Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Tantangan di Sektor Informal yang Berat dan Kadang Menyakitkan

14 September 2020   13:21 Diperbarui: 14 September 2020   15:42 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah seorang pedagang kopi keliling (Dok. Mantab via kompas.com)

Di era pandemi COVID-19 ini bekerja di sektor informal menghadapi tantangan besar. Pandemi berdampak pada omzet usaha yang mengalami penurunan. Banyak pelaku usaha informal terhantam. Apa yang harus dilakukan saat ini adalah bertahan hingga semuanya aman.

Patut disyukuri bahwa ada bantuan langsung tunai dari pemerintah. Di sektor usaha kecil dan menengah bahkan ada dana hibah untuk membantu pengusaha kecil bertahan di tengah situasi yang serba sulit ini. Mudah-mudahan semua bisa terbantu.

Tetapi situasi yang sulit sebetulnya kerap mereka hadapi dan menjadi makanan sehari-hari. Tantangan itu datang setiap hari dan silih berganti. Jualan kadang laku keras, kadang sedikit yang laku, bahkan mungkin barang tidak laku sama sekali setelah selama sehari berjualan.

Ketika baru menggelar dagangan, kadang hujan deras mengguyur. Lainnya misalnya gerobak makanan ditabrak kendaraan, gerobak bakso terguling karena jalan yang dilalui berlubang, atau gerobak yang diangkut oleh petugas ketertiban umum, Kalau yang terakhir ini jangan ditiru karena mereka berjualan di tempat yang tidak seharusnya dipakai untuk aktivitas jual-beli.

Ada saja pengalaman para warga yang bekerja di sektor informal, beberapa diantaranya menyakitkan. Berikut beberapa kisah mereka yang saya rangkum dari mendengarnya secara langsung maupun mendengar kisahnya dari orang lain.

Setiap pasar terbakar, ada pedagang yang merana
Ada cerita tentang keluarga pasutri pemilik kios sembako yang menjadi langganan ibunda saya. Mereka adalah perantauan dari daerah lain. Kios sembako keluarga itu berada di sebuah pasar tetapi sayangnya kerap terbakar, membuat keluarga ini merana.

Nama pasar dan lokasi tentu tidak dapat saya sebutkan. Ibunda saya memilih berbelanja ke kios mereka karena cukup lengkap, murah dan mungkin bisa pay later. Maklumlah ibu-ibu kalau berbelanja di pasar, item apa saja yang hendak dibeli kadang baru terpikir on the spot sehingga uang yang dibawa kadang tidak cukup.

Awalnya mereka nampak bahagia. Saya dengar mereka memiliki dua orang anak. Sebagai keluarga muda, mereka hidup berkecukupan dari hasil berjualan sembako di pasar. Keluarga itu juga mampu merenovasi tempat tinggal mereka di sebuah gang sempit hingga terlihat lebih menonjol di antara rumah-rumah lainnya.

Lalu pasar terbakar hebat, menghanguskan seluruh kios termasuk kios sembako keluarga tersebut. Pihak pasar lalu membuatkan kios darurat di sekitar lokasi pasar yang terbakar.

Kebakaran sempat mengguncang perekonomian keluarga itu karena sebagian pelanggan tetap kios hilang. Tetapi ibu saya adalah salah satu pelanggan setia yang mencari kiosnya dan berhasil menemukannya.

Ketika pasar dibangun lagi, ternyata pihak pasar membuat kebijakan untuk melakukan pembelian kios kembali. Kabar itu tentu saja mengejutkan para pedagang lama. Tetapi mau tidak mau pedagang mengikuti kebijakan tersebut, termasuk pemilik kios sembako langganan ibu saya.

Kabarnya harganya cukup tinggi. Tetapi karena pasar itu sudah menjadi ladang usahanya, pemilik kios itu rela menebus kios baru. Tentu saja dengan berbagai upaya. Mungkin salah satunya dengan mengajukan kredit.

Waktu berjalan, keluarga itu menata kembali kehidupan mereka. Tetapi beberapa tahun kemudian pasar tersebut terbakar lagi. Hal itu menjadi pukulan hebat bagi keluarga tersebut. Mungkin karena kesedihan yang mendalam oleh karena tempat usahanya kerap tertimpa musibah, sang istri jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia di usia yang masih cukup muda.

Rumah mereka kabarnya telah dijual. Entah keluarga itu kini berada dimana. Anak-anak mereka sekarang pasti sudah dewasa. Semoga mereka baik-baik saja.

Warung makan yang "diusir" oleh pemilik lapak
Saya pernah menjadi salah satu pelanggan setia sebuah warung makan. Pemiliknya seorang wanita perantauan. Saya mengikuti "karirnya" sejak sang penjual berjualan secara kaki lima di tepi jalan raya. Lapaknya menempati area emperan sebuah toko. Ia selalu berjualan di malam hari setelah toko tutup.

Cita rasa makanannya enak, porsi banyak dan murah. Variasi lauk pauknya juga cukup lengkap. Penjualnya cekatan melayani pembeli yang kerap mengular setiap malam.

Pada akhirnya setelah sekian lamanya berjualan secara kaki lima, penjual makanan itu mampu menyewa sebuah kios kosong yang lokasinya tidak jauh dari tempat ia berjualan. Jadi ia tidak perlu khawatir kehilangan pelanggan setia.

Sebagai pembeli saya merasa ikut senang dengan pencapaiannya. Pada awalnya ia berjualan sendiri, kini ia dibantu oleh sejumlah wanita dengan tugas masing-masing, misalnya memotong sayuran, memasak, menyajikan, mencuci piring gelas, dan lain-lain.

Pembelinya juga semakin banyak. Kios itu berukuran cukup lebar dengan sejumlah meja dan kursi. Kios itu menjadi lambang kesuksesan yang ia raih.

Beberapa tahun kemudian, warung itu tutup selama beberapa hari lamanya. Beberapa kali saya singgah namun selalu tutup. Tahu-tahu kios itu sudah berganti menjadi toko sembako. Artinya warung itu sudah tutup permanen. Sedih juga mendengarnya mengingat usahanya yang dirintis sejak kaki lima. Lokasi pindahnya juga tidak saya ketahui.

Suatu waktu saya ada acara di suatu tempat. Ketika pulang, guna mempersingkat waktu saya memilih jalan shortcut berupa gang kecil yang bisa dilewati sepeda motor maupun mobil pick-up atau minibus kecil.

Ketika melewati  jalan tersebut, tanpa sengaja saya melihat sebuah spanduk warung langganan saya itu. Saya ingat persis desain spanduk warungnya tetapi saya ragu apakah warung makan itu pindah di gang itu.

Lain hari saya melewati gang itu lagi. Kali ini saya mencoba masuk ke warung tersebut untuk memastikan. Ternyata benar, penjual warung itu adalah pemilik warung langganan saya yang lama tutup. Kini warungnya jauh lebih kecil dan ia sendiri yang melayani pembeli. Warungnya menempati sepetak area sebuah rumah tinggal.  

Ia menceritakan perihal kepindahannya. Kios yang ia tempati tiba-tiba mematok harga sewa yang tinggi. Tentu saja ia tidak mampu menyewa dengan harga setinggi itu, sehingga dengan terpaksa ia harus pindah. Sayangnya ia pindah ke lokasi yang cukup jauh dari lokasi warungnya. Lokasi warung yang baru juga juga jauh dari rute saya sehari-hari.

Saya tidak tahu bagaimana kondisi warung makan ini karena saya tidak pernah mengunjunginya lagi. Mudah-mudahan bisa sukses kembali.

Kisah serupa juga terjadi pada gerobak makan kaki lima yang dijalankan oleh sepasang pasutri. Mereka menyewa sebuah lapak di sebuah rumah makan sederhana di lokasi yang sangat strategis. Gerobak kaki lima itu hanya beroperasi di pagi hari, jadi tidak mengganggu usaha rumah makan itu.

Lapak makanan mereka laris manis karena menunya enak, murah dan porsinya banyak. Hehe. Lapak itu sangat strategis karena lokasinya persis di tepi jalan yang dilalui arus kendaraan menuju tengah kota. Jadi pembelinya kebanyakan kaum urban yang sedang berangkat kerja dan mampir untuk membeli makan baik untuk sarapan atau makan siang.

Waktu pun berjalan, suatu hari lapak makanan itu berganti menjadi warung makan kecil dengan menu makanan yang sama dengan gerobak makan pasutri tersebut. Ternyata gerobak makanan langganan saya itu pindah di seberang jalan. Saya baru menyadarinya setelah beberapa hari.

Lokasi baru gerobak makanan kini berada di sisi jalan yang arusnya menuju ke luar kota. Karena gerobak makanan itu hanya berjualan di pagi hari, praktis jualannya lebih sepi dari pada sebelumnya. Sisi jalan itu lebih ramai di sore atau petang hari ketika jam pulang kantor.

Tentu saja kepindahannya mengundang rasa penasaran yang mendalam. Ternyata mereka "terusir" dari lokasi sebelumnya lantaran keluarga sang pemilik rumah makan ingin berjualan di lapak tersebut. Mungkin sang pemilik rumah makan mengamati betapa larisnya gerobak makan itu, lalu berpikir untuk berjualan di tempat itu juga dengan menu yang sama.

Ternyata malah sebaliknya, usaha warung makan kecil itu lebih sepi dari pada gerobak makanan itu. Warung makan itu pun tidak mampu bertahan dan gulung tikar. Lapak itu tetap dipakai berjualan makanan oleh sang pemilik rumah makan tetapi sudah kesekian kalinya gonta-ganti menu makanan. Sedangkan gerobak makanan yang "terusir" itu mampu bertahan dan tetap eksis hingga sekarang.

Saya pernah mendegar nasehat yang kurang lebih artinya begini, orang lain bisa meniru usaha tetapi rejeki tidak akan tertukar. Kemudian, doa orang yang teraniaya itu lebih mudah terkabul.

Silent competitor di bisnis kue rumahan
Cerita lainnya datang dari pasutri pengusaha kue rumahan. Mereka memproduksi kue sendiri lalu ditawarkan lewat media sosial dan marketplace. Awalnya pembelinya satu dua, tetapi seiring waktu produknya pun dikenal banyak orang. Cita rasa kuenya orisinil, enak, ukuran kue besar dan murah.

Sebentar, kayaknya kata-kata "enak", "porsi banyak" atau "porsi besar", dan "murah" itu jadi kata kunci sukses bisnis makanan. Tapi bukankah makanan yang enak, porsi yang banyak dan harganya murah itu dambaan banyak orang?

Apalagi orang daerah seperti saya bakal sukak banget sama penjual makanan yang baik hatinya sama pembeli nggak tanggung-tanggung. Hehe..

Balik ke penjual kue rumahan itu, kapasitas produksinya pun semakin bertambah hingga akhirnya ia menambah pegawai. Produk kuenya juga mulai mendapat tempat di hati pemirsa, eh maaf, pelanggan dari luar kota.

Awalnya berjualan secara santai, kini ia menjadi kewalahan melayani pembeli. Beberapa pembeli adalah reseller yang membeli dalam jumlah besar untuk dijual kembali. Hal itu lumrah dalam bisnis kue rumahan.

Kesuksesan bisnis kue rumahan pasutri itu ternyata dicium oleh salah satu tetangganya. Tanpa sepengetahuan pasutri itu, diam-diam sang tetangga juga membuat usaha kue serupa. Upaya copycat itu diketahui oleh pasutri tersebut secara tanpa sengaja.

Tapi mereka memakluminya. Mereka sadar bahwa selalu ada saja orang yang seperti itu. Dari segi bentuk kue dan rasa sudah pasti berbeda. Orang pasti akan memilih yang lebih enak, ukuran lebih besar, penampilan lebih cantik dan harga lebih murah.    

Kisah ini mirip dengan seorang ibu rumah tangga di suatu daerah yang memproduksi kue basah rumahan. Seiring waktu, ia akhirnya menemukan sebuah toko dimana ia bisa menitipkan sejumlah kue hasil produksinya. Tempat itu menurutnya ideal. Kue produksinya kadang laku keras dan habis, kadang tersisa. Namanya orang jualan pasang surut seperti itu sudah biasa.

Sang ibu rumah tangga itu memproduksi kue yang juga disukai oleh suami dan anak-anak mereka. Kalau kue produksinya laku dan habis, ia senang. Kalau masih ada sisa, ia juga tidak masalah karena sisa kue akan ia makan bersama keluarga kecilnya.

Suatu waktu sang ibu rumah tangga sakit, membuatnya usahanya terhenti selama kira-kira seminggu atau dua minggu lamanya. Setelah sehat kembali, ia pun melanjutkan usahanya.

Sayangnya ketika ia mengirimkan kue buatannya ke toko tersebut, kue hasil buatannya ditolak oleh pihak toko. Sang ibu rumah tangga menanyakan alasannya, yang direspon bahwa sudah ada pemasok kue serupa yang baru.

Sang ibu rumah tangga itu melihat produk kue itu berukuran lebih kecil dan tidak lebih enak dibandingkan kue buatannya. Ia membawa pulang kue hasil produksinya tentu saja dengan perasaan sedih. Terpaksa ia harus mencari lagi tempat lain untuk menitipkan produk kuenya.

Ia sudah moved-on dan perlahan memproduksi kuenya lagi. Lalu pandemi COVID-19 datang, membuatnya harus menerima kenyataan. Kabar terakhir, ia mulai membuat kue lagi, kali ini ia juga membuat aneka produk kue lainnya. Ia juga mulai menggunakan media sosial untuk menawarkan produk kue-kuenya.

Lahan parkiran yang terenggut
Bahkan lahan parkiran pun bisa direbut oleh orang lain. Kita kerap mendengar kabar di media massa tentang orang atau sekelompok orang yang berebut rejeki di lahan parkiran. Apalagi bila lokasi itu ramai, kerap didatangi banyak orang setiap hari.

Saya pernah mengamati sebuah pasar yang lahan parkirnya dikelola oleh dua kelompok orang yang berbeda. Mungkin telah terjadi kesepakatan di antara mereka berbagi lahan parkiran.

Tapi cerita ini lain dari yang lain, terjadi di sebuah kompleks ruko yang memiliki lahan parkir kendaraan yang dikelola secara konvensional. Seorang pria perantauan bernama X sudah sejak dulu "mengelola" areal parkiran di kompleks ruko tersebut. Suatu hari, datanglah seorang pria perantauan lainnya bernama Y yang datang seorang diri tanpa bekal yang layak.

Bisa dibilang Y hidup luntang-lantung tanpa tempat tinggal. Pria Y ini kerap berada di kompleks ruko tersebut. Lama-lama X dan Y menjadi akrab dan dekat.

Suatu ketika, X hendak pulang kampung karena ada keperluan. Ia berencana akan berada di kampungnya selama beberapa hari lamanya. Karena sudah percaya dengan Y, maka pengelolaan areal parkir pun diserahkan kepada Y hingga X kembali dari kampungnya nanti.

Ternyata ketika X kembali, Y tidak mau menyerahkan kembali lahan parkiran kepada X. Entah terjadi perselisihan atau tidak, yang jelas X mengalah dan pergi dari situ. Alhasil Y menjadi "penguasa baru" lahan parkiran tersebut.

Ketika mendengar kisah itu rasanya ikut geram, tidak masuk di akal. Bila cerita itu benar adanya, betapa Y adalah orang yang kurang bersyukur. Padahal X telah banyak membantunya.  
***
Mungkin ada banyak kisah lainnya di dunia sektor informal yang membuat kita mengelus dada. Dunia itu keras, begitu kata salah satu kakek saya. Pernyataan itu benar adanya.

Tapi setiap pekerja atau pelaku usaha sektor formal maupun informal menemui tantangan dan cobaan yang berbeda-beda. Selalu saja ada orang yang tidak baik yang mencoba menghadang langkah mereka dalam meniti karir atau usaha.

Tetapi kalkulasi Yang Maha Kuasa itu jauh berbeda dengan kalkulasi manusia. Dia pasti akan memberikan jalan lain bagi seseorang agar ia menemukan jalan yang terbaik bagi dirinya.

Rejeki tidak akan tertukar, pendapat itu juga saya yakini hingga kini. Kita semua yang berada di posisi saat ini pasti pernah mengalami lika-liku hidup yang kadang mustahil untuk dihadapi. Tetapi dengan keyakinan diri, berpikir positif dan selalu berdoa kepada-Nya, selalu ada jalan lain yang terbuka untuk kita lalui.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun