Pada 20 Oktober 1999, MPR memilih presiden baru yaitu Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.
Gus Dur kemudian mulai melakukan reformasi pemerintahan dengan membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Kedua departemen ini dinilainya tidak efektif.
Pada tahun 1999, Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini untuk menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor-Timur. Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut.
Pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.
Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.
Pada Agustus 2005, Gus Dur menjadi salah satu pemimpin koalisi politik yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama mengenai pencabutan subsidi BBM yang akan menyebabkan naiknya harga BBM.
Pada tanggal 1 Juni 2008 Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abudurrahman Wahid atau Gus Dur mengunjungi para korban kekerasan yang dilakukan massa berpakaian sebuah organisasi tertentu di Lapangan Monas, Jakarta. Beberapa nama yang tercatat menjadi korban kekerasan adalah Direktur Eksekutif International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) Syafii Anwar dan Direktur Eksekutif Wahid Institute Ahmad Suaedy.
Pada tanggal 31 Oktober 2009 Gus Dur ikut serta mendukung pembebasan pimpinan KPK dengan kesediaannya menjadi jaminan fisik. Hal ini disampaikannya di kantor KPK.
Pada tanggal 24 November 2009, Gus Dur berbicara tentang demokrasi dalam Dialog Bersama antar agama bertajuk "Indonesia: Center of Moderate Muslims in The World", di ruang pertemuan The Wahid Institute Jakarta Jalan Taman Amir Hamzah Jakarta.
Menurut Gus Dur : "Dalam Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, NU berpandangan bahwa umat Islam tak berkewajiban mendirikan negara Islam. Sikap ini kemudian memperkuat  perumusan Pancasila dan Proklamsi kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme adalah dasar pendirian bangsa Indonesia."
Terkait isu fundamentalisme Gus Dur juga menegaskan pandangannya yang demokratis. " Kaum fundamentalis sesungguhnya tak boleh dianggap sebagai musuh yang mesti diperangi. Sebab, memeranginya sama artinya keluar dari ajaran agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Kita justru harus mengajaknya berdiskusi," kata Gus Dur.