Mohon tunggu...
Gatot Priyoharto
Gatot Priyoharto Mohon Tunggu... Lainnya - i am good

i am good as well

Selanjutnya

Tutup

Money

Omicron dan Mimpi Buruk Ekonomi Nasional

20 Desember 2021   11:37 Diperbarui: 20 Desember 2021   11:46 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ancaman Varian Baru

Belum hilang dari ingatan ganasnya varian Delta Covid-19 yang merajalela di bulan Juli-Agustus 2021, kini muncul lagi varian baru Omicron atau B.1.1.529 datang mengancam. Varian yang katanya berasal dari daratan Afrika itu, diindikasi menular lebih cepat 3 -- 5 kali dibandingkan varian Delta. Terbayang gambaran kondisi PPKM darurat lalu, namun dengan intensitas 5 kali lebih gawat.

Omicron sebagaimana varian Delta atau Covid-19 pada umumnya, tidak hanya mengancam keselamatan jiwa manusia, namun juga ke banyak sendi kehidupan termasuk perekonomian. Sejak menjadi pandemi di awal tahun 2020, tekanan Covid-19 pada perekonomian begitu terasa. Bagaimana tidak, Indonesia yang ekonominya selalu tumbuh sekitar 5 persen setiap tahunnya harus menerima kenyataan anjlok -2,07 persen. Kondisi global bahkan lebih menyedihkan, terpuruk hingga -3,4 persen.

Ancaman terhadap ekonomi nasional yang mulai bergerak membaik, jelas perlu diwaspadai. Sektor mana saja yang riskan untuk terpuruk, harus segera dimitigasi. Perhatian sektor apa, bisa dilihat dari rumus Y =C+I+G+(E-M) yaitu Konsumsi Masyarakat (C), Investasi (I), Belanja Pemerintah (G), hingga Ekspor-Impor (E-M).

Tekanan Pada Perekonomian

Konsumsi masyarakat, sebagai kontributor utama ekonomi nasional, sangat rentan terpukul. Kebijakan pembatasan kegiatan (PPKM) sangat mungkin diterapkan Pemerintah, sebagai langkah penanganan. Akibatnya aktifitas masyarakat menjadi sangat terbatas, sehingga ekonomi tidak bergerak dampak turunnya kegiatan belanja dan berakhir dengan melemahnya kesejahteraan atau daya beli.

Masyarakat bahkan dikhawatirkan seperti sudah jatuh tertimpa tangga, mengingat saat ini sedang dihadapkan dengan situasi naiknya harga kebutuhan sehari-hari. Menteri Perdagangan bahkan mengonfirmasi kenaikan harga minyak goreng yang terdampak pasokan CPO, juga telur dan cabai yang terdampak musim penghujan maupun kelancaran pasokan. Selain itu, ada libur perayaan Natal dan Tahun Baru yang biasanya juga memberi pengaruh pada kenaikan harga.

Tidak bergeraknya ekonomi merembet kepada tertundanya arus investasi, mengingat investor merasa dananya lebih aman bila dilarikan dalam bentuk save haven, seperti emas misalnya. Kondisi yang pernah terjadi saat awal-awal Covid-19 melanda di tahun 2020, dimana demand emas sangat tinggi hingga mendorong kenaikan harga yang signifikan. Investasi langsung atau Foreign Direct Investment (FDI) jangan ditanya, sudah pasti tiarap sementara waktu.

Konsumsi masyarakat yang nyungsep, tentu menekan permintaan terutama barang konsumsi. Bila itu terjadi maka industri akan mengalami kesulitan, mengingat supply-nya tidak terserap maksimal. Alhasil perusahaan akan mengurangi beban produksi, salah satunya dengan me-lay off-kan pegawai. Kondisi ini jelas menambah masalah yang kita bahas sebelumnya, yaitu pelemahan daya beli masyarakat.

Lesunya industri tidak hanya berdampak pada konsumsi masyarakat, namun juga aktifitas impor-ekspor nasional. Impor nasional yang sekitar 75 persennya berupa bahan baku dan penolong, jelas akan terimbas perlambatan sektor industri. Lemahnya daya beli masyarakat juga mempengaruhi impor nasional, terutama impor atas barang konsumsi yang porsinya sekitar 13 persen. Tekanan aktifitas impor masih bertambah dari efek melambatnya investasi, terutama pada impor atas barang modal yang kontribusinya sekitar 12 persen.

Pun demikian dengan ekspor, yang diperkirakan mendapat tekanan dari melambatnya industri. Selain kondisi dalam negeri, ekspor juga terpengaruh situasi negara tujuan, yang tidak tertutup kemungkinan perekonomiannya terdampak Omicron. Ekspor dari sektor industri atau manufaktur yang memiliki value added, seperti besi/baja atau otomotif, jelas terhambat ekonomi negara tujuan yang melambat mobilitas maupun geliat industrinya.

Konsumsi masyarakat, investasi, hingga aktifitas impor-ekspor nasional dikhawatirkan terpukul bila Omicron merajalela, sehingga di sinilah pentingnya peran Pemerintah. Pengalaman varian Delta lalu bisa menjadi pelajaran berharga, dimana Pemerintah tidak bisa lagi menggunakan strategi catenaccio a la sepakbola Itali yang cenderung bertahan.

Strategi Penanganan

Omicron harus ditangani dengan lebih agresif. Kita tidak boleh menunggu atau pasif, tapi bagaimana segera melakukan antisipasi. Strategi gegenpressing a la Manchester United yang menuntut para pemain menekan lawan secara konsisten dan terorganisir, bisa dijadikan referensi atau diadopsi.

Pressing dengan mempersempit pergerakan atau potensi penularan virus bisa dilakukan dengan menggalakkan lagi gerakan 3M yang mulai luntur di masyarakat. Kesadaran protokol kesehatan (prokes) di masyarakat, tempat kerja hingga ruang publik harus menjadi perhatian. Percepatan program vaksinasi juga harus terus digeber guna mencapai target aman Herd Immunity.

Mengingat faktor-faktor pendorong perekonomian rentan terinfeksi Omicron, maka Pemerintah harus memaksimalkan peran belanja (APBN) dalam menyokong denyut ekonomi nasional. Sebagaimana gegenpressing tadi, Pemerintah dituntut konsisten dan efektif dalam penyaluran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Celah-celah yang diperkirakan terdampak, secara responsif segera ditutup dengan stimulus.

Hal itu memang tidak mudah, mengingat dalam 2 tahun terakhir Pemerintah sudah habis-habisan memberikan stimulus fiskal (PEN), yaitu tahun 2020 dengan PAGU sebesar Rp695,2 triliun dan tahun 2021 dengan PAGU sebesar Rp744,77 triliun. Padahal tahun 2022 merupakan tahun terakhir defisit diperkenankan melebihi 3 persen, sebagaimana UU 2 tahun 2020.

Perlu diingat, bahwa Omicron bukan satu-satunya ancaman ekonomi nasional saat ini bahkan di tahun 2022 nanti. Ada risiko peningkatan suhu lingkungan global yang mendorong ketidakpastian (volatile) di akhir tahun ini. Menteri Keuangan dalam suatu kesempatan menyampaikan bahwa tapering yang berakibat likuiditas turun dan suku bunga naik di Amerika Serikat, ditambah lonjakan inflasi Eropa, memberi pressure pada Bank Sentral. Kondisi ini akan berdampak pada capital flow emerging country, sehingga nilai tukar rawan tertekan.

Kemampuan Pemerintah dalam mengonsolidasikan peran APBN akan memegang peranan penting. Namun itu belum cukup, perlu dukungan percepatan program vaksinasi nasional dan juga pengendalian prokes di masyarakat. Bila kombinasi ketiganya berjalan efektif dan terorganisir, maka gegenpressing dipastikan dapat mengendalikan ancaman Omicron terhadap ekonomi nasional. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun