Kinerja NP di tahun pandemi
Kinerja Neraca Perdagangan (NP) nasional hingga bulan Mei 2021 mengalami surplus mencapai USD10,17 miliar, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada rilis perkembangan ekspor dan impor Indonesia bulan Mei 2021 lalu. Kondisi yang sekilas menggambarkan betapa menjanjikannya proses pemulihan ekonomi nasional, setelah hampir 1,5 tahun dirundung pandemi Covid-19.Â
Surplus NP sendiri sebenarnya telah terjadi sejak bulan Mei tahun 2020 lalu, padahal saat itu ekonomi nasional sedang mengalami tekanan terberat dampak pandemi. Aktivitas ekspor maupun impor turun drastis dibandingkan bulan sebelumnya (mtm), yang dipengaruhi juga faktor periode puasa/lebaran saat itu. Kinerja NP tertolong oleh menipisnya defisit neraca migas, yang terpengaruh penurunan impor bahan bakar minyak yang demand-nya melemah dampak kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat (PSBB).
Sepanjang tahun lalu, praktis kinerja ekspor maupun impor mendapatkan tekanan yang luar biasa. Aktivitas keduanya tertekan, hingga kinerjanya lebih rendah atau tumbuh negatif dibandingkan tahun 2019, dimana pandemi belum merajalela. Pelemahan ekonomi nasional, mulai daya beli masyarakat hingga geliat industri, mengakibatkan kinerja impor turun hingga (-17,34%) versi BPS.
Ekspor pun demikian, meskipun penurunannya tidak sedalam impor karena terkontraksi hanya -2,61% versi BPS. Penurunan kinerja ekspor tahun 2020, tidak lepas dari moncernya aktivitas ekspor sektor nonmigas yang terkoreksi hanya -0,57% meskipun dihadang badai pandemi. Performa positif ekspor nonmigas pula lah yang mengakibatkan NP nasional surplus, bahkan yang terbesar sejak tahun 2015 lalu.
Geliat ekspor komoditas
Awal tahun 2020 dunia dikejutkan dengan mulai mewabahnya Covid-19, yang dampaknya mulai terasa di semua sektor termasuk ekonomi. Sebagai Langkah antisipasi, beberapa negara mulai menerapkan kebijakan menutup diri (lockdown) yang mengakibatkan collapse-nya perekonomian dunia. Bila Lionel Richie mengatakan kalau love will find a way, maka begitu juga di ekonomi. Volatilitas atau ketidakpastian, membuat banyak pihak mencari jalan untuk menyelamatkan asetnya, seperti beralih ke aset safe haven.Â
Bisa ditebak apa yang terjadi kemudian ketika permintaan yang melonjak di atas kapasitas supply-nya, yaitu hukum ekonomi dasar dimana harga emas atau logam mulia beranjak naik hingga akhir tahun 2020.
Tidak hanya emas sebenarnya, ada beberapa komoditas yang menjadi penyelamat kinerja NP di tahun lalu. Menurut data bea cukai, terdapat 6 komoditas nonmigas yang menjadi kontributor utama ekspor nasional di tahun 2020. Bahkan kontributor ekspor terbesar nasional adalah batubara, namun sayang kinerjanya tertekan cukup dalam tahun lalu.Â
Tidak cukup hanya kontribusi, ekspor komoditas juga menjadi rangking 1 dalam hal performa. Tahun lalu, 5 besar kinerja pertumbuhan tertinggi diraih semuanya oleh komoditas nonmigas berturut-turut besi/baja dasar, logam dasar mulia, tembaga, hingga produk kelapa sawit. Hanya produk kelapa sawit yang tumbuhnya di kisaran10 persenan, sedangkan lainnya tumbuh di atas 40% bahkan tembaga tumbuh 88% lebih.
Harga logam dasar mulia meroket sepanjang tahun 2020, seiring melonjaknya permintaan atas emas yang merupakan investasi yang dianggap aman (safe haven). Kondisi ketidakpastian global, baik perdagangan maupun perekonomian, mengakibatkan banyak pihak melirik emas sebagai pelarian investasinya. Permintaan atas emas tidak hanya didominasi oleh para investor kelas dunia, namun juga melanda masyarakat luas. Kekhawatiran berulangnya situasi krisis ekonomi tahun 1998 yang mengakibatkan turunnya nilai mata uang, membuat masyarakat berbondong-bondong mengalihkan tabungannya (uang) menjadi emas.
Gabungan ekspor produk kelapa sawit nilainya mencapai lebih dari USD16 milar atau menjadi kontributor tertinggi ekspor nasional. Kinerja meyakinkan tersebut tidak lepas dari faktor terbatasnya pasokan produk kelapa sawit global. Negara produsen besar lainnya, seperti Malaysia, produksinya terdampak signifikan oleh pandemi. Alhasil, Indonesia menjadi penyedia terbesar kebutuhan pasokan produk kelapa sawit dunia yang berimbas pada peningkatan harga globalnya.
Ekspor tembaga sempat tersendat pada tahun 2018 dan 2019. Kondisi situs pertambangan tembaga yang sedang mengalami perbaikan, mengakibatkan proses produksi terganggu, sehingga berakibat pada tidak maksimalnya produksi. Pada tahun 2020 perbaikan sudah mencapai tahap akhir, sehingga proses produksi dapat lebih maksimal. Selesainya perbaikan tambang bertepatan dengan tren peningkatan investasi komponen kendaraan listrik. Alhasil, demand pun meningkat disertai dengan membaiknya harga tembaga di pasaran dunia.
 Ibrah dari kinerja komoditasÂ
Apa yang terjadi dengan kinerja ekspor komoditas di atas sebenarnya ada pesan atau indikasi atas fundamental perekonomian negeri ini. Di satu sisi memang performa tersebut patut disyukuri, namun jangan berhenti di situ saja. Penting untuk dicari tahu kenapa ekspor komoditas primer nasional moncer tahun lalu, dan bagaimana pengaruhnya bagi negara ini.
Hingga saat ini kontributor ekspor didominanasi oleh komoditas maupun olahan (primer) komoditas, yang fluktuatif bahkan cenderung volatil. Tingginya ekspor nasional yang dimotori ekspor komoditas tadi, tentu memberi dorongan positif ke perekonomian terutama kondisi Transaksi Berjalan (current account) relatif aman.
Komoditas besi dan baja dasar yang mencolok kinerjanya menjadi sinyal bahwa negeri ini mampu bersaing pada produk dengan teknologi tinggi. Belum lagi produk kelapa sawit, berupa minyak goreng, yang performanya lebih baik dari CPO. Dinamika yang terjadi di dunia, terutama negara tujuan ekspor utama, harus dapat dimaksimalkan potensinya.
Negeri ini harus segera menggeser produk unggulan ekspornya bila ingin merubah nasib perekonomian nasional. Investasi, terutama Foreign Direct Investment (FDI), yang berbasis teknologi harus dibuka selebar-lebarnya demi menyambut bonus demografi yang kita miliki. Tapi ingat, bonus demografi ada batas efektifnya, jangan sampai bonus itu berbalik menjadi beban.
Perwakilan World Bank untuk Indonesia dan Timor Leste, Satu Kahkonen menyampaikan pada agenda Indonesia Economic Prospect (IEP) beberapa waktu lalu bahwa Indonesia perlu menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan untuk pekerja kelas menengah (middle class job). Hal itu perlu dilakukan bila Indonesia masih berkeinginan menjadi negara berpenghasilan tinggi di tahun 2045. FDI bidang manufaktur atau industri harus dijaring lebih luas, karena di sektor itulah banyak menyerap tenaga kerja.
Pemerintah pun harus sigap dan siap dengan memnyiapkan strategi peningkatan sumber daya manusia. Hal itu menjadi penting mengingat tenaga kerja sektor industri tidak sama dengan sektor yang pengolahan sumber daya alam. Tenaga kerja di dalam negeri yang mumpuni harus siap, jangan sampai lapangan pekerjaan level menengah tadi diisi oleh ekspatriat. Nah, disinilah peran sinergi pemerintah dan masyarakat, jangan sampai pemerintah sudah membuka lebar investasi, tapi masyarakatnya masih asyik dengan pubg.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H