Terjadinya revolusi industri membuat kita mau tidak mau harus segera beradaptasi. Berbeda dengan Revolusi Industri 3, aspek kecepatan adalah kunci Revolusi Industri 4.0 agar lebih unggul daripada yang lain.
Tentu saja ini tidak mudah. Diperlukan figur yang paham dengan hal ini. Mungkin karena alasan itulah Presiden memanggil seorang leader sebuah perusahaan start-up atau perintis di bidang teknologi informasi (TI) yang kini menjelma menjadi salah satu unicorn, sebutan untuk perusahaan perintis yang memiliki valuasi di atas USD 1 milyar.
Sebagai praktisi TI, salah satu calon menteri ini pasti tidak asing dengan digital economy, internet of things, artificial intelligence, cloud computing, big data, augmented reality, teknologi 3D printing hingga cyber security yang menjadi elemen dalam Revolusi Industri 4.0.
Walau banyak diaplikasikan di dunia bisnis, elemen-elemen tersebut juga dapat diaplikasikan di lingkungan birokrasi. Oleh karena itu para menteri baru didorong untuk memiliki rencana strategis yang berbasis "e" alias electronic. Selain cepat, aplikasi berbasis 'e" di birokrasi akan mendorong transparansi sehingga tantangan korupsi juga sekalian dapat dikikis secara bertahap.
Isu lainnya adalah ancaman krisis ekonomi global yang diramalkan akan terjadi di tahun 2020 hingga beberapa tahun ke depan. Sejumlah negara di dunia kini mengalami krisis ekonomi dengan berbagai level. Ada yang siap siaga, ada yang was-was, ada yang sudah terkena bahkan ada yang sudah terjatuh sangat dalam, misalnya Venezuela.
Sekadar membuka lembaran sejarah, krisis ekonomi di tahun 1998 lalu membuat sebagian masyarakat gamang dengan kehidupan mereka. Harga kebutuhan melonjak sementara daya beli masyarakat sangat lemah. Situasi waktu itu juga diperparah dengan krisis politik yang mendorong suksesi kepemimpinan.
Pada waktu itu banyak orang cemas dengan masa depannya. Mereka melihat dunia seakan hopeless atau tiada harapan. Mudah-mudahan krisis ekonomi tidak terjadi lagi dan biarlah itu menjadi sejarah bangsa di masa lalu.
Namun, saat ini kita melihat dampak perang dagang Amerika Serikat dan China mulai merembet ke negara-negara lainnya. Sedihnya, di saat ancaman itu terjadi, sejumlah investasi asing justru keluar dari Indonesi. Para investor asing lebih tertarik berinvestasi ke negeri tetangga seperti Vietnam dan Malaysia. (sumber: BBC Indonesia)
Padahal Presiden pernah mengatakan bahwa investasi asing menjadi kunci bagi Indonesia agar bertahan di tengah ancaman resesi dan ketidakpastian ekonomi global karena semakin intensnya perang dagang tersebut.
Perlambatan ekonomi dikhawatirkan masih berlanjut. Ini menjadi salah satu tantangan serius yang menjadi tugas berat menteri baru mendatang khususnya di area perekonomian. Apalagi target pertumbuhan ekonomi juga selalu terealisasi di bawah target 7 persen.
***