“Jokowi bakal keluar dari PDIP dan bergabung dengan KMP.” Inilah isu yang banyak dibincangkan beberapa hari belakangan ini. Isu ini berkembang pasca pertemuan Prabowo Subianto dengan Jokowi di Istana beberapa waktu yang lalu. Pertemuan yang dilakukan di tengah kemelut politik akibat pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kapolri inilah yang kemudian mengubah sikap KMP.
KMP yang pada mulanya mengumbar ancaman akan memakzulkan Jokowi jika tidak segera melantik BG menjadi mendukung apa pun keputusan Jokowi terkait BG. Sebaliknya, PDIP dan NasDem sebagai parpol penyokong justru menekan Jokowi untuk segera melantik BG.
Desakan untuk segera dilantiknya BG yang pencalonannya menurut Syafii Maarif bukan atas inisiatif Jokowi ini semakin menjelaskan kuatnya tekanan dari parpol-parpol pendukung kepada Jokowi. Tekanan ini dipandang bukan saja sebagai pengebirian terhadap hak-hak prerogatif presiden, tetapi juga harapan publik akan terjadinya perubahan. Karena tekanan-tekanan itu, Jokowi yang awalnya digadang-gadang sebagai “The New Hope”, kini berubah menjadi “The New Hopeless”. Karenanya, banyak yang berpikir harapan masyarakat akan perubahan itu kembali terwujud jika Jokowi keluar dari PDIP. Malah ada yang mengusulkan untuk membentuk parpol baru.
Masalahnya, apakah jika Jokowi keluar dari PDIP yang artinya juga melepaskan diri dari dukungan KIH segala persoalan akan lebih mudah diatasi?
Jokowi menjadi presiden bukan dengan datang mendaftar sendiri ke KPU, tetapi dengan PDIP sebagai parpol pendukungnya. Dan, karena adanya persyaratan presidential threshold, PDIP pun harus menggandeng parpol-parpol lainnya untuk mencapai ambang batas yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Jika dibanding presiden-presiden sebelumnya, kendali Jokowi atas parpol pendukungnya sangat lemah. Bahkan, bisa dikatakan hampir tidak ada sama sekali. Pasca-reformasi, mulai dari Gus Dur, Megawati, dan kemudian SBY semuanya memegang kendali atas partai. Ketiganya duduk sebagai ketua umum parpol. Sedangkan, Jokowi sama sekali tidak menempati satu pun posisi struktural di parpol. Dengan kata lain, Jokowi tidak memiliki kekuasaan atas PDIP, partai pengusungnya dalam Pilpres 2014. Di lain pihak, Jokowi memiliki lawan politik yang terus menerus menebar ancaman pemakzulan. Sebagai perbandingan, SBY yang memiliki kekuasaan atas partai dan koalisi yang dipimpinnya pun tidak sanggup mengendalikan Golkar dan PKS di parlemen.
Dengan konsekuensi politik seperti ini tidak ada salahnya jika antara Jokowi sebagai presiden terpilih berbagi “kue” dengan PDIP dan parpol-parpol yang telah mendukungnya. Dan, dengan situasi politik yang rawan konflik ini wajar pula jika Jokowi memilih orang-orang yang dekat dengannya untuk tetap bersamanya.
Jadi, jika PDIP kereta perang bagi Jokowi, maka Megawati adalah kusirnya dan kader-kader PDIP adalah kuda-kuda penariknya. Sedang PKB, NasDem, Hanura dan PKPI adalah bala pasukan pendukungnya. Dalam situasi perang sangat tidak mungkin jika seorang ksatria turun dari kereta perangnya hanya karena tidak seiring dengan kusir pengendali kereta perangnya.
Hal ini juga yang terjadi pada Adipati Karna ketika berhadapan dengan Arjuna dalam perang Baratayudha. Dikisahkan saat berperang tanding melawan Arjuna, Karna merasa ada keanehan di mana ia begitu sulit membidik Arjuna, namun sebaliknya, anak-anak panah yang dilepaskan Arjuna selalu nyaris mengenainya.
Seiring waktu Karna mengetahui pangkal dari keanehan yang dialaminya. Karna mengamati Salya sebagai kusir kereta perangnya selalu menggerakkan kereta saat ia sedang membidik. Inilah yang membuatnya sulit membidik Arjuna. Sedang, di saat Arjuna sedang membidiknya, Salya menghentikan kereta perang yang membuat dirinya mudah diserang.
Apakah Karna protes kepada Salya, bahkan turun dari kereta perangnya?
Tidak! Karna tidak memprotes sikap Salya padanya. Memprotes sikap Salya yang juga mertuanya sendiri dan juga mertua dari Prabu Duryudhana tentunya akan mengganggu hubungan kekeluargaan antara ketiganya.
Karna mengatasi sikap Salya dengan mengubah gaya bertempurnya dengan memaksimalkan fungsi kereta perang sebagai benteng pertahanannya. Keputusan Karna untuk tetap berada di atas kereta perangnya juga sangat tepat. Sebab, tanpa kereta perang, posisi Karna lebih terbuka untuk diserang. Arjuna akan lebih leluasa menyerangnya dari segala arah. Tanpa kereta perang, Karna tidak ubahnya seperti gedebog pisang yang menjadi bulan-bulanan anak-anak panah yang dilepaskan Arjuna.
Sama dengan Jokowi, jika ia keluar dari PDIP, maka ia akan kehilangan dukungan di parlemen. Lebih parah lagi, jika keluarnya Jokowi dianggap sebagai pengkhianatan terhadap PDIP dan parpol pendukungnya. Tidak akan ada lagi yang membela Jokowi di Senayan. Program-program Jokowi akan dimentahkan lewat berbagai strategi, salah satunya bisa dengan menghambat proses penetapan APBN. Jokowi akan dihabisi!
Sama seperti Karna yang jika memilih turun dari kereta perang akan semakin sulit menghadapi Arjuna. Bukan itu saja, Karna pun akan kehilangan dukungan dari tentara Kurawa. Tanpa dukungan pasukan Kurawa, Karna dapat terjebak dalam kepungan pasukan Pandawa. Dalam posisi terkepung, Karna bukan saja menghadapi Arjuna, tetapi juga tentara Pandawa yang mengurungnya. Karna tinggal menunggu nasib sebagaimana Abimanyu yang dihabisi secara mengenaskan.
Abimanyu secara mengenaskan setelah gagal menembus formasi gelar pasukan Cakrabyuha yang digagas Resi Durna. Dalam pusaran Cakrabyuha yang membentuk labirin Abimanyu terseret dan terpisah dari pasukannya. Di sanalah Abimanyu dirajam oleh ribuan anak panah dihujani pukulan dan sabetan pedang, sebelum akhirnya Jayadrata memukulkan gada memecahkan kepalanya.
Demikian pula dengan Jokowi, jika ia keluar atau memisahkan diri dengan PDIP dan parpol pendukungnya, ia akan menjadi samsak hidup. Jokowi akan mendapat serangan dari segala penjuru tanpa ada lagi yang bisa membentenginya. Dalam kasus pencalonan BG, misalnya, Jokowi seolah dijepit dari berbagai penjuru, termasuk oleh parpol pendukungnya sendiri. Dalam pusaran konflik kepentingan antara istana, parpol, parlemen, KPK, Polri, dan pihak-pihak lainnya, Jokowi terancam akan dimakzulkan.
Jika tidak lagi mendapat dukungan dari KIH, Jokowi dapat dengan mudah dimakzulkan oleh parlemen. Pelanggaran sumpah jabatan karena dinilai melanggar konstitusi menjadi pintu masuknya. Hampir sama dengan Abimanyu yang terajam berbagai jenis senjata akibat sumpah palsunya.
Abimanyu yang terpesona oleh Dewi Utari mengaku masih bujangan ketika ditanya statusnya. “Kalau aku bohong, aku berani mati dengan terkena bermacam gada, terhunus ratusan anak panah, tercabik-cabik pedang, dan diterpa senjata-senjata,” sumpahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H