Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

"Food Intermediary", Ide Bisnis Selama Masa Pandemi

4 Mei 2020   14:20 Diperbarui: 4 Mei 2020   16:26 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pesan antar. (Dok. Shutterstock/CKP1001) via kompas.com

Pandemi COVID-19 belum berlalu. Sepertinya di Indonesia bakal lebih lama lagi mengingat tingkat kesadaran masyarakat yang belum merata.

Misalnya masih banyak yang belum memahami physical distancing atau menjaga jarak fisik. Sebagian lainnya tidak atau enggan mengenakan masker ketika beraktivitas di luar rumah. Belum yang enggan mencuci tangan. Hmm...

Work from home atau bekerja dari rumah untuk sebagian pegawai negeri atau ASN diperpanjang hingga 13 Mei 2020. Sebagian pegawai BUMN dan swasta juga mengambil langkah yang sama untuk sebagian atau seluruh karyawannya.

Siswa sekolah juga belum tahu kapan kegiatan belajar mengajar di sekolah dimulai. Jadwal belajar di rumah beberapa kali direvisi mengingat situasi dan kondisi, serta sebagian disesuaikan dengan program Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah.

ilustrasi (sumber: SpeakFreeWithJB.com)
ilustrasi (sumber: SpeakFreeWithJB.com)
Artinya ada banyak orang atau keluarga yang tinggal di rumah mereka selama masa pandemi. Nah, situasi tersebut nampaknya menjadi peluang bisnis bagi seorang warga di kampung mertua saya, sebut saja Fulan.

Pria awal 40an tahun ini membuka jasa pemesanan dan pengantaran makanan bagi warga sekampung yang tidak keluar rumah selama masa pandemi. Sehari-hari ia memproduksi makanan siap saji tetapi mungkin kurang berkembang. Ternyata bisnis yang ia coba ini membuatnya tersenyum sumringah.

Fulan menggunakan grup media sosial (medsos) kampung sebagai media untuk memasarkan jasanya. Baik medsos yang bersifat umum (seluruh warga kampung) hingga yang bersifat khusus atau terbatas misalnya grup jamaah masjid kampung.

Ada sekira 100 hingga 200 rumah tangga di kampung tersebut. Ternyata ada sejumlah warga yang berminat, termasuk mertua saya. Menu makanan yang ia belikan enak, berkualitas dan dikemas rapi.

Harganya juga wajar, cukup terjangkau. Sebagai konsumen, mertua saya merasa puas dengan layanannya.
***
Di ranah bisnis ada istilah intermediary services. Secara sederhana, pengertiannya adalah seseorang atau perusahaan yang menjembatani kebutuhan konsumen dengan pihak produsen/penyedia barang atau penyedia layanan.

Kita biasa menyebutnya sebagai makelar atau calo. Tetapi entah bagaimana sebutan itu cenderung berkonotasi negatif. Ada lagi sebutan lainnya yaitu perantara, tetapi sebutan itu walau tidak salah malah jarang dipakai.

Bagaimana kalau sekalian saja menggunakan sebutan "food intermediary" bagi orang yang menyediakan jasa pemesanan dan pengantaran makanan seperti yang dilakukan oleh Fulan itu? Karena bersifat lokal, yaitu warga permukiman tempat tinggal mertua saya, kita boleh menyebutnya "local food intermediary".

Walau kurang sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia, tetapi terdengar lebih keren. Bukankah kita juga kerap menyebut sejumlah profesi atau pekerjaan dengan bahasa asing agar meningkatkan citra diri? Sebut saja  mechanical engineer, personal assistant, buyer, communication specialist, dan lain-lain.

Sebagian dari kita sudah tidak asing dengan layanan ride-hailing dari operator misalnya GoJek dan Grab. Dua operator itu sudah lama memiliki produk intermediary services yaitu pemesanan dan pengantaran makanan, GoJek dengan GoFood-nya dan Grab dengan GrabFood-nya. Satu lagi yang pernah ada di Indonesia yaitu Uber dengan Uber Eats-nya. Wilayah cakupanya luas, bisa satu kota.

Selama situasi pandemi ini, banyak lingkungan permukiman warga ditutup. Ada yang semi terbuka, ada yang benar-benar tertutup. Bahkan orang selain warga kampung tidak boleh masuk, tak terkecuali layanan intermediary services dari operator ride hailing dan layanan kurir.

Ini membuka peluang warga setempat yang ingin menciptakan atau menambah penghasilan selama masa pandemi dengan membuka jasa local food intermediary. Warga yang terdampak pandemi secara langsung, misalnya baru saja terkena PHK ataupun warga yang belum bekerja bisa menjalankannya.

Konsep bisnisnya dari warga untuk warga. Warga yang membutuhkan makanan atau minuman favorit, yang karena situasi pandemi tidak bisa kemana-mana, bisa memanfaatkan jasa local food intermediary di kampungnya.

Sedikit mengintip cara kerjanya, apa yang dilakukan Fulan adalah bekerja sama dengan sebuah rumah makan. Menu yang disiapkan dari rumah makan ia informasikan ke grup medsos kampung lengkap dengan harga per porsi termasuk biaya pengantaran.

Mohon maaf, saya kurang begitu paham siapa yang memulai ide ini. Apakah Fulan yang pertama kali menghubungi pihak rumah makan, atau rumah makan yang menghubungi Fulan (oleh karena sehari-hari ia berbisnis makanan siap saji, tentunya ia memiliki jaringan pertemanan dengan orang lain yang berbisnis sama).

Terlepas dari siapa yang memulai ide bisnis ini, model bisnis yang dilakukan oleh Fulan sepertinya menarik. Bahkan bila ditarik lebih luas lagi, sepertinya membuka peluang lebih jauh lagi.

Bisa jadi ke depannya, Fulan tidak hanya menjalankan food intermediary tetapi juga lainnya, misalnya pharmacy intermediary (pembelian obat-obatan), baby products intermediary (pembelian kebutuhan bayi), yang kalau dijalankan semua bisa menjadi general intermediary (meminjam istilah general trading yang menjalankan perdagangan umum).

Setiap rumah tangga pasti memiliki sejumlah kebutuhan. Tetapi di masa pandemi ini, makanan dan bahan pokok (sembako) lebih banyak dibutuhkan ketika banyak orang harus berada di rumah.

Local food intermediary seperti yang dijalankan Fulan menjadi opsi alternatif selain layanan dari ride-hailing. Tetapi apabila suatu wilayah permukiman menolak layanan ride-hailing memasuki wilayah permukiman, layanan yang djalankan oleh Fulan malah jadi satu-satunya opsi. Kekurangannya, menu-menu makanan dari local food intermediary tidak sebanyak layanan dari ride-hailing. 

Tetapi local food intermediary memiliki sejumlah kelebihan, diantaranya warga lebih nyaman karena penyedia layanan adalah orang yang sehari-hari mereka kenal dengan baik. Bahkan meskipun tidak mengenalnya dengan baik, paling tidak sehari-hari mereka kerap bersua dan bertegur sapa.

Meraba peluang local food intermediary
Belum lama ini sebelum bulan puasa, saya berbicara dengan salah seorang teman saya yang merantau di sebuah kota lewat telepon.

Perusahaan tempat ia bekerja, sebuah perusahaan pelat merah, menerapkan work from home (WFH) atau bekerja dari rumah selama masa pandemi. Karena ada larangan mudik, ia harus tetap tinggal di rumah kontrakannya.

Walaupun ia berada di rumah, selama hari kerja ia tetap sibuk bekerja. Termasuk mengikuti sejumlah video conference atau virtual meeting dengan atasan dan staf lainnya. Kebetulan perusahaan tempat ia bekerja menyediakan fasilitas bekerja yang memadai, misalnya laptop dan penggantian biaya koneksi internet.

Karena ia tinggal sendiri di perantauan, ia mengandalkan layanan ride-hailing untuk sarapan, makan siang hingga makan malam. Jadi dalam sehari ia bisa memesan makanan lewat layanan tersebut tiga kali, setiap hari. Di akhir pekan, ia juga tidak keluar rumah sama sekali.

Nah, orang seperti teman saya itu bisa jadi tidak sedikit. Bahkan mungkin ada keluarga yang lebih memilih membeli makanan dari pada harus membuat makanan sendiri.

Bila membuat makanan sendiri, maka seseorang harus berbelanja bahan makanan ke pasar atau toko yang merupakan salah satu pusat kerumunan manusia. Semakin padat kerumunan, maka semakin tinggi resiko penularan virus COVID-19.

Ini peluang bagi siapapun yang ingin memulai usaha local food intermediary. Selama masa pandemi ini, peluangnya boleh dibilang bagus. 

Syaratnya tidak banyak, terutama siap bekerja keras, jujur (sangat penting karena ini bisnis kepercayaan), self-motivated, sehat jasmani dan rohani; memiliki smartphone (agar bisa bergabung dengan grup medsos warga); dan memiliki kendaraan. Untuk syarat terakhir opsional, tetapi lebih baik bila memilikinya agar pengiriman lebih mudah.

Local food intermediary dari sisi pebisnis makanan
Selama masa pandemi, banyak usaha tutup untuk sementara waktu. Mal dan pasar sunyi, toko-toko minim pembeli. Apalagi bila suatu daerah menerapkan PSBB.

Kondisi demikian mengancam bisnis, tak terkecuali bisnis makanan. Akhir-akhir ini kita melihat banyak rumah atau warung makan sepi.

Namun peluang masih terbuka bila pelaku bisnis bisa mensiasatinya agar tidak makin merugi. Tujuannya agar bisnis tetap jalan walau di tengah pandemi. Mungkin margin tidak sebesar sebelum pandemi, tetapi yang penting bisnis tetap jalan.

Apabila dilihat dari sisi pelaku bisnis, dalam hal ini pebisnis rumah makan, restoran atau pun warung makan, layanan local food intermediary membuka peluang usaha mereka bisa tetap berjalan seperti biasa. Layanan makan di tempat (dine-in) boleh tutup untuk sementara, tetapi layanan dibungkus (take away) bisa tetap jalan.

Ini adalah cara alternatif memperluas pasar selain layanan delivery reguler (bila ada) dan delivery via layanan ride-hailing. Pebisnis bisa menghubungi salah seorang warga di sebuah wilayah permukiman. Mereka bisa jadi pelanggan setia atau pemasok bahan-bahan. Bisa saja ada diantara mereka yang berminat mendistribusikan produk makanan dan minumannya ke warga di permukiman tersebut.

Lebih gampang lagi bila seorang warga suatu permukiman menawarkan diri untuk mendistribusikan produk makanan dan minuman suatu rumah makan atau restoran. Dalam situasi sulit seperti sekarang ini, mungkin ada banyak orang yang bersedia melakukannya. Misalnya warga yang baru di-PHK dari tempat kerjanya atau warga yang belum bekerja.

Apabila seorang warga dari suatu permukiman bersedia menjadi local food intermediary, grup medsos warga bisa dipakai sebagai media pemasaran. Apabila suatu permukiman tidak memiliki grup medsos, warga tersebut bisa menyebarkan brosur dan diedarkan dari rumah ke rumah.

Cara pertama lebih murah, tinggal ketik informasinya lalu kirim di grup medsos. Cara kedua perlu biaya cetak / fotokopi brosur sebanyak jumlah rumah tangga dalam wilayahnya.

Seorang local food intermediary bisa mendistribusikan produk makanan dan minuman minimal dari satu gerai. Tetapi ada kemungkinan ia mendistribusikan juga produk makanan dan minuman dari restoran atau rumah makan lainnya. Hal itu tidak menjadi masalah selama warga tersebut mampu mengelolanya dengan baik.

Tentang biaya distribusi, rumah makan atau restoran bisa menyediakan komisi untuk setiap porsi yang terjual. Besarannya bisa disepakati bersama. Harga produk tetap wajar dan terjangkau, namun kedua belah pihak sama-sama bisa meraih keuntungan.

Keamanan penyedia layanan local food intermediary
Untuk menjaga keamanan dan keselamatan diri selama masa pandemi ini, penyedia layanan local food intermediary harus membekali diri dengan alat pelindung diri (APD) misalnya masker dan hand sanitizer. Akan lebih baik lagi bila mengenakan sarung tangan selama bekerja.

Produk yang ia distribukan adalah makanan dan minuman, maka harus terjaga kebersihannya. Bila perlu, local food intermediary menggunakan meal bag atau cooler bag untuk menjaga makanan tetap hangat atau minuman tetap hangat atau dingin. Tetapi ini opsional. Yang penting produk makanan dan minuman bisa sampai pada konsumen dengan baik.
Nah, tertarik menjadi local food intermediary?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun