[caption id="attachment_154109" align="alignnone" width="285" caption="Lautan Api di Duri Kosambi (source:bmay0k/twitter detik.com)"][/caption] [caption id="attachment_154120" align="alignnone" width="300" caption="Kebakaran juga berpengaruh pada rusaknya          infrastruktur listrik                                                     (Source :PRAWIRAMAULANA/TRIBUNNEWS.COM Kompas.com)"][/caption] [caption id="attachment_154123" align="alignnone" width="300" caption="Pemadam Kebaran berusaha memadamkan api yang merusak 150 rumah dan 5 mobil (source:Tribunnews.com/prawira maulana. Kompas.com)"][/caption]
Alkisah seorang bernama Ken Arok menusuk seorang empu dengan keris saktinya. Dan matilah si empu kemudian. Si Arok juga mengatur pembunuhan Tunggul Ametung dengan keris yang sama. Dan jadilah Ken Arok raja. Namun sayang konon Ken Arok juga tewas ditikam keris sial ini. Dan si Arok pun terkena karmanya.
Di sebuah daerah di republik ini terjadi lagi bahasa kekerasan. Hanya karena serempetan kendaraan, lalu melebar menjadi percekcokan nan tak kunjung reda. Akhirnya ada yang kena bacok ( sampai mati) dan semuanya menjadi tak terkendali lagi. Emosi sesaat menguasai menggatikan akal sehat. Bakar-bakaran menjadi pilihan menawan.
Ketika hukum tidak berjalan dengan semestinya maka aturan-aturan antar manusia menjadi nisbi (baca:relatif). Setiap orang menjadi semakin berani buat aturan sendiri. "Pokoknya saya selesaikan dengan cara saya! Titik!! Kamu harus begini... begitu...."
Wah-wah tidak ada lagi musyawarah. Ini jelas parah sekali tingkatannya. Satu sama lain bisa saling bacok hanya karena merasa dirinya paling benar. Kelompok satu bisa membakar perkampungan kelompok lain hanya karena tidak sependapat.
Bila kita menggunakan bahasa pedang dalam menyelesaikan masalah maka pedang itu akan menjadi bumerang. Menikam dengan keris harus siap ditikam juga dengan keris. Pembacok harus siap dibacok.
Sejak jaman romawi dulu setiap pemikir negara tahu bahwa hukum hanya akan dipatuhi apabila ada angkatan bersenjata yang kuat. Artinya bila tidak ditegakkan hukum hanya akan menjadi semu. Fenomena-fenomena kekerasan semacam ini bisa jadi juga merupakan ekspresi kejengahan masyarakat terhadap hukum. Bahasa jawanya nyepelekke hukum alias menyepelekan hukum. Dulu negara romawi membangun negaranya dengan tentara legionnaire yang legendaris itu. Negara pun menjadi berwibawa dan rakyat patuh hukum.
Di indonesia sekarang ini apakah aparat hukumnya cukup berwibawa? Kita harus menghormati aparat hukum termasuk hormat dan menghargai polisi. Karena polisi jugalah yang menjadi ujung tombak dalam ketertiban masyarakat. Namun polisi seharusnya juga menjaga wibawanya. Jangan mau disuap, jangan korupsi, de el el.
Sebenarnya dalam kasus-kasus keamanan di tingkat lokal, keterlibatan tentara (TNI) juga penting dalam menengahi masalah. Karena biasanya seorang trouble maker cukup segan dengan tentara. Namun si tentara juga harus berusaha netral dan tidak berat sebelah sebagai penengah masalah. Bila polisi dan tentara berwibawa maka efeknya masyarakat akan sangat takut sekali berbuat jahat, merusak dll.
Tanpa ada shock therapy bagi para pelaku kriminal maka setiap orang cenderung mudah berbuat jahat. Ibarat api kecil dalam tumpukan sekam yang siap berkobar hanya dengan sepercik bensin.
Setiap orang yang tidak puas bisa saja menjawab demikian: "Lah ini negara demokrasi bung. Ini bukan jaman orba dulu. Sekarang saya berhak bicara dengan cara saya. Saya berhak menyelesaikan sendiri perkara saya dengan senjata saya dan kawan-kawan saya."
Well, benar juga. Namun apakah tidak ada tenggang rasa juga dengan hak-hak orang lain? Nanti dulu mas, mbak, pakdhe, engkong. Perhatikan hak-hak orang lain juga. Kalau kita berbicara dengan mencak-mencak dan arogan, apakah itu tidak membuat kita menyakiti hati orang lain? Kalau kita melabrak orang dengan membawa massa yang cukup banyak apakah tidak bersifat menantang? Tidak adakah cara lain misalkan dengan perantara pihak ketiga. Seorang anggota TNI/Polri yang disegani misalnya. Tentunya harus berkriteria tokoh masyarakat yang menjadi panutan. Karena kalau udah main massa. Banyak orang yang berkumpul susah ngendaliinnya. Lebih baik kan kalau cuma serempetan kendaraan duduk bersama untuk berbicara secara baik-baik.
Untuk berita selengkapnya :
Kompas,150 Rumah Dan 5 Mobil Ludes
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H