Banyak yang menilai kemunculan sosok Ahok dalam peta politik dan birokrasi di Indonesia merupakan wajah baru yang menjadi oase dan pengharapan bagi masyarakat Jakarta dan Indonesia ( tentu dalam hal ini keculi para hatersnya).
Pasti para pembaca sudah tidak asing dan kerap bersua dengan tulisan maupun komentar yang berisi pujian maupun dukungan yang dilamatkan pada sosok Ahok ini. Bahkan Kompasioners Diana Santi sempat merangkum sosok Ahok dengan lengkap dan padat dalam tulisannya di sini
Karena itu sepertinya akan membuang-buang waktu bila saya menguraikan lagi apa pujian yang dialamatkan pada Ahok tersebut.
Ahok sendiri sebenarnya bukan muncul tanpa haters dan penentang. Tidak sedikit yang tak menyukai kehadirannya. Bagi yang merasa kepentingan politik ekonominya maupun ekonomi politiknya terancam, pasti akan sulit menerima kehadiran gubernur seperti Ahok. Dengan semangat keterbukaan dan clean governance yang diterapkan, jelas Ahok bukan merupakan sekutu yang ideal bagi politikus transaksional.
Ahok juga bukan sebuah kabar gembira bagi mereka yang mendulang keuntungan lewat cara-cara premanisme, yang dengan kekuatannya menebar ancaman dan teror mampu menjadi penguasa sebuah wilayah lalu mengkomersilkannya. Bagi golongan ini jelas keindahan kota dan kenyamanan masyarakat adalah sampah.
Melawan? Tentu saja. Bagi kelompok yang merasa terancam kemapanannya, Ahok dinilai sangat berbahaya. Oleh karena itu kelompok haters ini sangat kasat mata terlihat melawan kemunculan Ahok. Oh maaf, bukan melawan rupanya, tapi, cendrung menyerang! Bukan defensif tapi ofensif.
Dan begitulah melalui media cetak, elekronik maupun online kita disuguhi sebuah peperangan antar prinsip, idealisme dan kepentingan.
Lalu, bila melihat kembali ke belakang, darimanakah ahok terlahir dan dibesarkan? (mohon tidak dijawab dengan jawaban “dari rahim ibunya” ya)
Mungkin Ahok dilahirkan oleh idealismenya, Tetapi, sadarkah kita bahwa sebenarnya Ahok dibesarkan oleh kerinduan masyarakat akan sebuah perubahan itu sendiri? Ahok seperti menjadi aktualisasi mimpi mimpi demokrasi yang segar. Demokrasi yang ideal, jauh dari retorika reformasi yang tak kunjung tercapai, sebuah reformasi yang telah menjelma menjadi “kasih tak sampai” yang menjemukan. Hingga perlahan lahan, masyarakat generasi ini mulai meninggalkan “romantisme reformasi”yang tak lagi menarik. Sambil diam-diam, mulai memimpikan sebuah revolusi. Tetapi tentu perlu tercapai kondisi kondisi tertentu yang berat sebagai syarat dapat tercetusnya sebuah revolusi dalam arti sebenarnya. Dan yang pasti tak seorangpun diantara kita yang menginginkan adanya faktor-faktor revolusi untuk meletus terjadi di Indonesia. Akhirnya, masyarakatpun diam dalam ketidakberdayaan. Melihat dengan skeptis dan psimis proses demokrasi dan ketatanegaraan ini berjalan. Diam, dan diam. Tak peduli, dan tak peduli, itulah pelarian dari ketidakberdayaan.
Kini, ketidakberdayaan masyarakat untuk melakukan revolusi; mendobrak nilai-nilai dan sistem yang korup (yang sekarang dibalut bungkus kado yang indah), mendobrak mentalitas kumuh yang sulit dibentuk, mendobrak ketidaknyamanan pelayanan yang termonopoli seperti menemukan bentuknya.
Melalui Sosok Ahok masyarakat Jakarta seperti menemukan simbol perlawanan. Tak pelak dukungan secara sukarela dalam bentuk simpati, materi maupun organisasi mengalir deras. Benak masyarakat Jakarta yang semula psimis dan skeptis seperti menemukan sebuah momentum. Inilah saatnya untuk bertemu dengan mimpi-mimpi akan sebuah gerakan revolusi untuk pembaharuan. Terlepas dari kritikan dan hujatan atas “kekasaran” dan “ketidaksantunan” Ahok, sosok ini adalah manifestasi yang tepat untuk merealisasikan dan menggerakkan mimpi mimpi itu.
Gerakan mendukung Ahok bukanlah sebuah gerakan yang sederhana dari sekelompok anak muda yang kurang kerjaan. Dibalik semangatnya, jelas ada sebuah mimpi tentang revolusi yang terus bergerak. Mimpi menggulingkan mafia dan politikus yang rakus. Mimpi mnyelamatkan keuangan negara dari cukong yang mengaku penyelenggara negara, dan banyak mimpi lainnya…
Saya tentu bukan pendukung Ahok, karena saya bukan warga Jakarta. Tetapi saya pendukung mimpi mimpi masyarakat yang sedang bergerak. Semoga mimpi ini juga segera menemukan sosoknya di seluruh Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H