Tanggal 30 Maret lalu diperingati sebagai Hari Film Nasional (HFN). Penetapannya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1999.Â
Penetapan tanggal 30 Maret karena pada 30 Maret 1950 merupakan hari pertama pengambilan gambar film "Darah dan Doa" yang disutradarai oleh Usmar Ismail.
Peringatan HFN setiap tanggal 30 Maret tersebut bukan sekadar pengingat, tetapi juga menjadi pemacu perfilman Indonesia agar lebih berkualitas dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Kita semua bisa merasakan bahwa saat ini perfilman Indonesia semakin bagus saja, khususnya dalam empat atau lima tahun terakhir ini. Sejumlah film buatan anak bangsa menangguk sukses besar, ditonton oleh jutaan pasang mata. Masyarakat kini memilih menonton film nasional di bioskop-bioskop terdekat.
Melihat kesuksesan film nasional yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, ingatan saya terbang ke tahun 1990-an lalu. Waktu itu, film Indonesia banyak didominasi oleh film-film pengumbar syahwat. Memang ada beberapa film komedi, tetapi film-film dewasa lebih banyak.
Industri film nasional memang pernah mengalami pasang surut. Setelah mengalami masa keemasannya di tahun 1970an dan 1980an, di tahun 1990an kondisinya berbalik menurun drastis.Â
Film nasional bertema dewasa mendominasi layar bioskop tanah air. Pada masa itu pula, satu per satu bioskop gulung tikar, terutama bioskop non jaringan atau independen.
Berbicara tentang perfilman nasional tidak bisa dilepaskan dari perbioskopan. Bioskop memegang peranan penting dalam rantai perfilman nasional karena di tempat itu film-film nasional diputar dan ditonton oleh masyarakat. Bisa dikatakan bioskop merupakan garda paling depan dalam mengukur tingkat kesuksesan sebuah karya film.
Seiring dengan kemajuan perfilman nasional, perbioskopan nasional kini juga semakin bertumbuh. Tidak hanya di kota-kota besar saja, tetapi juga di daerah-daerah di penjuru tanah air.Â
Tidak hanya bioskop berjaringan, bioskop non jaringan atau independen kini juga tumbuh subur di banyak tempat. Baik bioskop jaringan atau non jaringan kini memiliki peluang sukses yang sama.
Berkat teknologi film digital, bioskop manapun kini bisa memutar film-film terbaru. Misalnya bioskop di kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi bisa memutar film terbaru yang juga diputar di bioskop-bioskop di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung atau Surabaya.
Media film yang digunakan sekarang ini sudah berbeda dengan tahun 1990-an dimana bioskop masih menggunakan pita seluloid yang memiliki batasan.Â
Pada waktu itu, bioskop-bioskop di kota-kota besar, terutama bioskop kelas A, selalu mendapat giliran paling awal untuk memutar film-film terbaru.
Setelah beberapa minggu atau bulan diputar di bioskop kelas A (first round), film diputar di bioskop kelas B di kota-kota besar (second run). Setelah itu, giliran bioskop kelas C atau bioskop-bioskop di pinggiran kota dan di daerah/kabupaten (third round)
Bisa dibayangkan kesenjangan tontonan film pada masa itu dimana warga kota-kota besar selalu up-to-date dengan film-film baru, sementara warga daerah hanya bisa gigit jari ketika mendengar film-film terbaru. Pecinta film di daerah hanya bisa berharap supaya film-film yang mereka nanti bisa segera tayang di daerahnya.
Kini dengan teknologi film digital, film-film terbaru dapat didistribusikan secara merata dengan mudah. Tidak ada lagi kesenjangan tontonan film antara warga kota dan daerah karena kini mereka memiliki kesempatan menonton film terbaru yang sama.
Perbioskopan tanah air kini juga semakin bertumbuh. Menurut data dari Katadata.co.id, jumlah layar bioskop di tanah air hingga akhir tahun 2018 adalah 1.681 layar. Bioskop berjaringan masih menjadi penguasa pasar (sumber).
Menurut sumber tersebut, jaringan Cineplex 21 menjadi yang terdepan dengan mengoperasikan 1.003 layar, disusul CJ CGV Cinemas 275 layar dan Cinemaxx 203 layar. Sementara itu, terdapat 46 layar bioskop independen.
Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) memiliki target bahwa di tahun 2019 ini Indonesia bisa memiliki 4.000 layar bioskop agar target 60 juta penonton bisa tercapai. Tahun 2018 lalu, jumlah penonton bioskop tercatat 52 juta penonton (sumber).
Jumlah tersebut dirasakan masih kurang untuk negeri berpenduduk 264 juta jiwa ini. Menurut Endah Wahyu Sulistianti, Deputi Hubungan Antar Lembaga dan Wilayah Bekraf, idealnya Indonesia memiliki 9.000 hingga 15.000 layar bioskop (sumber).
Sebagai perbandingan, China yang berpenduduk 1,3 miliar lebih di tahun 2018 lalu memiliki 60.079 layar yang tersebar di seluruh negeri. Demikian sebagaimana diinformasikan oleh menurut data dari Reuters. Peningkatan jumlah layar bioskop di China sangat pesat. Di tahun 2018 terjadi peningkatan sebanyak 9.303 layar dibandingkan dengan tahun 2017.
Amerika Serikat sebagai pusat industri perfilman dunia saat ini memiliki sekira 40.000 layar bioskop. Populasi negeri Paman Sam itu pada tahun 2018 lalu adalah 327 juta. Maka jika dibandingkan dengan negeri China dan Amerika Serikat, kebutuhan 9.000 hingga 15.000 layar bioskop di tanah air patut diamini.
Seiring dengan pertumbuhan kelas menengah di Indonesia yang semakin meningkat, maka perbioskopan tanah air punya peluang cerah. Jumlah kelas menengah di Indonesia, menurut data World Bank tahun 2017, telah mencapai 52 juta jiwa.
Angka tersebut kemungkinan akan meningkat setiap tahunnya. Menurut catatan World Bank, kelas menengah Indonesia mengalami pertumbuhan tertinggi dari kelas lain, yaitu 11% dalam 10 tahun terakhir dan tumbuh 21% per tahunnya (sumber).
Para warga kelas menengah itu mengalokasikan pendapatannya demi hiburan. Salah satunya ialah menonton film di bioskop. Contohnya, beberapa Kompasianer nampaknya menonton film di bioskop setiap akhir pekan atau setiap premiere film baru.Â
Itu nampak dari tulisan bertopik film dari para Kompasianer tersebut. Bahkan ada salah satu teman saya yang bisa menonton beberapa film terbaru setiap minggunya. Mereka ini adalah bagian dari kelas menengah yang sedang tumbuh di Indonesia.
Sebagai perbandingan, kalau kita melihat data kelas menengah di China, jumlahnya sudah mencapai sekira 400 juta orang (sumber). Itu adalah potensi yang luar biasa besar bagi industri film dan bioskop di China.
Tak heran, film karya mereka yang berjudul "The Wandering Earth" meraih sukses besar menjadi film terlaris kedua tahun 2019 di seluruh dunia. Sebelumnya film itu bahkan menduduki posisi pertama sebelum direbut oleh "Captain Marvel" (sumber).
Bahkan perbioskopan di China menjadi salah satu yang paling bergairah di dunia. Baru-baru ini, tersiar kabar omzet penjualan tiket bioskop di Negeri Tirai Bambu itu mencapai tiga triliun rupiah di hari pertama liburan Imlek (sumber)
Kondisi perbioskopan China yang cerah tentu saja mendukung perfilman mereka. Saat ini film-film produksi China nampaknya telah berhasil menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.Â
Dari daftar film terlaris di China yang disusun oleh China Box Office (CBO), film-film produksi China menduduki posisi teratas. Film terlaris sepanjang masa di China saat ini adalah "The Wolf Warrior 2" yang berada di posisi puncak, disusul "The Wandering Earth" di posisi kedua (sumber: CBO ).
Sejumlah film produksi Hollywood yang tayang di China masih kalah jauh. Sejauh ini, film Hollywood yang terlaris di China adalah "The Fate of the Furious" dan berada di posisi ke-7 daftar film terlaris versi CBO. Film "Avengers: Infinity War" yang sukses dimana-mana ternyata hanya menduduki peringat ke-11 film terlaris di China sepanjang masa.
Bagaimana dengan data film Indonesia? Bagaimana posisi film nasional dengan film-film impor? Sayangnya di Indonesia belum terdapat chart film terlaris yang serupa dengan daftar yang dibuat CBO di China atau Box Office Mojo di Amerika Serikat. Tetapi data dari FilmIndonesia.or.id lumayan menggambarkan kesuksesan perfilman nasional.
Dari data sepuluh film Indonesia terlaris yang dirilis dalam rentang waktu tahun 2007 hingga 2019, tujuh film yang dirilis dalam lima tahun terakhir mencatat kesuksesan luar biasa, ditonton lebih dari 3 juta orang di bioskop (sumber).
Sejauh ini film "Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! part 1" (2016) ditonton oleh 6,8 juta penonton, disusul film Dilan 1990 (2018) yang meraup 6,3 juta penonton dan Dilan 1991 (2019) dengan 5,2 juta penonton.Â
Daftar tersebut belum termasuk film-film produksi tanah air lainnya yang mampu meraih 1 hingga 2 juta penonton. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2014-2019) tercatat ada 36 judul film yang ditonton oleh 1 juta hingga 3 juta penonton.
Dari chart film resmi Indonesia tersebut, kita juga bisa melihat adanya peningkatan jumlah penonton film di bioskop yang cukup siginfikan. Dengan mengacu pada data film-film dengan jumlah penonton di atas 1 juta saja kita bisa menarik kesimpulan bahwa film nasional sedang dalam perjalanan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Mari kita melihat data lima tahun terakhir dari FilmIndonesia.or.id. Pada tahun 2014, jumlah film dengan penonton di atas 1 juta hanya diraih dua film saja. Jumlahnya meningkat menjadi tiga film di tahun 2015, dan meningkat pesat di tahun 2016 yaitu sebanyak sepuluh film.Â
Tahun 2017 terdapat 11 film Indonesia yang box office dengan penonton di atas 1 juta orang. Di tahun 2018 angkanya kian bertambah dimana terdapat 14 judul film yang meraup penonton di atas 1 juta orang.
Tahun 2019 masih menginjak bulan April, tetapi sudah ada empat film nasional yang meraih satu jutaan penonton. Tahun ini kabarnya banyak film nasional bermutu akan dirilis.Â
"My Stupid Boss 2" yang kini sedang tayang di bioskop-bioskop tanah air berpotensi meraih penonton di atas satu juta orang. Begitu juga film "Yo Wis Ben 2". Kedua film tersebut kemungkinan bisa menyusul kesuksesan sekuel pertamanya.
Dalam waktu dekat film "Mantan Manten" akan segera dirilis. Juga film "Ave Maryam" yang sejauh ini mendapat banyak pujian di sejumlah pemutaran khusus. Masih ada lagi "Pocong The Origin" karya Monty Tiwa dan film terbaru Garin Nugroho berjudul "Kucumbu Tubuh Indahku".
Pecinta film yang juga cinta buku juga pasti akan menantikan film "Bumi Manusia" karya Hanung Bramantyo. Ya, film itu berdasarkan pada novel berjudul sama yang ditulis oleh salah satu sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.
Joko Anwar juga kabarnya sedang bersiap meluncurkan film superhero asli Indonesia berjudul "Gundala". Sebagaimana film "Pengabdi Setan", Joko Anwar me-remake film Gundala Putra Petir yang lumayan sukses di tahun 1981 silam. Kedua film ini berdasarkan pada komik karya Hasmi yang pertama kali terbit tahun 1969.
Film lain ber-genre sama yang menurut rencana akan tayang di tahun 2019 adalah "Si Buta dari Gua Hantu". Film arahan sutradara Timo Tjahjanto ini juga menjadi salah satu film yang ditunggu kehadirannya. Sayangnya belum ada informasi kapan film ini akan tayang.
Film horor "Perjanjian dengan Iblis" juga sedang dinanti kehadirannya oleh penggemar film horor. Begitu pula film biopik tentang pebulutangkis ternama Indonesia, Susi Susanti juga menurut rencana juga akan tayang di tahun 2019 ini.
Namun, meski sudah sekian banyak film Indonesia meraih sukses besar, ternyata film Indonesia dianggap belum dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri.Â
Dalam sebuah seminar film di Jakarta pada 28 Maret 2019 yang bertema "Film Indonesia Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri dan Tamu Mulia di Luar Negeri", terungkap bahwa meskipun produksi film nasional mengalami peningkatan sejak beberapa tahun terakhir, ternyata belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Hal ini karena masih kuatnya dominasi film-film impor yang notabene adalah film-film produksi Hollywood dan Bollywood. Belum lagi film-film dari Asia Timur (China, Korea Selatan, Jepang) yang biasanya diputar di salah satu jaringan bioskop di Indonesia.
Tetapi menurut pendapat saya, bila kita berbicara mengenai perbioskopan tanah air, sebenarnya bioskop adalah entitas yang berbeda dengan perfilman nasional. Bioskop merupakan salah satu ekosistem industri film yang tidak hanya menjadi medium bagi industri perfilman nasional, tetapi juga industri perfilman global.
Persamaannya, perbioskopan nasional juga punya keinginan bertumbuh yang sama dengan perfilman nasional. Keduanya memiliki simbiosis mutualisme business to business.Â
Bila karya film nasional yang diputar bagus, tentu akan berpotensi menarik penonton sebanyak mungkin. Bila filmnya tidak bagus (baca: tidak komersil), pihak bioskop yang rugi, apalagi jika bioskop non jaringan.
Sekadar informasi, bisnis bioskop bukan bisnis yang murah. Investasinya saja minimal sekira dua milyar rupiah per layar. Agar bisa balik modal dan mampu eksis, bioskop pada umumnya hanya memutar karya film-film yang dinilai bagus yang berpotensi mengundang banyak orang datang berduyun-duyun untuk menontonnya.
Di sisi lain, semakin banyak layar bioskop artinya semakin besar peluang sebuah karya film ditonton oleh lebih banyak audiens. Untuk itu, penambahan layar bioskop dipandang perlu segera direalisasikan. Oleh karena investasinya yang tidak kecil, pemerintah pun mendorong perbioskopan tanah air dengan membuka keran bisnis bioskop bagi investor asing.
Di bisnis bioskop, investor asing kini dapat memiliki saham hingga 100% . Hal ini tertuang dalam paket kebijakan ekonomi jilid X terkait Daftar Negatif Investasi (DNI) yang dikeluarkan pada tahun 2016 lalu. Dampak dari kebijakan tersebut sudah terasa, jumlah layar bioskop meningkat hingga dua kali lipat!
Saat ini sejumlah investor asing sudah masuk ke bisnis bioskop tetapi belum ada yang menguasai kepemilikan saham hingga 100%. Maklum, sebagaimana yang saya sampaikan sebelumnya, bahwa investasi di bisnis bioskop ini tidaklah murah.Â
Misalnya, CGV Cinemas saat ini dikendalikan oleh empat investor utama yaitu CJ CGV Korea, IKT Holdings Ltd, Coree Capital dan perusahaan nasional PT Graha Layar Prima, Tbk.Â
Saat ini CGV Cinemas merupakan jaringan bioskop dengan jumlah layar terbanyak kedua di Indonesia setelah jaringan Cineplex 21.
Sementara itu Cinemaxx merupakan kerja sama antara Lippo Group dengan Cinepolis, salah satu jaringan bioskop terbesar di dunia dari Meksiko. Investor asing lainnya yang masuk adalah Lotte Group Korea yang mengoperasikan Lotte Cinema.
Untuk sementara jaringan bioskop ini masih beroperasi di kota Jakarta. Targetnya membuka bioskop di 60 lokasi  di Indonesia yang akan dilakukan bertahap. Tahun 2019 ini Lotte Cinema berencana membuka dua bioskop baru. (sumber)
Pada tahun 2016 lalu, pernah tersiar kabar bahwa Royal Group dari Uni Emirat Arab lewat anak usaha Cine Royal Cinema LLC akan masuk ke bisnis bioskop di Indonesia. Investasi perl ayarnya kabarnya tidak main-main, sekira 18 milyar rupiah per layar terpadu. (sumber).
Dengan jumlah penduduk kalangan menengah yang semakin meningkat di Indonesia setiap tahunnya, perbioskopan di tanah air memiliki potensi besar.Â
Dalam konteks perfilman nasional, semakin banyak jumlah layar bioskop di segala penjuru tanah air, artinya semakin luas distribusi film dimana semakin besar peluang sebuah karya film ditonton oleh lebih banyak audiens. Apalagi jika nantinya pemerintah menerapkan kebijakan setiap bioskop wajb menayangkan 60% film nasional.
Tetapi menurut saya, bisnis tetaplah bisnis. Hanya film-film nasional yang bagus dan "menjual" (baca: memiliki nilai komersial) yang punya peluang besar untuk diputar di bioskop. Karena sepertinya hanya itu syarat sebuah karya film agar menarik banyak penonton datang ke bioskop.
Bacaan:
10 Film Indonesia Yang Paling Ditunggu Tahun 2019 Dari Romantis Hingga HorrorÂ
13 Film Indonesia yang Bakal Tayang di 2019, Ari Irham vs Iqbaal Nih!
Bioskop Independen Dapat Jadi Usaha MenjanjikanÂ
Film Indonesia Belum Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri, Ini Alasannya
GPBSI: Masyarakat Butuh Bioskop IndependenÂ
'Kebangkitan' bioskop independen di IndonesiaÂ
Rekomendasi 10 Film Lokal yang Diprediksi Bakal "Pecah" Tahun 2019. Produksi dalam Negeri nih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H