Mohon tunggu...
Gatin Duran
Gatin Duran Mohon Tunggu... Lainnya - Baca-Tulis

philos-sophos

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membangun Kebebasan Beragama dalam Masyarakat Multireligius di Indonesia

14 Mei 2024   10:04 Diperbarui: 14 Mei 2024   10:09 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

               Sejarah membuktikan bahwa banyak pelanggaran yang dilakukan terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan. Dilema dalam hal kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah salah satu persoalan yang harus segera diselesaikan dalam upaya  menjaga stabilitas sosial di tengah hadirnya fakta bahwa dunia kita sangat plural dan kita harus selalu menjaga persatuan sebagai tuntutan dalam upaya membangun dunia yang lebih baik. Pernyataan eksistensial tentang apa itu agama dan bagaimana legitimasinya sangat menentukan derajat suatu agama di abad postmodern ini. Diskursus mengenai kebebasan beragama atau berkeyakinan tetap relevan dan tetap menjadi tema utama untuk dikaji pembenarannya. Sampai dengan saat ini, terdapat alasan yang lebih benar yang melampaui radikalisme atau fundamentalisme agama sebagai pemantik dari aksi pelanggaran terhadap kebebasan beragama.

              Indonesia sebagai negara dengan banyak perbedaan budaya dan agama atau keyakinan tentu saja memiliki tantangan tersendiri dalam usaha membangun persatuan di tengah kenyataan bahwa negara Indonesia memiliki banyak perbedaan agama atau keyakinan. Manusia Indonesia adalah warga negara yang eksistensinya secara politik terbentuk oleh tatanan kehidupan yang adil dan setara. Identitas dan jati dirinya dibangun dari realitas yang multikultural, dan diperteguh oleh pengakuan politik yang mutual. Diskursus tentang pluralisme dalam bingkai etika politik dan demokrasi mendapat sorotan tajam seiring dengan menguatnya kesadaran tentang politik dan politik diferensiasi (Felix Baghi,ed., 2012: 15).

                Pemahaman modern tentang kebebasan beragama sebenarnya berpijak pada pengertian bahwa tatanan moral religius berkaitan dengan manusia dalam relasinya dengan Tuhan. Hukum ialah jaminan perdamaian sosial dan kebebasan dan karena itu hukum berorientasi pada usaha menciptakan prasyarat bagi setiap individu untuk menghayati keyakinan pribadinya, termasuk kebenaran religius. Hukum memastikan warga negara menyembah Allah-nya dan beribadat menurut keyakinan masing-masing serta melindungi hak-hak dasar tersebut dari intervensi dari luar, termasuk dari negara (mediaindonesia.com, diakses pada 13 Mei 2024). Dengan demikian, jelaslah bahwa justifikasi yang majemuk meminta komunitas agama atau pandangan hidup melalui para pengikutnya, untuk mendekatkan dan menyelaraskan diri dengan doktrin martabat inheren manusia. Tore Lindholm menjelaskan ide justifikasi yang majemuk terhadap HAM dalam hubungan dengan kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam dua langkah. Pertama, definisi justifikasi yang disadari sepenuhnya majemuk. Justifikasi yang majemuk terhadap HAM kebebasan beragama atau berkeyakinan disadari sepenuhnya sejauh para penganut yang kompeten dan serius dari setiap satuan tradisi agama atau pandangan hidup, saling percaya bahwa HAM yang berlaku universal didukung penuh oleh setiap tradisi normatif yang berbeda dari satauan tersebut. Dengan kata lain kita boleh mengatakan bahwa setiap agama kiranya memberikan justifikasinya masing-masing (meskipun berbeda) sekaligus percaya bahwa agama lain mendukung penuh HAM kebebasan beragama atau berkeyakinan. Namun perlu digarisbawahi bahwa, sikap saling percaya yang dimaksud di atas mengandaikan setiap agama harus mengenal dan memahami tradisi normatif agama lain. Selain itu, justifikasi yang majemuk lebih dari sekadar konsensus yang tumpah tindih, dengan menuntut setiap pihak untuk tidak hanya menganut tetapi juga mendalami dasar yang menjadi fondassi hak menurut tradisi normatifnya sendiri.

                 Pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan berarti telah mengingkari posisi seseorang sebagai personal yang memiliki moral yang rasional, bebas dan setara. Dalam konteks inilah, kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah bagian dari hak-hak manusia yang bersifat fundamental. Dalam hal ini, sebuah negara yang tidak menghargai dan melindungi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, maka negara itu bukanlah sebuah negara yang adil. Salah satu ukuran tegaknya keadilan dalam sebuah negara adalah ada atau tidaknya penghargaan dan perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan. Di Indonesia, kebebasan beragama atau berkeyakinan masih tersandung hukum. Wakil direktur imparsial, Gufron Mabruri menyebut ada aturan hukum dan kebijakan yang disharmonis. Meenurutnya, masalah penegakan hukum muncul karena peraturan perundang-undangan lebih berat menekankan pada pembatasan kemerdekaan beragama, seperti Undang-Undang No. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan/ Penodaan Agama, SKB 3 Menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah, PBM 2 Menteri Tahun 2006 tentang Rumah Ibadah, dan Perda yang membatasi kemerdekaan beragama kelompok minoritas (mediaindonesia.com, diakses pada 13 Mei 2024). Dengan demikian, apabila kekeliruan ini senantiasa disetujui maka akan timbul kepincangan dalam perjuangan menegakan hak kebebasan beragama atau berkeyakinan. Kebebasan beragama atau berkeyakinan dapat dibatasi ketika ada dugaan bahwa tidak melakukan pembatasan akan mengganggu keteraturan kehidupan public yang harus ditegakan pemerintah. Dugaan ini harus didukung oleh metode penelitiandan cara pemikiran yang rasional secara umum diakui kebenaran umum.

                     Dalam hubungan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, Indonesia sendiri telah mengakuinya dalam butir-butir Pancasila,dengan menyatakan bahwa "Ketuhanan yang maha esa", "Kemanusiaan yang adil dan beradab" dan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Sebagaian isi dari Pancasila ini menunjukan secara tegas suatu justifikasi yang dapat menjadi rujukan secara umum dalam hal kebebasan beragama atau berkeyakinan di negara kita ini. Memberi batasan dengan UU yang berlaku bukan dimaksudkan untuk mengurung kebebasan seseorang yang memiliki hak pribadi yang seluas-luasnya, melainkan merujuk pada fungsi control guna mencapai ketertiban umum tanpa menggangu atau melanggar hak orang lain. selain di Indonesia, kebebasan beragama atau berkeyakinan juga menjadi perjuangan internasional. Hal ini dapat terlihat jelas pada perjuangan Perserikatan Bangsa-bangsa dan para tokoh pejuang HAM di dunia. Misalnya dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menegaskan bahwa semua hak yang ada di dalam DUHAM tersebut dinikmati oleh semua orang tanpa membedakan agama atau keyakinan yang dianutnya. Tentu saja perjuangan internasional ini menjadi perjuangan kita bersama. Pluralisme akan tetap ada tetapi semangat untuk senantiasa menjaga persatuan di tengah pluralisme harus tetap ada agar kesejahteraan umum dapat tercapai di bumi kita tercinta ini

                    Akhirnya, kita semua harus menyadari bahwa kebebasan beragama atau berkeyakinan pada dasarnya adalah bagian dari kebebasan berpikir dan kebebasan suara hati. Hak ini mencakup kebebasan setiap orang untuk memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan. Namun pada tingkatan tertentu kebebasan beragama atau berkeyakinan memiliki batasan dengan pertimbangan bahwa kebebasan beragama atau berkeyakinan akan dibatasi jika kebebasan beragama atau berkeyakinan tersebut mengganggu keteraturan umum. Hal ini harus dilakukan karena demokrasi modern berpijak pada sebuah postulat normatif  tentang kebebasan individual yang setara bagi semua orang (Otto Gusti, 2017:117). Pernyataan ini menunjukan bahwa dasar pijak sebuah keadilan terletak pada pengakuan akan adanya induvidu lain atau kelompok lain dengan segala keunikannya. Dengan kata lain kita boleh mengatakan bahwa setiap agama kiranya memberikan justifikasinya masing-masing (meskipun berbeda) sekaligus percaya bahwa agama lain mendukung penuh HAM kebebasan beragama atau berkeyakinan. Namun perlu digarisbawahi bahwa, sikap saling percaya yang dimaksud di atas mengandaikan setiap agama harus mengenal dan memahami tradisi normatif agama lain. Agama yang sesungguhnya adalah agama yang memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan penghormatan tanpa syarat terhadap martabat manusia. Dengan demikian, segala instrumen yang berhubungan dengan kebebasan beragama atau berkeyakinan oleh negara harus benar-benar menjamin adanya keadilan yang dapat menjadi landasan-landasan sebagai pertimbangan dalam upaya memberi batasan-batasan terhadap berbagai kemungkinan yang dapat menimbulkan kontroversial di dalam suatu ruang sosial yang multireligius.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun