Penyanyi Jessica Pratt kembali lagi dengan album terbarunya yang berjudul "Quiet Signs". Album ber-genre folk/pop ini resmi dirilis pada 8 Februari 2019 lalu di bawah label Mexican Summer/City Slang. Ini adalah label ketiga bagi penyanyi asal Los Angeles, California itu. Dua album sebelumnya dirilis di bawah label yang berbeda seiring dengan eksplorasi musiknya yang semakin meluas.
Sedikit menengok album-album sebelumnya, album pertamanya merupakan album self-titled yang dirilis di bawah label Birth pada tahun 2012. Album itu menggunakan metode perekaman menggunakan pita analog. Meski albumnya lo-fi oleh karena sesi produksi yang sederhana, album "Jessica Pratt" lumayan sukses dan diulas positif oleh sejumlah pengulas musik,
Album keduanya berjudul "On Your Own Love Again" dimana Pratt lebih banyak mengekplorasi musiknya dengan meramu folk murni dengan dream pop. Album yang dirilis tahun 2015 ini juga diulas positif oleh sejumlah situs pengulas musik antara lain Pitchfork, Amazon dan DiS (Drowned in Sound).
Tidak ada yang salah dengan genre folk yang menjadi akar musiknya. Tetapi publik juga perlu mengenal musiknya. Oleh karena itu di album ketiga ini Pratt tampil agak nge-pop meski folk tetap menjadi landasan musiknya.
Tentang genre musik Pratt, pengamat musik mengklasifikasikan aliran musiknya ke dalam folk dan freak-folk. Tetapi Pratt justru kurang setuju karena ia tidak ingin mengkotakkan diri pada folk atau freak-folk. Pratt juga enggan dibandingkan dengan Joan Baez, musisi folk wanita top tahun 1960an. Menurut Pratt, musik Baez lebih kental folk-nya bahkan cenderung folk akademis.
Bila ada yang menilai album "Quiet Signs" ini sebagai album pop, sebenarnya album ini juga tidak nge-pop amat karena, sekali lagi, akar musik Pratt adalah folk. Ada juga pendapat lain kalau album ini terdengar jazzy.
Tetapi bila memang dinilai sebagai album pop, menurut saya album "Quiet Signs" ini malah terdengar dream pop yang dipadukan dengan folk.
Saya malah kurang sependapat bila album ini bernuansa jazz karena melodinya lebih cenderung folk. Mungkin album ini bisa masuk ke genre alternatif. Jadi, saya pribadi cenderung mengklasifikasikan genre album ini dalam folk/dream pop/alternatif.Â
Bila kita mendengarkan album "Quiet Signs" ini, album ini masih terasa minimalis, terasa sederhana. Sama dengan album-slbum sebelumnya, petikan gitar akustik terasa sangat dominan. Sesekali muncul elemen piano dan flute.
Di album ketiganya ini gaya vokal khasnya sudah membentuk yang menjadi ciri khasnya. Kala bernyanyi, Pratt juga tidak melulu mengeja lirik sesuai kaidah bahasa. Misalnya lirik dalam lagu "As the World Turns", ia mengucap kalimat verse pertama 'I know, this world is turnin' ' seperti ini: "e nuw tis werd is ternin' '. Unik memang. Gaya vokal demikian akan muncul di hampir semua tracks dalam album ini.
Pratt juga penyanyi yang rupawan. Penampilan panggungnya walau minimalis tetap menarik untuk disimak. Bila tampil live ia selalu membawa gitar akustiknya dan kadang pasukan bergitar yang mengiringinya.
Selain menyanyi, Pratt juga piawai menulis lirik lagu. Seluruh lagu dalam "Quiet Signs" adalah hasil gubahannya. Jadi, Pratt merupakan paket lengkap musisi cantik bersuara merdu yang bisa menulis lirik lagu sekaligus memainkan instrumen musik.
Tentang gaya busananya, Pratt tidak neko-neko. Malah cenderung sederhana. Tetapi memang biasanya penampilan penyanyi folk wanita jauh dari kesan glamor atau seronok. Coba lihat penampilan Jewel. Penyanyi folk wanita lainnya yang eksis saat ini, misalnya Laura Marling dan Bedouine, juga berpenampilan sederhana. Outfit Bedouine malah mirip penyanyi tahun 196oan/1970an.
***
Album "Quiet Signs" terdiri dari sembilan lagu yang semuanya enak untuk dinikmati. Album dibuka dengan tembang singkat "Opening Night" yang merupakan intro sepanjang 99 detik. Lagu ini hanya diiringi oleh piano yang dimainkan ole Matthew McDermott, sang kekasih yang juga partner bermusiknya. Vokal Pratt hanya muncul dalam bentuk cooing tanpa lirik yang melebur indah dengan piano.
Lagu kedua berjudul "As the World Turns" merupakan lagu sederhana dengan lirik satu verse yang diulang. Musik pengiringnya malah jauh lebih sederhana.
Gitar yang dimainkan hanya tiga nada mulai awal lagu sampai selesai. Lagu ini tentang melalui hari demi hari yang terasa sepi, berharap ada setitik semangat untuk menyambut satu masa yang indah.
Track ketiga adalah "Fare Thee Well". Lagu yang cukup menantang vokal Pratt. Bukan karena nada-nada tinggi melainkan nada-nada akrobatik. Lagu ini juga termasuk minimalis, hanya ada dua instrumen yaitu gitar yang digenjreng (strumming) dan flute. Lagu ini berkisah tentang kekeliruan dalam membina hubungan dengan seseorang, yang tersisa hanyalah kesendirian. "Fare Thee Well" pengertiannya sama dengan goodbye atau selamat tinggal.
"Here My Love" adalah lagu berikutnya yang terdengar syahdu. Elemen musik lagu adalah gitar dan piano. Lagu ini nampaknya sebuah ungkapan kerinduan yang dalam dengan seseorang yang walaupun telah pergi masih terekam jelas dalam ingatan.
Sound tembang kelima "Poly Blue" terasa mirip dengan lagu-lagu folk tahun 1960an. Lagi-lagi instrumen gitar menghiasi dengan cantiknya. Tidak hanya gitar, ada sentuhan flute yang muncul mulai bagian pertengahan lagu dan dua pertiga lagu. "Poly Blue"diperkenalkan sebagai lagu tunggalan kedua pada Desember 2018 dan mendapat sambutan yang positif di sejumlah situs musik.
Track keenam adalah "This Time Around" yang menjadi lead single album. Lagu ini hanya mengandung tiga bagian lirik yaitu satu verse, satu refrain dan satu bridge yang diulang satu kali. Iringan musiknya didominasi strummed-guitar akustik dua ketuk mulai awal hingga lagu usai. Iringan synthesizer muncul dua kali di bagian refrain, memberi atmosfer yang begitu indah. Sungguh lagu yang harmonis.
Saya menangkap lirik lagu ini bercerita tentang suasana hati yang sedang gundah cukup dalam yang nampaknya akan segera terhibur. Sebuah video musik juga diluncurkan pada 24 Oktober 2018 lalu untuk mempromosikan tunggalan sekaligus album. Video musiknya bernuansa tahun 1960an yang diambil dengan kamera 8mm.
Lanjut ke lagu berikutnya adalah "Crossing", sebuah komposisi yang kental gitar akustik dan piano yang menghipnotis. Instrumen dengan cantiknya mengiringi tarikan vokal Pratt yang merdu. Bahkan suara cooing Pratt, termasuk bagian yang diberi efek echo, juga masih terasa cantik, sekaligus misterius. Seperti memasuki dunia mimpi dimana kita sedang berjalan di taman penuh bunga dan danau yang dilingkupi kabut.
"Silent Song" adalah lagu kedelapan di dalam album ini. Lagu ini bercerita tentang keinginan terpendam untuk bersama dengan seseorang yang nampaknya telah lama pergi. Sound lawas tahun 1960an juga sangat terasa dalam lagu ini, masih dengan iringan gitar akustik yang dominan dan piano. Synthesizer akan muncul menjelang penghujung hingga menutup lagu.
Sebagai penutup album adalah lagu "Aeroplane" yang justru terdengar paling kaya warna diantara semua tracks dalam album. Pertama karena lagu ini punya lirik yang lebih panjang, dan kedua terdapat lebih banyak instrumen musik. Kini selain gitar akustik dan piano, ada elemen tamborin dan akordion. Sebuah lagu penutup yang berkesan.
"Quiet Signs" pada umumnya mendapat apresiasi positif di sejumlah situs pengulas musik terkemuka global. Bahkan di situs Pitchfork, album ini terpilih sebagai "Best New Music" dengan skor cukup tinggi yaitu 8,4. Di situs Metacritic, album ini mendapat angka Metascore 84 dengan user score 7,6. Situs musik Stereogum memilih "Quiet Signs" sebagai "Album of the Week" di awal Februari 2019 lalu.
Sampul album "Quiet Signs" ini juga sederhana saja. Menampilkan Pratt yang berdiri di atas ranjang di sebuah kamar bergaya vintage dengan penerangan yang redup. Sampul album itu mengisyaratkan suasana kesenduan sekaligus ketenangan. Memang, usai mendengar album ini kok hati rasanya tenang. Ah, sugesti datang lagi.
Album berdurasi 28 menit ini memberi kita nuansa mimpi namun bukan mimpi yang sepi. Menikmati musik juga tidak harus melulu menghajar indera dengan kehingarbingaran. Adakalanya kita mencari sesuatu yang ringan, lembut tetapi tetap indah untuk dinikmati.
Mengenai rating album ini, menurut saya 8,5. Saya juga sependapat dengan Pitchfork dan Stereogum kalau "Quiet Signs" merupakan salah satu album musik terbaik di tahun 2019 ini.
Berikut video musik "This Time Around" dari Jessica Pratt yang menjadi lead track album "Quiet Signs".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H