Barangkali, saya di antara sekian mahasiswa yang, memiliki keserupaan nasib sama. Memikirkan bagaimana caranya membayar UKT di masa-masa sulit macam begini, sembari menyelesaikan tugas yang menumpuk dan was-was dengan wabah Covid-19 yang tak selesai. Kira-kira itu yang terlintas dalam bayangan saya hingga hari ini.
Percakapan via WAG antar mahasiswa yang saya ikuti pun berbicara perihal yang sama. Uang UKT masih belum menunjukkan tanda-tanda akan terjadi penurunan. Bahkan, ada yang mengecap bahwa menteri pendidikan kita tak pernah tahu kehidupan mahasiswa yang, penghasilannya ditentukan melalui pekerjaan serabutan.
Saat diangkatnya Nadiem Makarim menjadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan, di saat itu juga saya percaya CEO Gojek (dulu) itu adalah representasi pejabat publik yang berhaluan radikal dan progresif seperti mahasiswa kere hore macam saya. Beliau, minimal, mengerti bahwa uang kuliah tunggal (UKT) masih tajam ke atas dan berniat untuk menurunkan tarif tersebut agar banyak orang tua nyaman mengkuliahkan anaknya dimanapun saja.
Dalam salah satu gebrakan kebijakan yang akan dilakukan oleh mas Nadiem (sapaan akrab saya kepada beliau) di awal-awal kepemimpinannya adalah, memberikan peraturan baku kepada universitas se Indonesia Raya agar UKT juga bisa dijangkau oleh siapapun. Kira-kira begitu. Ya, meski selama 7 bulan kepemimpinannya, kebijakan paling populis hanya tentang Kampus Merdeka, entah apa maksudnya.
Namun, harapan bahwa mas Nadiem sebagai "sang liyan" mahasiswa kere hore tak menampakkan ujungnya. Sosoknya, tidak seperti yang digembar-gemborkan selama ini di media. Intinya sama saja. Ketika sudah menjadi pejabat publik, semua orang lupa bahwa pajak yang kita bayarkan tidak digunakan sebagaimana mestinya. Atau digunakan ke dalam peruntukan lain, yang itu juga gak berguna di kehidupan masyarakat yang masih bergantung kepada subsidi pemerintah.
Buktinya, selama tiga hari berturut-turut, melalui dunia twitter, mas Nadiem dicari-cari mahasiswa bukan BuzzerRp tentunya. Mereka menggaungkan hastag bermacam-macam. Mulai dari #Nadiemdimana, #NadiemManaMahasiswaMerana dan semacamnya. Hahaha. Selanjutnya, isu itu tetap berkembang dan menjalar ke kampus-kampus islam negeri seperti Uin Sunan Gunung Jati dan Uin Sunan Kalijaga.
Namun, setelah ditunggu-tunggu, tidak ada satupun jejak digital ataupun cetak, mas Nadiem menanggapi isu tersebut. setidaknya, memberikan statemen agar mahasiswa tenang menghadapi wabah dan pembayaran uang kuliah tunggal.
Itu bukti sederhana, bahwa mas Nadiem menutup mata terhadap hajat hidup orang banyak. Meski ukuran kepatutan seorang pejabat publik tidak melulu variabelnya melalui media sosial, setidaknya, setelah beliau mendaku sebagai kaum milineal, mau tidak mau ya harus sadar media juga pastinya. Coba kalau beliau responsif seperti Ganjar Pranowo atau Ridwan Kamil, pasti banyak mahasiswa (yang) sudah mengelu-elukan namanya. Tapi, ya begitu, mbuh karena apa, sikap eletisnya mulai menampakkan wajah aslinya.
Lanjut. Di saat masa-masa sulit macam begini, mbok ya dipertimbangkan bagaimana UKT dikurangi. Baik itu untuk mahasiswa S1 maupun S2 dan S3. Apalagi, UKT anak S2 yang naudzubillah min dzalik mahalnya. Dan, hidup di kota yang menjadi ibu kota kedua negara tercinta ini. Ya, Surabaya.Â
Duh. Rasanya dilematis antara harus menyesal atau ketawa meringis melihat beberapa saat lagi akan membayar tanggungan SPP. Mengingat, Surabaya juga sudah masuk kategori hitam legam atau merah pekat sebagai penyalur kasus Covid-19 terbaik se Jatim. Apes.
Untuk itu, jika mas Nadiem membaca tulisan ini, mbok ya tolong direnungkan ratapan anak bangsa ini. Sekali lagi, buatlah aturan agar uang SPP ini diundur atau dikurangi alias disubsidi.Â