Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Nyampah dan Meludah Sembarangan, Kebiasaan Buruk yang Entah Kapan Sirna

16 Oktober 2019   13:55 Diperbarui: 17 Oktober 2019   02:30 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini entah sebuah sharing atau curhat. Kalau curhat, pastinya bukan hobi saya. Kalau sharing pengetahuan atau pengalaman memang saya suka. Sebagaimana saya juga suka membaca atau mendengar pengalaman seseorang. 

Nah, meski tulisan ini mungkin bernada curhat, anggap saja sebagai sharing pengalaman dan pendapat saja ya. Oke lanjut.

Pagi ini saya merasa agak geram, karena saya melihat dua item sampah di carport rumah saya. Ketika hendak memulai ritual menggerakkan fisik alias olahraga, saya melihat ada sampah-sampah itu tergeletak di dekat gerbang rumah dan satu lagi di dekat pot tanaman.

Dua item sampah itu adalah kemasan minuman cup plastik dan plastik bungkus minuman beserta sebuah sedotan. Saya pun mengambil sapu ijuk dan serok sampah, mengangkut sampah-sampah itu dan membuangnya ke tong sampah di luar pagar rumah saya.

Ternyata saya melihat ada sampah lainnya di jalan depan rumah saya, kertas, plastik sampai gulungan isolasi atau lakban hitam bekas. Saya yang tadi agak geram, kini menjadi geram. Saya pun segera mengambil sampah-sampah itu menggunakan serok sampah dan membuangnya ke tong sampah.

Saya berpikir ada apa dengan si pembuang sampah? Hampir setiap hari saya melihat sampah di jalan depan rumah saya. Tapi baru kali ini saya melihat ada sampah di carport rumah saya. Seakan si pembuang sampah sengaja melemparkannya ke situ.

Minggu lalu, di suatu pagi yang cerah, saya membersihkan parit depan rumah saya sendiri. Sudah beberapa minggu lamanya saya melihat ada penumpukan sampah di situ. 

Menjelang musim hujan, sampah-sampah itu bisa menyumbat aliran air di parit. Jenis sampah paling banyak adalah kemasan minuman cup plastik dan botol plastik. Lalu ada kertas-kertas dan daun-daunan.

Tapi ada jenis sampah yang mengejutkan saya, yaitu karung beras 10 kilogram dan strapping band alias tali pengikat plastik yang panjangnya kira-kira dua meter. Kedua sampah itu masuk di parit depan rumah saya.

Sebagai informasi, parit depan rumah saya memang sengaja tidak saya tutup, kecuali sebuah jembatan dari carport ke jalan. Maksud saya biar mudah melihatnya bila ada sampah di sana. Membersihkannya juga lebih mudah.

Saya heran, sebetulnya tong sampah bertebaran di sekitar situ. Dalam radius sepuluh meter saja, ada empat unit tong sampah. Sungguh wow sekali perilaku si pembuang sampah ini. Membuang sampah di parit seakan parit adalah tempat sampah besar.

Ternyata saya juga melihat sampah-sampah di selokan salah satu tetangga saya yang juga tidak ditutup. Sampah yang mendominasi adalah kemasan minuman cup plastik, yang mengambang di antara sampah dedaunan, sampah plastik dan sampah lainnya.

Otak saya menyimpan tanda tanya besar, apakah itu perilaku iseng, tidak tahu posisi tempat sampah atau kebiasaan? Untuk menjawabnya, mungkin pengalaman saya lainnya bisa membantu.

Suatu ketika saya mengunjungi sebuah toko oleh-oleh karena saya ingin membeli camilan yang saya suka. Begitu sampai di toko tersebut, saya pun memarkir sepeda motor saya. Saya melihat ada satu sepeda motor lain yang parkir tidak jauh dari kendaraan saya.

Ternyata sepeda motor itu milik salah satu pembeli, sepasang suami istri. Mereka berkomunikasi dalam bahasa daerah yang tidak saya pahami. Sepasang suami istri itu keluar dari toko tersebut dan melewati saya. Tiba-tiba si istri membuang sebuah botol minuman kemasan kosong tepat di depan motor saya.

Saya yang baru hendak turun dari sepeda motor sempat terhenyak dengan hal itu. Saya hanya menghela nafas panjang. Saya pandangi saja wajah ibu itu dengan tatapan nyinyir. 

Ingin rasanya menegurnya, tetapi bisa-bisa malah jadi ribut. Mengapa? Karena... Ah, sudahlah tidak perlu saya sampaikan di tulisan ini. Tidak baik.

Memang, saya melihat tidak ada tempat sampah di sekitar toko. Tetapi ia toh bisa membawanya sampai menemukan tempat sampah. Eh, tapi masa iya toko oleh-oleh itu tidak memiliki tempat sampah? 

Pasti ada, sayangnya si ibu malas mencarinya. Malas mencari atau memang kebiasaan membuang sampah sembarangan? Hmm...

Di lain waktu ketika perjalanan menuju sebuah bandara, saya melihat sebuah mobil dengan salah satu kaca jendela yang diturunkan. Saya kira si penumpang hendak mencari udara segar. 

Ternyata dia membuang sampah, sodara-sodara. Ia melemparkan beberapa plastik kemasan makanan ringan yang segera berhamburan di jalan raya. Woww....

Lain waktu, di suatu senja yang hangat ketika perjalanan pulang ke rumah, saya melihat sebuah mobil parkir di tepi jalan di depan sebuah toko buah. Saya melihat si pengemudi melempar sesuatu dari jendela depan mobil. Sampah lagi? Yak, betul sodara-sodara. Aneka sampah pun berserakan di tanah di tepi jalan.

Perilaku seperti ini lumayan kerap saya temui. Oknum manusia itu membuang apa saja ke jalan raya, misalnya sampah tisu bekas, puntung rokok dan kemasan makanan plastik. Kapan ya mereka membuang lembaran uang kertas goban atau cepekceng? 

***

Setelah tentang perilaku membuang sambah sembarangan, ada lagi kebiasaan sebagian orang yang sama tidak sehatnya yaitu meludah secara sembarangan. Masih ada orang meludah sembarangan di tahun 2019? Sayangnya masih, kawan.

ilustrasi (sumber: BBC.com)
ilustrasi (sumber: BBC.com)
Entah apa yang menyebabkan mereka meludah. Sama dengan perilaku membuang sampah sembarangan, otak saya menyimpan tanda tanya besar, apakah meludah sembarangan itu perilaku iseng, tidak tahu atau kebiasaan? Untuk menjawabnya, mungkin pengalaman saya lainnya bisa membantu.

Kajadian ini belum lama terjadi. Ketika sedang berjuang menembus kemacetan kota, pandangan saya juga menerawang dari satu tempat ke tempat lainnya. 

Entah mengapa pandangan saya waktu itu tertuju pada satu orang pria yang berdiri di tepi jalan. Sepeda motornya ada di sampingnya, apakah motornya mogok?

Saya mengamati situasinya apakah ia berhenti saja atau sepeda motornya mengalami masalah. Karena tidak jauh dari situ ada kios koran dan majalah. Mungkin saja ia hendak atau baru membeli koran atau majalah.

Tiba-tiba saya melihat pria itu meludah di jalan, dilakukan dengan perlahan dan volumenya banyak pula. Waduh, saya segera membuang pandangan ke depan. 

Perut pun seketika merasa mual. Mungkin karena saya posisinya cukup dekat dengan orang itu dan saya melihat jelas zat cair itu keluar lewat mulutnya. Ketika mengetikkan cerita ini, entah mengapa saya jadi merasa mual. Kalau begitu saya sudahin saja cerita ini.

Tetapi sebentar, saya hendak membagikan cerita lainnya. Suatu hari saya mengunjungi kantor sebuah bank yang bertempat di sebuah gedung perkantoran megah. Kendaraan saya parkir di lantai basement. Untuk menuju kantor bank bisa menggunakan elevator atau lift dan tangga. Saya memilih menggunakan lift.

Tiba di lokasi lift, saya melihat ada beberapa orang yang menunggu lift tiba. Seperti kebanyakan orang, saya pun mengeluarkan ponsel saya dari tas biar tidak mati gaya. Meskipun di lantai basement, sinyal data seluler 4G-nya ternyata kuat. Saya senang karena bisa berinternet ria.

Baru saja hendak membuka ponsel, saya melihat salah satu orang meludah di sekitar pintu lift. Tidak hanya sekali, tetapi beberapa kali hingga lift datang. Begitu lift tiba, saya cepat-cepat masuk ke dalam lift.

Selesai urusan saya, saya kembali naik lift ke lantai basement. Sambil berjalan ke arah kendaraan saya, saya melihat sejumlah ludah di sejumlah tempat. Beberapa masih baru, lainnya sudah lama, meninggalkan bercak di lantai. Hmmm... 

Tambah satu cerita lagi ya. Saya pernah bekerja di sebuah pabrik yang sebagian besar karyawannya berasal dari daerah yang jauh, khususnya karyawan bagian produksi. Sebagian dari mereka ini saya amati suka meludah. Saya melihat di sepanjang jalan pabrik selalu ada ludah, ada yang masih fresh, ada juga yang sudah mengering.

Tidak hanya di sepanjang jalan area pabrik, tangga kantor pabrik juga ternyata tidak bebas dari ludah. Tangga kantor pabrik terbuat dari besi dengan anak tangga yang dilapisi karpet karet. 

Saking banyaknya ludah di tangga, tim cleaning service sampai harus menjadwalkan pembersihan tangga secara khusus. Saya melihat mereka juga mengepel karpet karet itu agar bersih dari bekas ludah.

Persoalan kebiasaan meludah sembarangan di lingkungan perusahaan itu menjadi salah satu proposal saya untuk sebuah lomba yang diadakan oleh tim Quality pabrik. 

Mereka mengadakan sebuah kompetisi yang berkaitan dengan Quality. Hadiahnya cukup menggiurkan, salah satunya uang tunai. Lomba itu dibuka untuk tim, boleh dua orang atau lebih, maksimal (kalau tidak salah) empat orang.

Saya dan rekan saya mengajukan dua topik, salah satu proposal kami tentang fenomena meludah sebagian karyawan pabrik. Sayangnya proposal kami tentang fenomena kebiasaan meludah sembarangan itu gagal maju ke babak final. 

Sedangkan proposal kami lainnya berhasil maju ke babak final. Sebagai informasi, di babak final setiap finalis harus melakukan presentasi di depan Direksi dan karyawan lain.

Sebetulnya di satu sisi kami merasa senang dengan pencapaian tersebut, tetapi di sisi lain kami juga kecewa bahwa topik yang mengangkat fenomena meludah sembarangan itu gagal masuk babak final. 

Tapi ya sudahlah, paling tidak kami sudah menyuarakan fenomena itu ke dalam sebuah proposal yang pasti dibaca oleh tim juri, dan mungkin juga direksi.

***

Bagaimana kesan Anda setelah membaca cerita yang saya bagikan di atas? Apakah ikut geram atau biasa saja alias maklum? Memang isu ini remeh temeh tetapi tanpa kita sadari hal itu bisa menjadi potret keseharian orang-orang Indonesia.

Kebiasaan membuang sampah sembarangan misalnya, pernah membuat geram salah seorang direksi di sebuah perusahaan tempat saya bekerja. Ia seorang bule dari Eropa. 

Ketika saya dan rekan saya lainnya sedang mendampinginya menjelajah area kantor menjelang pelaksanaan sebuah audit, ia melihat tumpukan sampah yang seharusnya dibuang di tempat sampah.

Kami semua ditanya satu per satu tentang sampah itu. Kami juga tidak mengetahui asal muasal sampah itu. Sang direksi memotret sampah yang dibuang sembarangan itu dan menyebarkannya lewat email kantor.

Nada kalimatnya keras dan kesal terhadap perilaku seseorang yang tidak diketahui siapa orangnya, yang membuang sampah secara sembarangan. Kami menduga mungkin si ini atau si itu. Tetapi pada akhirnya penyelia cleaning service menginstruksikan timnya untuk membereskan sampah itu.

Terlepas karena menjelang pelaksanaan audit, mungkin karena ia berasal dari Eropa yang modern dan bersih, melihat sampah yang tidak pada tempatnya itu adalah sesuatu yang sangat mengganggu atau sangat menjijikkan baginya.

Omong-omong tentang sampah dan bule, Pantai Kuta di Bali, di mana banyak bule di sana, pernah menjadi tempat sampah raksasa. Yup, banyak sekali sampah berserakan di sana. Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana (FKP UNUD) pernah menelitinya. (sumber: Tribun News)

Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa sekira 70 hingga 80 persen sampah di Pantai Kuta adalah sampah plastik. Sampah plastik itu misalnya kemasan minuman botol dan cup. 

Lainnya adalah sampah kayu berupa bambu, kelapa dan lain-lain termasuk sandal. Tumpukan sampah itu sempat membuat wisatawan enggan mampir karena mungkin merasa jijik.

Diduga sampah-sampah itu kiriman dari wilayah lain yang hanyut terbawa arus laut dan terdampar di Pantai Kuta. Penelitian dari FKP UNUD Sebanyak 80 persen sampah berasal dari darat. Itu artinya sampah-sampah tersebut dibuang orang dan dibuang secara sembarangan.

Untuk membersihkan sampah-sampah itu, TNI pernah mengerahkan ratusan personilnya membersihkan Pantai Kuta. Pernah suatu ketika warga setempat dan wisatawan baik domestik dan manca negara melakukan bersih-bersih Pantai Kuta secara sukarela.

Persoalan sampah ini sebenarnya bisa disederhanakan bila orang membuangnya dengan benar, yaitu di tempat sampah. Dari Alur Pengelolaan Sampah yang diterbitkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, sampah di tempat sampah akan diangkut oleh gerobak sampah atau truk sampah.

sumber: @subdit.ppdl, akun Instagram Subdirektorat Pengelolaan Persampahan dan Drainase Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
sumber: @subdit.ppdl, akun Instagram Subdirektorat Pengelolaan Persampahan dan Drainase Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Sampah lalu dikumpulkan di sebuah depo sampah atau Tempat Pembuangan Sementara (TPS) atau di lokasi pemilahan sampah dimana sampah dipilah. Ada yang dijadikan kompos, atau didaur ulang tergantung jenis sampahnya.

Sampah jenis Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) juga dipisahkan di sini. Sampah jenis ini bisa membahayakan manusia dan makhluk hidup lainnya serta mencemari lingkungan hidup. Sampah yang tergolong dalam sampah B3 misalnya baterai bekas, bola lampu bekas, kemasan cat, kemasan oli kendaraan, tangki tinta printer dan lain-lain.  

Kemudian dari TPS dan lokasi pemilahan, sampah diangkut oleh truk pengangkut sampah misalnya dump truck atau compactor truck, dikirim ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah untuk diproses lebih lanjut. Misalnya dipakai untuk Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).

Nah, sampah yang dibuang dengan sembarangan tidak akan melewati proses tersebut. Apalagi bila dibuang langsung ke sungai. Sampah akan langsung menuju laut, terbawa arus laut, hingga mungkin terombang-ambing di lautan atau mungkin terdampar di pantai, seperti sampah di Pantai Kuta.

Bila terombang-ambing di lautan, itu sangat berbahaya bagi makhluk hidup di laut. Misalnya sampah plastik dianggap sebagai makanan bagi ikan paus. Sampah tali atau senar plastik menjerat hewan laut misalnya penyu. Sudah banyak kasus hewan laut yang menjadi korban sampah yang dibuang ke lautan.

Misalnya bangkai ikan paus sperma yang terdampar di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara di akhir tahun 2018 lalu. Peneliti setempat membedah perut ikan paus nahas tersebut dan mendapatkan beraneka jenis sampah. Mau tau apa saja jenis sampah di dalam organ pencernaan ikan paus tersebut?

Yaitu gelas plastik 750 gram (sebanyak 115 buah), plastik keras seberat 140 gram (19 buah), botol plastik 150 gram (4 buah), kantong plastik atau kresek 260 gram (25 buah), serpihan kayu 740 gram (6 potong kayu), sandal jepit 270 gram (2 buah), karun nilon 200 gram (1 potong) dan..., tahan nafas..., tali rafia seberat 3,2 kilogram (atau lebih dari 1.000 potong)!!. Hmmm, miris. (sumber: National Geographic Indonesia)

***

Tentang kebiasaan meludah sebagian orang Indonesia secara sembarangan, rasanya juga menjadi potret keseharian sebagian orang Indonesia. Tetapi kebiasaan ini ternyata juga pernah menjadi masalah bagi kota Shanghai di China.

Perkembangan kota yang menjelma menjadi kota megapolitan dunia ternyata tidak serta merta mengubah kebiasaan buruk warga setempat. Bayangkan saja, kota penuh gedung menjulang tinggi tetapi banyak warga kota masih suka meludah sembarangan. Bahkan seorang yang berpenampilan necis saja juga masih punya kebiasaan itu.

Pemerintah setempat memasang rambu "No Spitting" atau dilarang meludah di sejumlah tempat khususnya di stasiun kereta api bawah tanah. Tetapi masih saja ada orang yang berperilaku demikian. Tetapi sejak tahun 2016 lalu sang Presiden mengeluarkan sebuah program pengembangan diri bagi masyarakat. Salah satunya tentang kebiasaan meludah sembarangan.

Waduhh, mungkin sudah saking parahnya kebiasaan buruk itu dilakukan masyarakat setempat sampai-sampai Presiden mengeluarkan program tersebut. 

Shanghai yang berpenduduk sekira 25 juta jiwa memang berupaya menjadi sebuah kota internasional sebagaimana London dan New York. Jadi kebiasaan-kebiasaan buruk yang masih dilakukan warganya harus dihentikan. (sumber: Financial Review).

Lalu apakah kita akan mencontoh cara pemerintah China untuk menghapus kebiasaan meludah sembarangan sebagian warga? Sebab selama ini belum ada semacam program nyata untuk menghapus kebiasaan yang tidak baik ini. 

Sejauh ini sebatas pada himbauan misalnya 'jangan membuang sampah sembarangan' atau 'jangan meludah sembarangan karena bisa menyebabkan penyakit'.

Apakah perlu campur tangan langsung Presiden? Wah, masa sih urusan meludah sembarangan sampai harus menjadi perhatian Presiden. Sudah disibukkan dengan berbagai program pembangunan tetapi kok urusan yang kesannya remeh temeh begini menjadi ranah Presiden pula.

Eh tetapi bukankah ada Revolusi Mental? Nah sepertinya menghentikan kebiasaan membuang sampah sembarangan dan meludah sembarangan bisa menjadi salah satu aspek dalam Revolusi Mental itu.

Jadi tidak perlu membuat program baru lagi, misalnya "Gerakan Tidak Membuang Sampah Sembarangan Nasional" atau "Gerakan Tidak Meludah Sembarangan Nasional". 

Apalagi bila gerakan itu dituangkan dalam sebuah Hari Peringatan Nasional. Bisa jadi ada "Hari Tanpa Membuang Sembarangan" atau "Hari Tanpa Meludah Sembarangan". 

Revolusi Mental sebaiknya tidak dibatasi maknanya pada kerja keras, berintegritas, punya semangat gotong royong. Tidak terbatas hanya, misalnya memberantas illegal fishing, pengelolaan tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan.

Tetapi bisa menjangkau lebih dari itu, hingga ke ranah individual. Misalnya, mengikis kebiasaan buruk yang membawa dampak buruk baik bagi diri sendiri maupun orang atau makhluk hidup lainnya.

Kadang orang bertanya, dimana Revolusi Mental? Jawabannya lihat pada diri sendiri, misalnya, "Apakah diri kita sudah menghentikan kebiasaan membuang sampah secara sembarangan?", atau "apakah diri kita sudah tidak meludah sembarangan?".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun