Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cerita tentang Rin

21 November 2019   12:22 Diperbarui: 21 November 2019   12:31 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: ChildCareComplianceCommunity.com)

Rin berlari kecil menuju gerbang rumahnya, cepat-cepat menguncinya dan segera duduk di jok belakang sepeda motor ojek daring. Ia memasang helm berwarna hijau di kepalanya seraya membetulkan posisi duduknya hingga terasa nyaman.

"Sudah Pak.." kata Rin kepada pengemudi ojek daring itu, yang dibalas dengan anggukan kepala sang pengemudi. Motor itu pun perlahan pergi meninggalkan rumah minimalis bercat hijau muda itu. Rin menatap sebentar ke arah rumahnya.

Sampai jumpah rumahku, kita ketemu lagi malam ini, begitu kata Rin dalam hati kepada rumahnya. Meski rumah itu bertipe 21 dan terletak di perumahan sederhana agak jauh dari pusat kota, rumah itu hasil jerih payahnya bekerja siang malam selama sekian tahun lamanya. Wanita awal 30an tahun itu memang sosok wanita mandiri dan pekerja keras.

Pengemudi ojek membelokkan kendaraannya ke sebuah gang sempit. Gang itu merupakan jalan pintas menuju jalan raya. Sang pengemudi nampak berjuang menembus jalan gang yang padat.

Pagi itu gang dipenuhi anak-anak yang berangkat ke sekolah dan warga yang berangkat bekerja baik dengan berjalan kaki atau mengendarai motor. Beberapa pedagang sayur dan kue keliling menjajakan dagangannya dari gang satu ke gang lainnya. Biasanya mereka mengulangi rute tersebut sekali sebelum akhirnya pergi ke tempat lain.

Lima belas menit kemudian, ia telah tiba di jalan raya. Biasanya ia akan menumpang mobil May, teman sekantornya yang selalu melewati jalan raya itu. Seperti biasa jalan itu selalu merambat setiap pagi. Situasinya lebih lengang ketika akhir pekan dimana kebanyakan karyawan libur.

Rin menutupi hidung dan mulutnya dengan telapak tangan kanannya, membentengi hidungnya dari terpaan debu dan asap kendaraan. Lagi-lagi ia lupa membeli masker. Stok maskernya sudah habis dua hari lalu dan ia selalu lupa membelinya. Beberapa hari ini ia sibuk menyiapkan bahan presentasi yang akan ia presentasikan siang ini.

***

"Jadi sudah siap presentasi buat siang nanti?" tanya May kepada Rin yang sedang menyalakan laptopnya di jok depan. Pandangan Maya lurus ke arah depan, menjaga konsentrasi ketika mengemudi.

"Entahlah May.. Mungkin tingkat kesiapanku masih 90 persen. Ini aku lagi cek lagi khawatir ada data yang kurang. Semalam aku baru bisa tidur jam 12 teng. Beberapa kali aku call Max buat nyocokin data. Sorry banget ya May aku terpaksa buka laptop," jawab Rin. Wajahnya menatap layar laptop di pangkuannya. Jari telunjuk kanannya menyentuh layar, menggulung ke atas dan ke bawah. Sesekali ia mengetikkan sesuatu.

"No problem, Rin... Kau ini memang karyawan teladan deh. Kerja keras bagai kuda pagi siang malam.. hehe..," celetuk May yang kini mulai mempercepat laju mobil MPV-nya. Rin tersenyum. Ia masih menatap layar laptopnya. Tidak lama lagi mereka bakal masuk jalan tol menuju pusat kota.

***

"Rin, kabar bagus. Meeting ditunda besok. Pak Bos mendadak rapat dengan direksi," kata Max yag menghampirinya sambil meletakkan beberapa bungkus coklat berbentuk bulat di meja kubikel Rin. Mendengar kabar itu, Rin yang sedang menatap layar menarik nafas lega.

"Seriusan nih Max? Kok belum ada info pembatalan di Outlook?" tanya Rin yang sebetulnya merasa lega namun masih belum yakin meeting hari itu dibatalkan.

"Mmmm, aku call Bim dulu deh buat mastiin. Yup, Skype-nya lagi online, " kata Rin. Max yang berdiri di samping meja kubikel Rin hanya memberikan isyarat tangan 'silakan' kepada Rin. Mulutnya sedang penuh dengan coklat.  

"Horee, betul Max, meeting ditunda. Bim belum sempat jadwalin ulang," kata Rin sambil meletakkan headset-nya di meja. "Yes, masih punya waktu buat cek dan edit presentasiku."

"Apa ini?" tanya Rin kepada Max tentang beberapa coklat bulat di mejanya.

"Itu oleh-oleh dari Zay, dia baru balik dari Zurich." Kata Max. Zay, teman mereka dari divisi pengembangan bisnis. Rin mendengar Zay ditugaskan ke Zurich selama beberapa hari. Setelah berteman beberapa tahun lamanya, Rin memendam perasaan suka kepada Zay. Zay adalah staf senior Divisi Pengembangan Bisnis yang cerdas dan ramah pada setiap orang. 

***

Jam makan siang pun tiba. Rin memutuskan makan di kantin gedung saja. Kantin Bu Tati, begitu nama kantin itu, terletak di lantai dasar gedung tempat Rin bekerja. Ia tidak berminat dengan ajakan May yang bergabung dengan beberapa teman lainnya makan di luar kantor. Ia ingin makan sejenak dan segera kembali ke meja kubikelnya, melanjutkan materi presentasinya.

Ketika ia tiba di pintu kantin, ia melihat Zay. Ia terkesiap, membuat langkahnya terganggu. Pria berpostur tinggi dan ramping itu terlihat duduk sendiri, nampak menikmati makan siangnya sambil menatap layar ponselnya. Tangan kanannya memegang sendok, sedangkan tangan kirinya memegang ponselnya. Mimiknya agak serius.

Kau memang temanku, tapi sepertinya aku sayang kamu... Begitu batin Rin yang menguatkan diri berjalan ke arah Zay.

"Hai Zay, sendirian aja nih?" tanya Rin yang menghampiri Zay dan berhenti di sebelah meja tempat Zay sedang menikmati makan siangnya. Hmm, nasi campur lauk ayam goreng. Aromanya tercium begitu harum. Nasi campur Bu Tati memang menu favorit staf kantor gedung itu. Rasanya sangat enak.

"Eh, Rin. Iya nih. Temen-temen pada makan di luar. Bosan kali mereka makan ginian. Lha aku malah kangen sama makanan ini.. hehe" Kata Zay sebelum memasukkan sendok berisi nasi, tumis buncis dan wortel, beberapa helai mie goreng, sobekan daging ayam dan sambal ke mulutnya.

Rin tersenyum. My God, you are so beautiful... The way you talk, the way you eat, it make me melt at the same time, kata Rin dalam hati.

"Aku ke sana dulu ya. Nanti aku temenin makannya." kata Rin. This is what I always want to do, a sweet lunch with you, Zay...

"Oke Rin.. Aku tidak kemana-mana kok." Kata Zay sambil mengangkat gelasnya yang berisi jus melon dingin, menyesapnya dua kali. Segar...

Tidak lama kemudian, Rin sudah duduk di depan Zay. Ia memesan gado-gado dan segelas jus sirsak kegemarannya. Zay meletakkan ponselnya di meja. Ia mendapat kawan ngobrol. Terlebih Rin, yang merasa mendapat kawan ngobrol spesial.

Rin menjaga sikap dan gerakannya agar tidak salah tingkah sedikitpun di depan sosok yang ia puja sejak dulu. Sang senior diklat yang entah mengapa membuat hati Rin terasa terpanah ketika ia menatap wajahnya, yang melelehkan hatinya ketika ia mendengarkan suaranya lewat telepon, terlebih pada saat ketika mereka duduk berhadapan. Rin merasa menjadi seorang putri yang sedang makan siang bersama sang pangeran.

"By the way, thanks so much ya oleh-oleh coklatnya. Enak." Kata Rin sebelum menyuapkan sesendok gado-gado ke mulutnya.

"Oh, iya Rin. Maafin yah tidak bisa bawa banyak. Kalo banyak, entar dikira jastip importir sama Bea Cukai. Hehe." Kata Zay sambil terkekeh.

Rin ikut terkekeh, sambil menjaga betul-betul seluruh makanan yang ada di mulutnya tetap di sana, jangan sampai ada yang meluncur ke tenggorokan. Sedikit saja makanan menyentuh gerbang tenggorokannya akan memicu batuk berkepanjangan. Bisa malu besar di depan sang pangeran.

"Jadi apa hasil dari Zurich?" tanya Rin. Ia mengangkat gelas jus sirsaknya dan menyesapnya sekali. Lumayan meredakan rasa pedas dari sambal gado-gado yang sengaja tidak ia aduk bersama bumbu, sayuran dan bahan-bahan lain.

"Mmm, sepertinya positif. Aku rasa kita bisa buat beberapa produk mereka untuk pasar ASEAN."

"Wah, bagus dong Zay. Jadi, apakah sudah ada kesepakatan?" tanya Rin.

"Belum ada sih. Bulan depan tim mereka akan ke sini dulu melihat-lihat pabrik kita. Aku dengar kompetitor kita dari Vietnam dan Thailand. Mereka juga pasti akan ke sana. Keputusannya kira-kira dua bulan lagi." Kata Zay.

"Oh, begitu.. Mudah-mudahan ada kabar baik ya Zay," kata Rin.

"Mudah-mudahan Rin. Rasanya berat, tapi masih ada peluang. Perusahaan dari Vietnam itu kabarnya lumayan bagus. Kapasitas produksinya sedikit di atas kita. Mereka juga baru saja membangun pabrik baru. Well I'm not sure apakah mereka sedang membangun atau sudah selesai membangun. Tapi kita punya strategi lain ketika mereka datang ke sini." kata Zay tersenyum.

Zay masih berkata-kata lagi, menjelaskan beberapa peluang perusahaan ketika calon customer dari Zurich datang ke perusahaan mereka. Tetapi nampaknya kali ini Rin tidak mendengarkan penjelasan Zay dengan seksama. Jantungnya berdegup satu setengah kali lebih kencang dari biasanya. Ia tidak fokus pada pembicaraan itu, dan bahkan pada makanan di hadapannya.

Ia hanya ingin mendengarkan suara Zay, dan mungkin menatap wajahnya lebih lama. Tapi untuk yang terakhir ia tidak punya nyali lebih besar lagi. Ia mungkin bisa sesekali menatap wajahnya, tapi mungkin beberapa detik saja. Rin ingin menatapnya paling tidak sepuluh detik, dua puluh detik, atau lebih lama lagi. Ia ingin, tetapi entah mengapa ia tidak bisa.

Rin merasa inilah konsekuensi menjadi seorang secret admirer, sebagai pengagum rahasia, yang entah kapan bisa mengungkapkan perasaannya kepada seseorang yang selama ini ia kagumi dari kejauhan. Ia sudah begitu dekatnya dengan sosok yang ia puja, tetapi ia tidak punya nyali, bahkan sebesar biji kedelai pun.

Seakan dua sisi hatinya sedang berperang, salah satu mendorongnya untuk mengungkapkan perasaannya, sedangkan sisi lainnya mencegahnya untuk melakukan itu.

Sisi yang mendorong mengungkap bahwa ia seratus persen jatuh hati pada Zay dan harus ia ungkapkan bagaimanapun caranya. Sedangkan sisi yang mencegah mengatakan bahwa seorang wanita pantang "menembak" seorang pria. Relung hati di sisi tersebut mengatakan bahwa "menembak" pria lebih dulu adalah hal memalukan yang meruntuhkan derajat kaum wanita di mata pria.

Zay masih menikmati makan siangnya. Sesekali ia menyesap jus melonnya yang kini tinggal separuh dari gelasnya. Ia masih berkata-kata, menjelaskan tentang perusahaan yang sudah waktunya mengubah strategi, tentang kebijakan keuangan perusahaan, tentang prosedur kerja perusahaan yang seharusnya ditinjau ulang dan sebagainya, dan sebagainya.

Rin sama sekali tidak mendengarkan itu semua. Ia fokus pada bagaimana cara untuk mengumpulkan keberanian, paling tidak menatap wajah Zay lebih lama dari biasanya. Berikutnya, mungkin ia akan mengungkapkan perasaannya pada Zay, sosok yang ia kagumi sejak lama. Menikmati makanan di hadapannya adalah prioritas terakhir Rin.

Otak Rin perlahan menghangat. Ia tidak mampu mengendalikan kecamuk pikiran di kepalanya walau sekuat tenaga ia menepisnya. Bahkan suara obrolan dan tawa pegawai lain di sekitar mereka tidak bisa mendistraksinya.

Rin merasa ia layak hidup bersama dengan Zay. Ia tidak masalah dengan kondisi Zay yang saat ini masih kos tidak jauh dari kantor. Toh ia sudah punya rumah yang walau terbilang kecil dan cukup jauh dari pusat kota, cukup nyaman untuk mereka tinggali berdua. Ia ingin dekat dengan Zay, secara fisik dan hati. Dan itu semua bisa saja berawal dari meja ini...

My God, I'm so weak, have no power, tidak punya cukup nyali untuk mengungkapkan semua isi hati ini. Rin mengatur nafasnya yang mulai bergerak lebih cepat menyelaraskan irama degup jantungnya.

Sisi hati yang mencegah nampaknya bisa melawan sisi hati yang mendorong. Tapi itu tidak lama sebelum akhirnya sisi hati yang mendorong perlahan menghimpun kekuatan. Ya, nampaknya Rin sudah bersiap untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Zay. Perlahan ia menarik nafas panjang...

Tiba-tiba ponsel Zay berdering. Suara nada deringnya lumayan keras, memenuhi ruang kantin, mengejutkan Rin yang berada di hadapan Zay. Zay menjawab panggilan telepon itu. Sebuah senyum menggurat di wajahnya.

"Hai Sayangku.. Lagi makan siang nih di kantin kantor. Males banget keluar kantor. Nasi campur plus ayam goreng Bu Tati ini sudah enak sekali buatku. Sekian hari lho aku gak makan nasi, Sayang... Hehe.." kata Zay kepada seseorang di ujung telepon.

Batin Rin tertampar begitu kerasnya. Wajahnya sedikit memerah. Dengan siapa dia bicara kok nada bicaranya begitu mesra. Bukankah dia masih jomblo? Hati Rin pun berkecamuk lagi. Tetapi ia berusaha menahan reaksi apapun terhadap telepon itu dan tetap menikmati makanannya.

Zay menutup teleponnya. Rin berharap bahwa seseorang di ujung telepon bukan siapa-siapa. Ia ingat Zay suka menyapa karyawan wanita dengan kata "Sayang". Bukan bermaksud genit, Zay jauh dari sifat genit pada wanita. Tetapi untuk menunjukkan bahwa ia perhatian pada mereka, menunjukkan keakrabannya dengan mereka. Kalau untuk karyawan pria biasanya ia menyapa dengan kata "Man". Zay memang sosok yang supel.

"Rin, sorry banget nih. Itu tadi Pia, pacarku. Ini nih fotonya," kata Zay seraya menunjukkan foto sang kekasih dari ponselnya kepada Rin. Hati Rin mulai menggelegak. Ia melihat foto itu dengan pandangan datar.

"Dia kerja di Sentral Mas Sektor Dua. Sekarang dia lagi OTW ke sini mau jemput aku, pengin ditemenin beli buku di Gramed. Jadi aku mau cepet-cepet habisin makananku dan langsung ke lobi. Kapan-kapan kita bisa lunch bareng lagi.." lanjut Zay.

Rin yang hatinya bagai tersambar petir mengiyakan. Ia harus menjaga sikapnya agar tetap tenang. Ia tersenyum, tetapi senyum agak terpaksa. Zay cepat-cepat menyelesaikan makan siangnya.

Begitu Zay pergi meninggalkan ruang kantin, Rin memejamkan matanya. Ia menangis keras dalam hati, meraung-raung dalam batinnya. Hatinya yang tadi tersambar petir kini tercerai berai. Seharusnya ia sudah tahu bahwa Zay sebenarnya telah memiliki kekasih.

Belakangan ia menyadari bahwa ia tenggelam dalam kegelimangan kerja, membuatnya tidak ada waktu membuka hati. Tetapi mengapa begitu ia hendak mengungkap isi hati, sesuatu terjadi dan begitu jauh dari ekspektasi. Bakal susah pupus dari ingatannya, seumur hidupnya.  

Rin masih di kantin Bu Tati, tetapi tidak bisa lagi merasakan kelezatan gado-gado Bu Tati. Bahkan jus sirsak yang manis dan segar itu juga tidak mampu menyejukkan kerongkongannya, apalagi menyejukkan hatinya.  

Rin kembali ke meja kubikelnya dengan langkah gontai, hampir tidak sanggup untuk berjalan. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan hingga jam kerja usai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun