Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Minority Report Ver. 2

1 Januari 2015   17:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:02 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Terinspirasi Film Minority Report)

Cirebon, 1 Januari 2064

Apartemen Ciremai 06.10 WIB

“Tidak ada tanda-tanda kekerasan.”

Aku mengangguk mendengar kesimpulan anak buahku. Kuamati lagi tubuh tanpa busana yang menggantung. Lidahnya menjulur. Matanya membelalak. Seutas tali menjerat lehernya. Ujung talinya diikatkan pada ventilasi pintu. Memang tidak ditemukan adanya kekerasan pada korban. “Turunkan,” perintahku pada anggota Kepolisian Metro Cirebon yang berdiri di belakangku.

“Siap Inspektur.”

“Ambulan sudah datang?’ tanyaku sambil berjalan keluar dari kamar korban.

“Sudah menunggu di bawah,” jawab Brigadir Dua Jati Kumoro. “Mana data korban.”

Brigadir Chaca menghampiriku. “Ini,” katanya sambil menyodorkan e-Finger.

“Terima kasih,” ucapku pada Chaca sambil menerima e-Finger. E-Finger berbentuk mirip smartphone berlayar 7 inchi. Gadget ini digunakan untuk pengidentifikasian. Caranya dengan menempelkan sidik jari obyek pada layar gadget. Normalnya, dalam waktu 30 detik e-Finger dapat menampilkan identitas korban, seperti nomor identitas obyek, nama, tempat tanggal lahir, alamat, agama, golongan darah, pekerjaan, nomor telepon, dan email. Dari e-Finger diketahui korban bernama Nilam Puspitasari. Bekerja sebagai dokter.

Aku melewati dua anggota kepolisian yang berjaga di pintu apartemen 1607. “Ada petunjuk?” tanyaku pada Brigadir Satu Kartono.

“Semua rekaman CCTV sedang dipelajari,” jawab Kartono.

Aku tersenyum puas meihat kerja cepat anggotaku. Sambil melangkah menuju lift kurogoh kantung jaketku mengambil ponsel. Kupencet-pencet keypad ponsel menghubungi Inspektur Dua Gunawan yang sedang bertugas di kantor.

“Mau turun, Inspektur?” tanya anggota yang berjaga di depan pintu lift.

Kuangkat kelima jari tangan kananku memberikan penolakan. “Pagi,” balasku begitu terdengar “Halo” dari ujung sambungan. “Bos, aku ada di TKP. Korban bernama Nilam Puspitasari,” kataku lalu melanjutkannya dengan menyebut nomor identitas korban. “Korban ditemukan tergantung dan tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan.”

“Nilam Puspitasari ... usia 27 tahun ... dokter ..” Gunawan menyebutkan identitas korban.

“Ya itu.”

“Tunggu .... 3 menit.”

Sambil menunggu informasi dari Gunawan, aku turun ke basement. Di dalam lift kulepas sarung tanganku lalu memasukkannya ke dalam saku jaket. Begitu keluar dari lift, aku langsung menuju PoliceMobile. “Sidik jari di gelas sudah diketahui?”

“Siap,” sahut Inspektur Dua Jayakardi, “Masih menunggu konfirmasi.”

Dari dalam apartemen yang ditempati Nilam ditemukan dua buah gelas, satu botol bir, satu asbak dengan 3 putung rokok merek Hi-Mild, dan satu linting ganja. Dari gelas dan botol bir didapat sidik jari. Sedang dari puntung rokok dan lintingan ganja akan didapat sample air liur.

“Inspektur, ngopi dulu,” Chaca menawarkan segelas kopi.

“Terima kasih,” jawabku. Dengan memejamkan mata kubaui aroma kopi yang masih mengepul. Lalu pelan kuseruput cairan hitam pahit tanpa gula itu. Ini kopi pertamaku di hari ini, di tahun ini.

Lepas subuh tadi dering telepon membangunkanku. Dari dering yang kusetel khusus aku tahu kalau Komisaris Elde yang meneleponku. Dan, sudah kuduga kalau ada informasi tentang orang yang mati tidak wajar.

Belum juga dua tegukan kopi, ponselku bergetar. Sekilas kubaca ID pemanggilnya. “Halo,” sapaku.

“Sudah diketahui,” terdengar suara Gunawan, ”Negatif!”

“Negatif?”

“Potensi Nilam Puspitasari untuk bunuh diri hanya 9 %.”

Jadi berdasarkan data CoC Ver. 2, kematian Nilam bukan disebabkan bunuh diri. CoC Ver. 2 (Code of Crime Versi 2) merupakan pengembangan dari program pengidentifikasian warga negara penomoran tunggal atau single identity number. Indonesia mengawalinya dengan E-KTP yang diluncurkan pada 2012.

Kemudian, dua puluh tahun yang lalu Profesor Pebriano mengajukan proposalnya kepada Interpol. Dalam proposalnya Pebriano memaparkan hasil risetnya yang menyatakan tindak kriminal manusia dipengaruhi oleh pola pikir. Sedang pola pikir manusia terkode dalam DNA-nya. Jadi, dari kode-kode DNA itulah potensi seseorang melakukan tindak kriminal sudah terbaca. Proposal tersebut kemudian mendapat apresiasi luas dan dikenal dengan CoC. Dua tahun kemudian PBB mendukung pengintegrasian CoC dengan single identity number.

Di Indonesia,  CoC menjadi kontroversi. Sebagian pihak mendukung penerapannya dalam perekrutan pejabat publik, termasuk seleksi calon legislatif. Tetapi, anggota legislatif Luthfiah Fathanah Ishaaq menggalang dukungan parlemen untuk menolaknya. Tidak hanya itu dengan alasan HAM, LSM-LSM yang bergerak di bidang HAM menentang CoC. Mereka mengatakan azas praduga tidak bersalah harus dikedepankan, apalagi CoC masih berupa potensi kriminal maka proposal tersebut ditentang. Netizen pun menentangnya dengan sindiran #YukCekDNACalonmu. Salah seorang netizen berkicau, “Bibit, bobot, bebet sih penting!. Tp masa c harus cek DNA dulu.”

Karena penolakan keras dari banyak elemen masyarakat, akhirnya, CoC hanya digunakan oleh kepolisian untuk mengurangi angka salah tangkap. Setelah disetujui DPR, pendataan mulai dilakukan. Setiap warga negara termasuk bayi yang baru lahir diambil sample darahnya. Sample darah itu kemudian dianalisa untuk mengetahui kode-kode DNA-nya. Dan sudah 6 bulan versi kedua dari CoC diluncurkan.

“Mana rekaman CCTV-nya?”

“Siap, Inspektur,” sahut Brigadir Armand tanpa menoleh. “Pukul 20.34 korban bersama temannya keluar dari mobil Toyota Sky.” Brigadir Armand mulai menjelaskan. Tampilan pada layar monitor berganti. “Keduanya naik dengan lift. “  Terlihat dua orang yang memasuki lift. Tampilan monitor kembali berganti “Pukul 20.38 korban dan temannya masuk ke dalam apartemen.”

Sambil memperhatikan layar monitor kuseruput lagi kopi pahit tanpa gula. Sesaat cairannya kumainkan dirongga mulutku sebelum sedikit demi sedikit kuteguk. “Jadi mereka tahun baruan berdua di apartemen,” ucapku lirih. “Secantk Nilam ..,” sambungku nyaris tanpa suara.

“Pukul 03.48 teman korban keluar dari apartemen.” Armand melanjutkan. “Teman korban pergi dengan taxi.” Monitor menampilkan bagian timur apartemen yang menghadap ke jalan raya. Terlihat teman Nilam menghentikan taxi. “Pukul 04.12 Gita, adik korban, memasuki apartemen. Kurang dari satu menit kemudian Gita keluar sambil berlari.”

“Kepala regu satpam apartemen melapor pada 04.16,” sambung Brigadir Dua Erwin.

“Dan aku dibangunkan pada 04.55,” bisikku dalam hati.

“Sudah dapat informasi sidik jari di gelas dan botol?”

“Ada dua. Satu milik Nilam. Satu lagi milik Puput Anggraini,” jawab Chaca sambil menunjukkan gadget-nya.

“Cari siapa Puput Anggraini,” perintahku.

Kurang dari lima menit informasi mengenai Puput sudah kudapat. “Aku ke sana sekaranng. Chaca dan dua lainnya ikut aku.”

Apartemen Kejaksan 07.40 WIB

“Inspektur Gasa,” kataku mengenalkan diri begitu pintu apartemen dibuka. Kuperhatikan perempuan yang bediri di balik pintu. Postur tubuhnya mirip dengan sosok yang terekam CCTV. “Puput Anggraini?”

“Ya, saya sendiri.”

“Boleh saya minta keterangan dari Anda.”

“Oke. Ada apa?”

“Anda kenal Nilan Puspitasari.”

“Kenal. Dia sahabat saya. Semalam saya sama dia. Kenapa dia?”

“Kapan terakhir ketemu Nilam.”

“Tadi pagi ... sekitar jam tigaan. Memangnya ada apa?”

Kukeluarkan e-Finger. “Silahkan tempelkan jari di sini,” kataku sambil menyorongkan e-Finger.

“Untuk apa? ... Kenapa Nilam?”

“Untuk memastikan identitas Anda.”

“Jawab dulu, ada apa?”

“Nilam tewas tergantung.”

Seketika raut wajah Puput menegang. Matanya melebar. “Apa ... apa hubungannya dengan ... dengan saya?” Nilam menatapku tajam. “Kamu pikir saya yang membunuh Nilam.

Chaca mendekati Puput. “Tenang dulu, Mbak. Tidak ada apa-apa. Kami hanya butuh informasi tambahan.”

“Coba lihat, apa mungkin saya menggantung Nilam?” kata Puput beberapa lama kemudian. Suaranya tidak lagi terdengar gugup.

“Saya tidak tahu,” jawabku seenaknya

“Berapa berat badan Nilam? Berapa berat badan saya? Di mana logikanya saya kuat mengangkat terus, menggantung Nilam?”

“Saya hanya butuh identifikasi,” jawabku sambil menyodorkan e-Finger.

“Oke kalau begitu.”

Kulihat Puput menjulurkan tangan kanannya. Kemudian ia menyentuh layar e-Finger. Sorot wajah Puput tidak lepas menatapku.

“Sudah lama kenal dengan Nilam?” tanyaku berusaha mengendurkan ketegangan sambil menunggu data dari e-Finger.

“Dia teman kuliah.” Puput menatapku tajam sambil menyandarkan punggungnya pada dinding di belakangnya. “Kamu pikir saya membunuh teman sendiri?” Suara Puput meninggi.

“Ping!” suara dari e-Finger tanda data masuk.

Kulihat layar e-Finger. Di situ terlihat foto milik Puput. Jadi perempuan yang kutemui memang Puput yang sidik jarinya ditemukan pada gelas di apartemen Nilam. Ujung jempolku menggeser layar e-Finger. Pada layar berikutnya terbaca data diri Puput. “Sebentar,” kataku pada Puput lalu mengambil ponsel untuk menghubungi Gunawan. Berbeda dengan e-Finger yang bisa diakses dengan sebuah gadget, CoC hanya bisa diakses lewat perangkat komputer khusus yang telah teregistrasi. Tidak sembarangan polisi bisa mengakses CoC karena sistem pengamanannya yang berlapis. Setelah memasukkan 12 digit karakter password, pengakses harus memindai retina matanya. Gunawan menjadi salah seorang dari dua anggota kepolisian di Polisi Metro Cirebon yang memiliki akses pada CoC.

“Halo,” sapa Gunawan.

“Boss, saya minta data Puput Anggraini.” Lalu kusebutkan nomor identitas Puput.

“Oke tunggu.”

“Kamu masih yakin kalau saya yang menggantung Nilam,” kata Puput lalu tertawa kecil.

“Saya tidak pernah menghilangkan kemungkinan sekecil apapun,” balasku.

“Saya yakin tidak akan terbukti.” Puput mendekatiku. “Kita taruhan.” Ia berbisik didekat telinga kiriku. “Kalau aku bebas, kita bercinta malam sore ini.”

Aku menahan tawa mendengar ajakannya. Sambil melirik Chaca yang menatapku tajam, kubalas tantangan Puput. “Oke, kalau terbukti, kita bercinta sore ini,” bisikku tidak kalah halus.

Beberapa saat kemudian ponsel dalam genggamanku bergetar. “Halo,” sapaku.

“Negatif.” Terdengar suara Gunawan. “Potensi membunuh Puput hanya 18 %.”

“Terima kasih,” kataku lemah. Lalu aku menoleh pada Puput yang menatapku dengan pandangan penuh tanda tanya. “Anda tidak terbukti,” kataku. Dan tidak lupa aku mengingatkan tantangannya. Kudekati dia dan berbisik. “Anda menang taruhan.”

“Oke, saya tunggu sore ini jam empat,” balasnya lirih nyaris tanpa suara.

Setelah melempar senyum pada Puput, aku meninggalkannya Begitu tiba di basement menuju motorku diparkir, Chaca menumpahkan kekesalannya.

“Ada apa tadi main bisik-bisik?” katanya. “Pasti ada yang dirahasiakan.”

Hampir saja aku menjawab, ponselku kembali bergetar. Gunawan mengeleponku lagi.

“Puput Anggraini tercatat tiga kali diduga melakukan pembunuhan. Semua bukti mengarah ke dia. Tapi, semuanya lolos karena potensi membunuhnya sangat kecil.”

“Boss, ada satu yang sejak lama aku pikirkan. Apa CoC bisa membaca kejiwaan orang yang berkepribadian ganda?”

“Saya tidak tahu.”

“Boss Gun tidak tahu atau CoC tidak bisa?” Aku meyakinkan

“Tidak tahu!”

Rusun Polri Metro Cirebon, 22.30 WIB

Kuluruskan punggungku di ranjang. Kuusap-usap dadaku sambil memejamkan mata membayangkan yang baru saja kulewati. Bekas gigitan Puput masih terlihat jelas di dada kiriku. Belum lagi goresan-goresan bekas cakarannya. Nyeri rasanya begitu terkena air. Tubuhku sepertinya remuk. Pinggangku ngilu. Tulang-tulangku seperti berlepasan dari sendi-sendinya. Semoga itu bukan yang terakhir, harapku.

“Dok... dok ... dok...!” Suara pintu diketuk dari luar.

“Inspektur, keluar!”

Ada apa ini? Aku mengenali pemilik suara itu. Aku menggeliat ke kanan. “Ada apa?” teriakku.

“Keluar, kamu!”

“Sebentar!” teriakku sambil bangkit duduk. “Sebentar.”

Begitu pintu dibuka kulihat Komisaris Arke disertai anak buahnya.

“Kamu ditahan,” kata Arke.

“Apa salah saya?”

“Kamu telah melakukan pemerkosaan terhadap Puput Anggraini. Bukti-bukti sangat kuat. Sperma, sample kulit, rambut semua identik dengan kamu.”

“Aku tidak memperkosa.”

“Dan menurut CoC, potensi kamu melakukan pemerkosaan sebesar 52%.”

“Apa!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun