depopulasi atau pengurangan populasi manusia di seluruh dunia secara besar-besaran. Beberapa pihak baik individu dan lembaga dituding berada di balik rencana ini. Bahkan ada yang mengunggah suatu dokumen yang menyatakan bahwa depopulasi ini telah direncanakan sejak tahun 1957. Apa?
Sebuah isu merebak di media sosial dimana pandemi COVID-19 adalah bagian dari rencanaKetika membaca unggahan pesan-pesan terkait depopulasi itu, kepala saya rasanya pening tapi tidak sampai tujuh keliling. Rasanya pening aja tapi tidak perlu meminum obat. Setelah menonton beberapa video-video lucu, rasa pening di kepala pun berangsur hilang.
Ide bahwa ada kaitan antara COVID-19 dengan rencana depopulasi umat manusia ini mengingatkan kita pada film superhero "Avengers: Endgame". Karakter antagonis Thanos yang memiliki seluruh batu pada gelang infinity gauntlet-nya berkuasa penuh untuk mengurangi setengah kehidupan di alam semesta dengan hanya menjentikkan jarinya.
Alhasil, para makhluk yang ditakdirkan mati pun musnah menjadi debu. Bumi pun menjadi lengang karena populasi manusia berkurang banyak. Thanos melakukan itu demi keseimbangan semesta yang terganggu karena overpopulasi. Pada akhirnya Thanos tewas setelah dikeroyok oleh para tim Avengers.
Ide mengenai agenda depopulasi yang diunggah oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab itu sudah tersebar luas di media sosial. Mereka menyampaikannya dengan narasi yang berbeda-beda. Bahkan ada yang mewanti-wanti supaya kita dan anak-anak kita harus bersiap diri.
Bila Anda menelusurinya, ada banyak sekali posting-an terkait depopulasi ini yang disampaikan cukup argumentatif dan bisa membuat orang meyakininya. Tidak diketahui apakah informasi ini dibuat oleh pihak yang sama atau berbeda. Yang jelas tujuannya untuk membuat percikan keterkejutan di tengah suasana pandemi COVID-19 yang belum seratus persen selesai.
COVID-19 bagian dari depopulasi?
Kita tahu bahwa pandemi COVID-19 telah menelan banyak korban jiwa. Mungkin merenggut anggota keluarga kita, kerabat dekat, sahabat, teman kerja, atasan, hingga teman nongkrong sehari-hari.
Mutasi virus COVID-19 saja sudah terjadi sekian kali. COVID-19 varian Delta dan Omicron saja sudah sangat berbahaya. Varian Delta lebih ganas daripada varian aslinya, sedangkan varian Omicron adalah yang paling cepat menular dan bisa menimbulkan derajat keparahan yang tinggi yang berujung pada kematian.
Bahkan diprediksi akan ada pandemi-pandemi berikutnya yang tingkat penularannya dan derajat keparahannya bisa lebih tinggi daripada COVID-19. Laman Gavi secara khusus membahas sebuah daftar penyakit yang berpotensi menjadi pandemi berikutnya. Informasinya bisa dibaca di sini. Bisa jadi pandemi berikutnya disebabkan oleh hantavirus, virus korona lainnya, demam Lassa, penyakit kuning (yang berkaitan dengan hati), hingga flu burung dan Ebola.
Sekarang ini penyakit hepatitis misterius sedang menyebar. Riset mengenai penyakit ini sedang dilakukan untuk mencari jawaban tentang asal-muasal penyakit ini beserta cara mengatasi dan mencegahnya.
Beberapa waktu lalu tersiar kabar bahwa penyakit hepatitis misterius itu tidak terkait dengan virus hepatitis "konvensional" seperti A, B, C, D dan E, melainkan dari adenovirus. Nah, informasi berkaitan dengan adenovirus pun meluas seraya mengaitkannya dengan vaksin COVID-19.
Alhasil, orang-orang yang telah disuntik dengan vaksin COVID-19 berbasis adenovirus pun menjadi cemas. Mereka yang belum mendapatkan vaksinasi atau pun booster jadi berpikir dua kali, atau mencari vaksin lain selain vaksin yang berbasis adenovirus.
Begitu kompleks dan masifnya pandemi COVID-19 ini, yang selain harus menghadapi dampak virus dan program vaksinasi yang penuh lika-liku, juga menghadapi tantangan misinformasi dan disinformasi di dunia maya yang beredar liar tak terkendali.
Hal ini semakin runyam ketika warganet justru memercayai informasi yang tidak jelas sumbernya itu. Bahkan terjadi perdebatan tak berarti yang tiada henti, yang membuat mereka saling membenci. Pandemi oh pandemi...
Kembali ke ide mengenai depopulasi, sebetulnya kalau memang ada rencana demikian mengapa rencana itu harus merepotkan banyak orang? Mengapa tim medis di rumah sakit harus repot merawat begitu banyak pasien COVID-19 sampai-sampai dibangun rumah sakit darurat? Mengapa orang harus repot memakai masker setiap hari? Mengapa orang harus repot memakai hand sanitizer kemana-mana?
Kalau memang rencana depopulasi itu eksis, mengapa pihak yang dituding itu justru membuat penyakit menular yang merepotkan banyak orang? Mengapa mereka tidak membuat suatu zat yang, misalnya, dapat mencegah kelahiran? Misal zat itu dimasukkan dalam kapsul suplemen atau obat-obatan tertentu, atau produk makanan minuman tertentu, dan sebagainya. Lebih praktis, kan?
Dengan demikian tim medis di rumah sakit tidak perlu repot membungkus jenazah yang terinfeksi virus COVID-19, pemerintah tidak perlu membuka lahan khusus untuk menguburkan jenazah dengan layak, menggali puluhan hingga ratusan liang kubur per hari agar semua jenazah bisa dimakamkan sesegera mungkin, dan seterusnya.
Kita ingat ketika varian Delta merebak pertengahan tahun 2021 lalu, kasus positif COVID-19 meroket. Kasus meninggal karena COVID-19 juga meningkat tajam, bahkan Indonesia sempat menjadi yang tertinggi di dunia.
Ide rencana depopulasi dengan metode penyebaran virus penyakit itu sebetulnya mengandung tanda tanya besar. Biaya dan resikonya begitu maha besar dan yang pasti bakal merepotkan pemerintah-pemerintah di dunia dan milyaran warga.
Bila rencana depopulasi itu ada, harus ada orkestrasi cantik yang sempurna agar rencana itu dapat berjalan lancar tanpa diketahui oleh orang-orang atau pun tercium media massa. Padahal sekarang ini semuanya serba terbuka dan transparan. Tidak ada yang bisa menyembunyikan agenda tersebut, yang bila memang ada pasti akan segera dideteksi.
Rasanya terlalu masif bila rencana itu eksis. Terlalu banyak sumber daya yang akan terkuras. Selama pandemi terjadi, biaya perawatan pasien yang bisa mencapai ratusan juta rupiah per pasien saja ditanggung oleh pemerintah. Bila memang ada agenda depopulasi, mengapa pemerintah rela menyediakan anggaran sangat besar untuk merawat warga yang sakit hingga mayoritas sembuh?
Mengapa pemerintah-pemerintah di dunia meminta warganya supaya mematuhi protokol kesehatan? Mengapa pemerintah juga mengadakan pembatasan kegiatan? Bahkan ada pemerintahan negara lain yang menerapkan lockdown atau pembatasan total dimana warganya tidak boleh keluar rumah sama sekali bila dirasa tidak penting. Bila memang ada agenda depopulasi, pemerintah mana pun tidak akan melakukansemua langkah-langkah tersebut.
Depopulasi terjadi secara alami, bukan direncanakan
Menurut saya, wacana depopulasi itu melawan kehendak semesta yang justru membiarkan manusia lahir ke dunia agar membuatnya lebih baik. Memang, ada sebagian manusia yang membuat kerusakan di sejumlah tempat di Bumi. Akan tetapi setiap orang memiliki hak yang sama untuk menjalani kehidupannya di dunia.
Tetapi manusia pada saatnya akan meninggalkan dunia fana ini. Mungkin hari ini, atau besok, atau minggu depan atau tahun depan. Setiap manusia sudah mendapatkan gilirannya. Kapan itu tiba, tidak ada yang tahu.
Sehari-hari kita pasti sering membaca atau mendengar berita mengenai suatu bencana alam yang merenggut banyak korban jiwa. Lainnya mungkin kecelakaan lalu lintas, insiden kebakaran pertokoan, konflik atau perang, dan sebagainya.
Berkaitan dengan COVID-19, bila kita membaca data dari Worldometers per 25 Mei 2022 , total ada 529 juta kasus COVID-19 di seluruh dunia sejak tahun 2019 dimana lebih dari 499 juta orang sembuh. Berkat intervensi kebijakan dari masing-masing pemerintah negara, kerja keras para tim medisnya dan kesadaran warganya, ada banyak pasien COVID-19 yang sembuh.
Sementara itu, ada sekira 6,3 juta orang meninggal dunia karena COVID-19. Bila kita bandingkan dengan data populasi penduduk dunia yang 7,7 milyar manusia (sumber: World Bank) maka persentasenya adalah 0,08 persen. Mereka yang tidak mampu bertahan mungkin karena kondisinya semakin parah atau memiliki komorbid. Nah, bila ada agenda depopulasi, angka mortalitas itu bisa dibilang sangat kecil.
(Catatan: Mohon maaf, penyampaian data mortalitas dalam tulisan ini baik karena COVID-19 atau pun lainnya dimaksudkan untuk mendukung argumentasi tulisan ini untuk meng-counter isu depopulasi manusia)
Kalau memang ada niat untuk mendepopulasi melalui penyakit COVID-19 atau pun penyakit menular lainnya, mengapa tidak mempertimbangkan perkembangan masa kini ketika dunia berkelimpahan orang pintar sekaligus memiliki hati nurani? Orang-orang pintar berhati nurani itu pasti bakal menjadi musuh rencana depopulasi.
Bila ada rencana depopulasi melalui wabah atau pandemi, mereka pasti mampu mengembangkan teknologi untuk melawannya, misalnya membuat obat-obatan dan vaksin.
Kalau ada orang yang meyakini bahwa rencana depopulasi itu benar-benar ada, rasanya kita perlu menyimak data kematian dari Worldometers yang disebabkan oleh sejumlah faktor. Data tersebut selalu berubah / ter-update setiap detiknya. Anda dapat mengamatinya di sini, di bagian HEALTH.
Ketika saya mengakses data itu, waktu menunjukkan pukul 12.03 WIB, bertepatan dengan lunch break alias jam makan siang. Dari data tersebut, penyebab kematian warga dunia di tahun 2022 sebagai berikut:
1. kematian ibu hamil ketika melahirkan sebanyak 122.356 orang.
2. kematian karena penyakit malaria sebanyak 156.105 orang.
3. kematian karena flu tahunan sebanyak 196.878 orang.
4. kematian karena bunuh diri sebanyak 424.492 orang.
5. kematian karena kecelakaan lalu lintas sebanyak 534.361 orang.
6. kematian karena virus HIV/AIDS sebanyak 665.454 orang.
7. kematian karena alkohol sebanyak 990.104 orang.
8. kematian karena merokok sebanyak 1.978.884 orang.
9. kematian karena penyakit kanker sebanyak 3.251.112 orang.
10. kematian balita sebanyak 3.008.902 anak.
11. Kematian karena penyakit menular 5.138.855 orang.
Bila angka kematian tersebut dijumlah, maka sepanjang tahun 2022 ini angka kematian karena sebelas penyebab itu kurang lebih 16,4 juta orang. Ini belum termasuk kematian karena bencana alam, kecelakaan transportasi, peperangan, dan lain-lain termasuk kasus kriminalitas.
Dalam konteks dugaan adanya agenda depopulasi, angka mortalitas tersebut rasanya masih terlalu kecil dibandingkan dengan populasi penduduk dunia. Bila kita hitung persentasenya, maka angkanya berkisar 0,21 persen.
Apa yang saya garis bawahi di sini adalah bahwa memang terjadi pengurangan populasi manusia secara global namun itu terjadi secara alami. Jadi rasanya mustahil ada agenda depopulasi dari pihak tertentu. Saya membayangkan setebal apa buku Standard Operating Procedure-nya dan sebanyak apa dokumen revisinya bila agenda depopulasi itu ada.
Jadi menurut saya, agenda depopulasi itu fiktif belaka yang disebarkan lewat media sosial berulang kali. Tujuannya mungkin untuk membangun kecemasan dan kekhawatiran ketika kita hendak bangkit lagi setelah babak belur karena pandemi COVID-19.Â
Saya pribadi juga meyakini bahwa setiap yang hidup akan mati pada waktunya nanti dengan berbagai cara atau penyebab. Jadi ingat salah seorang guru sekolah saya ddulu pernah mengatakan bahwa setiap manusia memiliki takdirnya sendiri-sendiri, termasuk ketika meninggal dunia nanti.Â
Ada yang meninggal dunia karena sakit keras, ada yang kecelakaan, bahkan ada yang meninggal ketika sedang tidur. Semuanya tidak ada hubungannya dengan depopulasi kecuali rencana sang Ilahi.
Sebagai penutup, kalau memang rencana depopulasi itu nyata, mengapa tidak melakukan hal yang praktis? Misalnya memanggil Thanos? Eh, omong-omong by the way, Thanos kan sudah mati... Rasanya kita tidak perlu membicarakan orang yang sudah meninggal. Pamali.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H