkannya ke dalam tas. “Kita pergi dari sini.” Nilam menarik tanganku keluar dari perpustakaan.

“Hai siapa di sana!”  teriak seseorang ketika kami melewati dapur.

“Dor!” suara tembakan terdengar. “Dor ...dor...!”

Kami terus berlari.

“Aku yang menyetiir,” pintaku setelah melewati pagar rumah.

Sambil terus berlari menuju mobil Nilam merogoh saku kemejanya. Kemudian melempar anak kunci ke arahku.

Dengan sigap aku menangkapnya. Kubuka pintu mobil lalu masuk kedalamnya. Kuhidupkan mesin mobil ambil membuka pintu untuk Nilam. “Cepat masuk!”

“Dor!”

“Ahk...!” Nilam berteriak kesakitan. “Cepat jalan!” katanya sambil menutup pintu mobil.

“Kamu kena?” Sambil terus memperhatikan lalu lintas, tanpa melihat aku menggapai-gapai Nilam. Mencari bagian tubuhnya yang terkena peluru. Empuk!. Tapi, kemudian tanganku disingkirkannya.

Nilam memegang pinggangnya. “Selamatkan saja buku ini. Masih banyak rahasia yang akan diungkap dari buku ini.” Suara Nilam melemah. “Sampaikan kepada semua kader untuk terus berjuang menjaga semboyan “Cinta Kerja Harmoni.”

“Jadi kamu sebenarnya ....”

“Sampaikan salamku pada semua kader.” Suara Nilam tersengal dan nyaris tidak terdengar. Erangan kesakitannya semakin melemah. “Sa ...salam 3 be...be bes...."

Sumber gambar. en.wikipedia.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun