Mohon tunggu...
Gatot Aribowo
Gatot Aribowo Mohon Tunggu... -

Pernah jadi jurnalis.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Surat Untuk Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra

24 Juli 2014   04:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:24 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salam Indonesia Raya, Bapak Ketua Dewan Pembina. Ijinkan wong cilik dari kader Partai Gerindra menulis surat untuk Bapak.

Bapak Prabowo yang kami banggakan.

Perkenalkan, saya Gatot Aribowo, eks Caleg DPRD Kabupaten Blora dari Partai Gerindra. Meski tak terpilih di pemilihan legislatif 9 April lalu, saya tetap merasa menjadi bagian dari partai. Saya masih merasa menjadi kader, walau dalam struktur internal DPC Kabupaten Blora tidak masuk dalam timses pemenangan Pilpres 9 Juli 2014. Walau begitu, dangan cara tersendiri saya tetap turut ambil bagian untuk proses kemenangan partai dalam mengantarkan salah satu kadernya guna mencapai tingkat prestasi tertinggi dalam karir politiknya.

Bapak Ketua Dewan Pembina yang kami hormati.

Seluruh rangkaian proses perjuangan partai dalam pemilihan umum ini telah kita lalui. Karenanya, saya beranikan diri untuk menulis surat buat Bapak. Kalaupun dianggap lancang, saya siap menerima sanksi apapun, termasuk pemecatan kader, yang secara otomatis akan menghentikan saya dalam perjuangan melalui politik, dan kembali ke perjuangan melalui jurnalistik. Saya tidak akan berganti ke partai lain, karena saya telah berikrar, "sekali masuk politik, dan pilihan telah saya jatuhkan ke Partai Gerindra, begitu keluar dari Partai Gerindra berarti keluar dari dunia politik."

Bapak Prabowo yang kami banggakan.

Saya sangat memahami perasaan Bapak ketika dalam posisi hitung-hitungan di KPU pada 22 Juli kemarin kita tertinggal cukup jauh dengan pihak lawan, hingga akhirnya pihak lawan ditetapkan oleh penyelenggara even pemilihan sebagai pemenang.

Perasaan itu juga saya rasakan secara tidak langsung. Secara langsung, saya pernah merasakannya pada hitung-hitungan hasil pemilihan legislatif 9 April silam. Bercampur aduk perasaan saya ketika itu. Kesal, marah, kecewa, dan terluka. Apalagi, dalam proses pemilihan tersebut saya selalu menjaga agar berjalan di atas rel peraturan.

Di masa-masa kampanye pemasangan APK, saya selalu berusaha untuk tidak memasang APK di pohon. Selain tidak taat peraturan, saya juga merasa kasihan terhadap pohonnya. Pernah suatu sore saya memerintahkan orang saya untuk melepas APK saya yang dipaku di pohon. Saya memang lupa berpesan ke pemasang agar tidak memasangnya di pohon.

Saya juga menghindari sejauh mungkin untuk melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik uang. Berbagai selebaran, mulai dari pasal tindak pidana politik uang dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2012 hingga fatwa MUI dan PBNU soal haramnya politik uang saya cetak. Jumlahnya belasan ribu, saya sebar di kantong-kantong suara sasaran. Di situ pula saya sertakan visi, misi, tekad, dan cita-cita saya untuk mengembalikan politik sebagai alat perjuangan rakyat dalam membebaskan dirinya dari kebodohan dan kemiskinan.

Tak luput, dalam arak-arakan Caleg Kabupaten 16 Maret 2014 pun saya sasar untuk menyadarkan tentang pentingnya taat hukum dan tertib peraturan dalam berpolitik.

Di hari-hari terakhir di masa tenang, saya sebarkan himbauan ke rakyat untuk melakukan penangkapan terhadap siapapun penyebar uang, sekalipun itu kader Gerindra, dan akan saya berikan reward. Himbauan itu di bawahnya saya tulis dari Partai Gerindra. Saya ingin Partai yang saya jadikan sebagai alat perjuangan ini mendapatkan nama baik di hati rakyat.

Namun apa lacur. Seluruh perjuangan saya itu sia-sia. Saya dikalahkan oleh kecurangan. Baik kecurangan yang masih subur ditumbuhkan lawan-lawan politik, juga kecurangan yang masih bersemai di rakyat sendiri. Perang uang lebih menarik ketimbang perang gagasan. Rakyat masih menikmati adu uang dalam politik daripada adu pemikiran dalam politik.

Kecurangan-kecurangan inilah yang membuat saya sangat-sangat kecewa, yang hingga kini masih membekas. Mungkin, kekecewaan atas kekalahan inilah yang Bapak Ketua Dewan Pembina rasakan di saat-saat ini.

Bapak Prabowo yang masih kami banggakan.

Ada kalanya memang kita perlu melupakan kekecewaan tersebut tanpa berbuat apa-apa. Saya tak melakukan gugatan terhadap lawan politik terdekat karena saya tak memasang perangkap untuk menjebak lawan agar mendapatkan bukti hukum yang kuat. Ide itu pernah saya tawarkan ke teman-teman yang mengawal perjuangan saya. Karena untuk benar-benar menjatuhkan lawan melalui meja gugatan hukum perlu bukti yang sangat-sangat kuat. Namun ide itu hanya bergulir begitu saja. Selain tak ada gerakan dari teman-teman untuk membantu saya menggunakan cara tersebut, orang dalam rumah saya tanpa sepengetahuan saya ternyata juga turut bermain politik uang. Inilah yang membuat saya malu. Di satu sisi saya hendak menunjuk lawan bermain curang, di sisi lain dari pihak saya juga bermain curang yang belakangan baru saya ketahui.

Bapak Prabowo yang tetap kami banggakan.

Memeluk kekalahan dengan kelapangan dada memang terasa berat. Namun bagi saya, itu tak terasa ketika saya kembalikan lagi pada niatan awal saya masuk politik. Niat untuk menggunakan politik sebagai alat perjuangan saya awali dengan mencium tangan ibu, dan keluar melangkahkan kaki dengan ucapan Bismillah. Inilah niat jihad. Niat berperang melawan kebatilan. Berkali saya selalu dengungkan ke ibu saya yang ambisi agar anaknya jadi anggota dewan yang terhormat, bahwa yang ingin saya raih bukan untuk jadi anggota dewan tapi menang. Baik menang terhadap lawan, yang utama menang terhadap diri sendiri. Menang untuk mengalahkan nafsu menggunakan berbagai cara untuk jadi anggota dewan, termasuk cara-cara yang melanggar hukum dan melanggar kesepakatan bersama yang tertuang dalam undang-undang.

Bapak Prabowo yang ingin kami banggakan.

Kemarin, pas hari terakhir penghitungan suara pemilihan presiden, saya siangnya membayangkan Bapak datang pas penetapan hasil, lalu memeluk yang menang sambil berucap, "kami titipkan perjuangan Indonesia untuk membenahi politik dan demokrasi dalam sistem pemilihan yang mempersempit dan meniadakan ruang untuk melakukan kecurangan-kecurangan. Dalam lima tahun mendatang, kami ingin penyelenggaraan benar-benar sudah tertata dengan teknologi yang akan meniadakan tindak kecurangan dalam berpolitik dan membangunkan dalam sistem yang berkejujuran dan berkeadilan. Kami sadar, sistem yang dibangun selama 16 tahun ini tidak pernah menutupi kebocoran untuk pemain politik melakukan kecurangan dengan menggunakan segala cara buat menang, termasuk cara yang membodohkan rakyat dengan menjadikan politik sebagai ajang adu uang dan bukan adu gagasan pemikiran. Selamat buatmu, dan buat rakyat Indonesia."

Sayang, bayangan saya itu tak terjadi. Apa yang akhirnya terjadi, membuat saya kaget. Bapak menarik diri dari proses pemilihan yang belum mencapai titik akhir. Lalu saya berpikir, apakah kekalahan adalah kemenangan partai yang tertunda untuk lima tahun mendatang masih terbuka atau tidak dengan kejadian hari itu?

Pernah saya membayangkan, perjalanan membesarkan Partai Gerindra seperti perjalanan Hitler membesarkan Partai Nazi. Tentu bukan ideologi partainya Adolf Hitler atau cara-caranya yang kita adopsi. Namun kesabarannya dalam meraih kemenangan itulah yang dapat kita tiru. Setidaknya itu pelajaran yang saya petik dari film Hitler: The Rise of Evil.

Bapak Ketua Dewan Pembina yang ingin kami banggakan.

Berbesar hati adalah yang ingin kami saksikan dalam peran politik yang Bapak mainkan. Berbesar hati untuk menerima ketertinggalan suara yang diraih. Berbesar hati untuk menerima mandat yang kita dapat dari rakyat lebih kecil dari mandat yang didapat pihak lawan dari rakyat.

Kebesaran hati dari Bapaklah yang akan turut menata demokrasi yang pelajarannya baru 16 tahun ini kita jalani. Kebesaran hati dari Bapaklah yang akan kembali menyatukan perbedaan, sementara perbedaan adalah pelajaran pokok yang masih kita pelajari selama 16 tahun ini. Kebesaran hati dari Bapaklah yang akan membuat olok-olok kepada kami sebagai pendukung Bapak terhenti. Kebesaran hati dari Bapaklah yang akan membuat kami kembali melangkah pasti untuk melanjutkan perjuangan Indonesia Raya melalui partai Gerakan Indonesia Raya. Kebesaran hati dari Bapaklah yang membuat kami kembali bergerak dalam gerakan-gerakan yang membebaskan rakyat dari kebodohan dan kemiskinannya.

Bapak Ketua Dewan Pembina yang masih ingin kami banggakan.

Sebagai kader yang jauh dari lingkaran ring satunya Bapak, tentu saya sadar tentang kecil sekali kemungkinan apa yang saya harapkan untuk bisa Bapak perbuat, yakni mendatangi pihak yang menang dan memeluknya untuk menggambarkan kebesaran jiwa dari Bapak dalam menerima dan memeluk kekalahan dengan penuh kelapangan dada. Namun setidaknya ada ikhtiar dari saya untuk mengingatkan kembali dalam jalan yang seharusnya kita tempuh untuk meraih kemenangan. Meski saya lagi-lagi sadar, bahwa tak seharusnya kader junior mengingatkan pendiri partai. Walau begitu, saya ingin Bapak menjadi guru demokrasi kami yang kelak akan tercatat dalam buku sejarah demokrasi bangsa ini. Guru yang memudahkan murid-muridnya untuk belajar melakukan rekonsiliasi nasional, menghapuskan kebencian dan kedengkian dari para pendukung dan relawan kita terhadap pihak yang menang, lalu berangkulan kembali memperbaiki bangsa yang 16 tahun ini masih mencari jati diri demokrasinya.

Tidak mudah memang. Namun inilah ujiannya. Inilah jalan juang yang perlu kita lakoni. Berjuang mengalahkan diri sendiri. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membukakan pintu kemenangan buat demokrasi bangsa ini.

Blora, 23 Juli 2014

Salam Gerakan menuju Indonesia Raya,

Gatot Aribowo

https://www.facebook.com/gatot.gerindra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun