Alkisah dalam salah satu versi epos pewayangan, seorang ksatria bernama Raden Palguna yang tak lain adalah Janaka alias Arjuna memiliki keinginan untuk menjadi seorang ksatria yang sakti dan pemanah terbaik di jagat raya ini. Sementara itu, seorang guru sakti dari pertapaan Sokalima telah diliriknya. Begawan Dorna sang mahaguru yang sangat tersohor akan kesaktiannya itu menjadi tujuan bagi Raden Palguna. Raden Palguna percaya, hanya berkat ajian Sirwenda Danurwenda yang dimiliki oleh Begawan Dorna, ia  akan mampu mencapai kesaktian dan keahlian memanah yang paripurna.
Tetapi nun jauh di sana, Palgunadi atau Bambang ekalaya, seorang ksatria dari Paranggelung juga mengetahui tentang  kesaktian dan kehebatan Begawan Dorna dari pertapaan Sokalima itu. Palgunadi juga berniat berguru kepada Begawan Dorna, karna menurutnya hanya Resi Dorna yang mampu melahirkan seorang pemanah sakti.
Berbekal tekad yang kuat, Palgunadipun berangkat ke pertapaan Sokalima. Namun sayang, sesampainya palgunadi di Sokalima, Palgunadi menerima kenyataan pahit. Ia ditolak mentah mentah oleh Resi Dorna. Begawan Dorna beralasan sudah terikat janji hanya akan menjadi guru bagi Ksatria Pandawa dan Kurawa. Sejatinya, ia hanya menginginkan Raden Palguna alias Raden Arjuna menjadi murid dan pewaris  satu satunya dari ajian Danurwenda.
Walau kecewa dengan penolakan Bagawan Dorna, Palgunadi memutuskan untuk tidak langsung pulang ke Paranggelung. Ia masuk ke sebuah hutan. Lalu di dalam sebuah goa, ia membuat patung yang mirip dengan Begawan Dorna. Lalu, di depan patung itu, ia berlatih siang malam dengan tekun, seakan akan ia benar benar sedang dibimbing oleh Begawan Dorna. Berkat ketekunannya itu, lama kelamaan, kesaktian Palgunadi bertambah dengan pesat. Bahkan ilmu memanahnya bisa melampaui Raden Palguna alias Arjuna.
Kesaktian Palgunadi juga sempat disaksikan Raden Palguna, ketika pada suatu kesempatan, para Pandawa sedang berburu di hutan, mereka melihat bangkai seekor anjing dengan tujuh mata panah bersarang di mulutnya. Lalu para pandawa mengetahui bahwa itu dilakukan oleh seorang yang sangat ahli dalam memanah. Ketika Palgunadi ditanya oleh para Pandawa, ia mengaku bahwa dia adalah seorang murid dari Begawan Dorna.
Singkat cerita, Palgunadi memiliki istri yang sangat cantik jelita  bernama Dewi Anggraini Suatu hari, Raden Palguna bertemu dengannya. Kecantikan Anggraini membuat Raden palguna atau Arjuna itu berhasrat padanya dan mengejarnya.  Dewi Anggraini mengadukan hal tersebut kepada suaminya sehingga terjadi perselisihan antara Raden Palguna dan Palgunadi
Kedua ksatria itupun bertarung. Karna kalah sakti dari Palgunadi, Raden palguna tewas karena kesaktian cincin Ampal yang ada di ibu jari milik Palgunadi. Pada akhirnya, Raden Palguna dihidupkan kembali oleh Prabu Batara Sri Kresna dengan pusaka kembang cangkok Wijaya Kusuma. Kekalahan Raden Palguana dari Palgunadi jelas menjadi sebuah masalah. Raden Palgunalah harusnya satu satunya murid Begawan Dorna yang paling sakti dalam ilmu memanah. Dalam kisah selanjutnya, perselisihan dengan  Palguna dan Palgunadi, Sri Kresna merasa perlu campur tangan.
Pada saat Palgunadi sedang semedi di depan Patung Begawan dorna, roh Sri Kresna masuk ke patung itu sehingga patung itu seakan akan menjadi hidup. Lalu patung Begawan Dorna yang telah dirasuki roh Kresna itu menipu Palgunadi untuk membuktikan kesetiaannya kepada gurunya itu dengan memotong ibu jari tangan kanannya, Palgunadi yang memang begitu memuja Begawan Dorna itu begitu percaya dan langsung bersujud serta dengan rela memotong ibu jari kanan tempat cicin Ampal melingkar.
Putusnya ibu jari itu serta merta membuat Palgunadi tewas seketika karena cincin Mustika Ampal lepas dari tubuhnya. Pada akhirnya, "gurunya"lah yang  mengantarkannya pada kematian.
Fenomena Palgunadi
Dari epos klasik di atas, ada sebuah cerita menarik, dimana seorang Palgunadi yang ditolak mentah mentah ketika ingin belajar dan berguru kepada Begawan Dorna, justru  mampu memiliki keahlian memanah dan kesaktian hanya dengan berlatih di depan patung Begawan Dorna yang dibuatnya. Kesaktiannya, bahkan melebihi Raden palguna yang notabene murid resmi dari Begawan Dorna dari perguruan Sokalima.
Epos itu seperti mengingatkan kita di era saat ini dimana baik disadari atau tidak, fenomena Palgunadi itu menjadi sebuah fenomena budaya masyarakat dalam interaksinya dengan informasi dan pengetahuan.
Media sosial dalam perkembangan dunia maya saat ini, adalah patung patung Begawan Dorna atau bahkan sosok Palgunadi itu sendiri. Dalam perkembangan tehnologi informasi saat ini,  banyak sekali ditemukan  konten- konten  informasi apapun baik ilmu pengetahuan sosial, kesehatan, politik, sejarah, astronomi hingga arkeologi yang dibuat oleh konten kreator walau kadang, si pembuat konten tersebut sulit untuk ditemukan nashab kepakarannya.
Jika dua dekade silam berbagai informasi mengenai hal hal di atas adalah domain para pakar di bidangnya, kini, setelah perkembangan dunia maya, siapapun dapat belajar dari manapun yang diinginkan lalu disebarkan kemanpun. Banyak dari kita disadari atau tidak, telah berguru pada mahaguru dunia maya. Ya, patung patung dorna yang kita buat sendiri!
Di sisi lain, seakan seorang ahli, tidak sulit rasanya untuk membuat konten bidang tertentu secara  konsisten tentang sebuah tema dengan metode Searching, sunting, launching. Begitu mudahnyakah menjadi seorang "pakar" saat ini? Seperti Palgunadi yang bisa menjadi seorang ahli memanah hanya dengan belajar di depan patung Begawan Dorna.
Pada tahun 2017, Tom Nichols, seorang professor di US Naval War College dalam bukunya The Death of Expertise sudah meramalkan akan terjadinya fenomena di atas. Melalui buku yang dalam edisi bahasa indonesia berjudul Matinya Kepakaran ini, Nichols menganggap bahwa kemajuan teknologi informasi khususnya media sosial, mesin search engine  dan platform video media sosial lainnya akan melenyapkan "eksistensi"  kepakaran karena di media sosial dan dunia maya informasi yang dibuat oleh konten kreator dari kalangan orang awam dapat lebih dipercaya dari para pakar. Hal itu disebabkan salah satunya karna informasi kalangan awam jauh lebih mudah ditemukan di media sosial dibanding para pakar yang cenderung elitis.
Matinya kepakaran ini menurut Tom Nichols juga terjadi karena internet dan berbagai platform medsos saat ini telah menjelma menjadi maha guru dunia maya sebagaimana hutan dan patung Durna bagi para Palgunadi-Palgunadi masa kini. Internet sebagai wahana pencarian ilmu sekaligus upaya verifikasi yang efektif efisien sehingga dapat memunculkan para "pakar" baru.
Palgunadi di dunia nyata
Mungkin Arfian Fuadi dan M Arie Kurniawan adalah salah satu sosok Palgunadi di dunia nyata. Dua saudara kakak beradik dari Salatiga Jawa Tengah yang  hanya lulusan SMK ini, bisa meraih juara 1 dalam kompetisi  Global Challenge  membuat desain 3D bracket jet yang diadakan perusahaan raksasa General Electric (GE) asal Amerika. Dalam kompetisi yang diikuti oleh ratusan insinyur  dari berbagai negara itu, Arfian Fuadi dan M Arie Kurniawan  bahkan mampu mengalahkan seorang Doktor lulusan Oxford university yang bekerja di perusahaan Airbus.
Arfian dan Arie tidak memiliki latarbelakang pendidikan formal dalam bidang desain mekanik. Ia hanya belajar secara otodidak lewat internet. Namun ketekunan dan kesungguhannya membuat mereka yang hanya lulusan SMK itu mampu  mengalahkan seorang Doktor lulusan Oxford setelah berhasil merancang komponen pesawat jet generasi terbaru. Sebelumnya, berat komponen yang asli mencapai 2.033 gram. Mereka bisa mengurangi bobotnya menjadi hanya 327 gram.
Selain Arfian dan Arie, masih banyak Palgunadi-Palgunadi yang bisa ditemukan di Indonesia. Sebut saja Edy Purnomo, seorang laki laki asal Kudus Jawa Tengah yang hanya lulusan MTs ini mahir merakit motor custom hanya dengan belajar melalui platform youtube tanpa latar belakang pendidikan tehnik sama sekali. Bahkan dengan keahliannya itu, ia bisa membuak bengkel motor custom yang melayani pesanan dari beberapa kota di Jawa Tengah.
Inilah keajaiban kampus media sosial. Budaya baru ini juga mampu mengguncang singgasana para pakar. Sehingga, jika semula nyaman duduk di menara gading. kini harus mau berdamai dengan munculnya kepakaran kepakaran gaya baru yang tanpa label akademis tetapi banyak bermunculan di berbagai platform media sosial membahas berbagai macam persoalan.
Patung Dorna juga bisa membunuh (nalar)mu
Kampus ajaib yang bernama media sosial yang di alegorikan sebagai Patung-patung Begawan Dorna itu mungkin bisa menciptakan banyak Palgunadi. Tetapi, sebagai platform yang bebas memberikan keleluasaan kepada siapapun untuk mengisi konten dalam bahasan apapun yang tak terbatas, platform media sosial juga bisa menjadi sebuah paradoks, yaitu guru tempat menimba ilmu yang bisa membunuh nalarmu.
Apakah bumi ini datar? Benarkah Gubernur Jakarta Berprestasi? Apakah vaksinasi covid berbahaya? Siapakah prediksi juara piala dunia 2022? Benarkah perbankan adalah kejahatan? Pada era seperti saat ini, yang menjawab petanyaan pertanyaan semacam itu melalui platfom media sosial, bukan hanya para pakar, namun juga orang awam yang merasa tahu, para penganut teori konspirasi, para pendukung kekuatan tertentu, hingga pesohor yang menyesatkan.
Di rimba belantara informasi masa kini. Kadang penjelasan para pakar tidak didengar. Sebaliknya, informasi yang disebarkan oleh orang orang dari kubu tertentu justru didengar dan dipercaya meskipun kadang informasi itu membahayakan.
Tom Nichols dalam buku The Death of Expertise nya itu bahkan menganalogikan internet dengan Hukum Sturgeon yang mengatakan,
"90 persen dari semua hal (di dunia maya), adalah sampah."Â
Orang bebas mengunggah apapun di internet, sehingga ruang publik dibanjiri informasi tak penting dan pemikiran setengah matang.
Internet mengizinkan satu miliar bunga mekar, namun sebagian besarnya berbau busuk, mulai dari pikiran iseng para penulis blog, teori konspirasi orang-orang aneh, hingga penyebaran informasi bohong oleh berbagai kelompok. (hal. 130-131)
Keprihatinan Nichols itu ditengarai muncul dari keheranan,  bagaimana mungkin di tengah kelimpahan informasi seperti saat ini, masih ada orang yang punya pandangan primitif  kalau bumi itu datar atau vaksin berbahaya bagi kesehatan?
Yang lebih ironis, pandangan keliru itu justru makin dikuatkan dengan hasil pencarian mereka di dunia maya. Internet yang kita kira sumber informasi tanpa batas yang berguna memberi pencerahan dan hidup lebih baik ternyata punya sisi buruk dan mampu membunuh nalar banyak orang. Era teknologi dan informasi tidak hanya menciptakan lompatan pengetahuan, tapi juga memberi jalan dan bahkan memerkuat kekurangan umat manusia. Internet justru jadi sarana menyerang pengetahuan yang sudah mapan. Internet jadi sumber sekaligus sarana tersebarnya informasi bohong.
Internet bukan saja bisa membuat kita makin pintar, tapi juga bisa membuat kita bodoh.  Namun, kesalahan utama bukan pada internet, tapi pada kita. Kita punya masalah bias konfirmasi, yaitu kecenderungan hanya mau menerima bukti pendukung  atas hal yang ingin kita percayai. Internet kemudian memberi ruang untuk bias informasi itu tumbuh kian subur. Sebab, para pemrogram membuat algoritma media sosial yang memungkinkan kita terus mendapat suguhan konten, berita dan informasi yang sesuai minat yang kita gemari dari jejak konten konten yang kita buka  sebelumnya.
Di dunia maya sebagian dari kita malas untuk  menguji informasi, berdiskusi atau berdebat sehat, tapi justru fanatik akan informasi yang ingin kita percayai, lalu mengecilkan opini orang lain yang berbeda, menghina, dan bahkan menyerang dengan kata kata kejam. Sampai pada titik inilah, patung Begawan Dorna berhasil menipu dan membunuh Palgunadi; Sang guru telah berhasil membunuh nalarmu.
Internet, termasuk mesin pencari dan medsos di dalamnya, sejatinya cuma alat. Ibarat pisau, bagi dokter bedah pisau berguna untuk menyembuhkan pasien, sedangkan bagi penjahat pisau berguna untuk membunuh korban. Dengan perkembangan internet sebagai kampus dunia maya yang tak terbatas, kita punya pilihan. Menjadi Palgunadi yang tewas karna matinya nalar kritisnya, atau menjadi Palgunadi yang mampu menjadi lebih sakti dari Raden Palguna seorang siswa tunggal dari mahaguru Begawan Dorna di pertapaan Sokalima, tetapi kritis dan logis dalam menguji informasi secara valid sehingga tak mudah percaya atas perintah memotong ibu jarinya yang membuatnya tetap hidup. (Gatot Suryanto)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H