Di balik ketenangan Desa Banjarsari yang kita kenal hari ini, tersimpan kisah panjang tentang bagaimana desa ini terbentuk dan berkembang. Sejarah Banjarsari bermula dari sebuah gagasan penyatuan beberapa dusun terpisah yang diinisiasi oleh Hasan Mertodiwirdjo pada tahun 1920. Berawal dari lima dusun yang tersebar, desa ini kini telah menjadi satu kesatuan yang harmonis dengan empat dusun yang saling bersinergi.
Menurut Dwi Gesti Atmoko, mantan Sekretaris Desa Banjarsari, desa ini tidak hanya menyimpan sejarah panjang, tetapi juga budaya dan tradisi yang terus dijaga oleh masyarakatnya. Dari cerita para sepuh hingga perubahan yang dibawa oleh waktu, Banjarsari menjadi contoh bagaimana sebuah desa mampu bertahan dan berkembang meski menghadapi berbagai tantangan.Â
Dwi Gesti Atmoko juga menjelaskan bahwa awalnya Banjarsari terdiri dari lima dusun. Namun, dengan adanya aturan pemerintah, jumlah dusun di Desa Banjarsari berubah menjadi empat, yang mana Dusun Kandren dan Padudan digabung menjadi satu. Perubahan ini merupakan bagian dari upaya untuk menyesuaikan desa dengan perkembangan zaman, sambil tetap menjaga keutuhan dan keharmonisan.
Sejarah Awal Desa Banjarsari
Menurut cerita para sepuh, Banjarsari awalnya terdiri dari beberapa dusun yang masing-masing dipimpin oleh lurah atau kepala desa sendiri. Pada tahun 1920, Hasan Mertodiwirdjo memimpin dan menyatukan dusun-dusun tersebut menjadi Desa Banjarsari. Nama Banjarsari sendiri berasal dari kondisi geografis desa yang terdiri dari daerah-daerah yang berdekatan atau berbanjar.Â
Kehidupan Awal Masyarakat Banjarsari
Pada awal berdirinya, kehidupan sehari-hari penduduk desa Banjarsari sangat sederhana. Mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani, namun kegiatan bertani juga sulit dilakukan karena masih dalam masa penjajahan. Jumlah penduduk saat itu masih sedikit dan kemudian bertambah seiring banyaknya orang yang merantau ke desa ini.
Terdapat beberapa tradisi lama yang masih dijalankan oleh masyarakat. Contohnya, tradisi untuk memperingati kelahiran dan kematian. Ada juga tradisi sedekah bumi yang merupakan bentuk selamatan bumi, serta sesajen di tempat-tempat tertentu yang masih dilakukan hingga sekarang.
Peran Pekunden dalam Pertanian
Para Pekunden, yang sebenarnya adalah pendatang, memainkan peran penting dalam mengembangkan ilmu pertanian di Desa Banjarsari. Salah satunya adalah prajurit Pangeran Diponegoro yang berubah nama dan menetap di desa ini. Mereka mengajarkan cara bercocok tanam dan peternakan yang masih tradisional kepada masyarakat.
Tantangan di Sektor Pertanian
Salah satu tantangan utama pada awal berdirinya desa Banjarsari adalah sektor pertanian. Alat-alat pertanian yang digunakan masih terbatas dan air untuk irigasi hanya mengandalkan air hujan. Pembuatan saluran irigasi juga menjadi tantangan besar yang akhirnya bisa diselesaikan secara gotong royong oleh masyarakat. Saluran irigasi saat itu belum permanen, hanya disasak dan diberi batu-batu. Komoditas yang ditanam pun masih sebatas jagung, berbeda dengan sekarang yang bisa menanam padi.
Pendidikan di Desa Banjarsari
Pada tahun 1920, saat desa baru didirikan, belum ada sekolah di Desa Banjarsari. Pendidikan baru mulai ada setelah era kemerdekaan dengan adanya Sekolah Rakyat yang kemudian berkembang menjadi Sekolah Dasar. Pada tahun 1950-an, Lurah Sunyoto mendirikan Sekolah Rakyat sebagai bentuk bantuan pendidikan. Namun, karena rusak dan tidak terawat, akhirnya sekolah tersebut di-rebranding menjadi sekolah negeri.
Perubahan Wilayah dan Penggunaan Lahan
Secara wilayah, Desa Banjarsari tetap sama. Namun, fungsi wilayahnya berubah dari era lama ke era baru. Dulu, hampir 100% masyarakatnya adalah petani, sehingga lahan pertanian lebih banyak. Seiring perkembangan zaman, pemukiman bertambah, dan dibangunlah kantor desa, sekolah, serta perumahan.Â
Sekarang, masyarakat Banjarsari tidak hanya berfokus pada pertanian. Banyak yang bekerja di luar desa sebagai karyawan kantoran, pabrik, atau pekerjaan lain. Pemuda desa sekarang lebih banyak bekerja di pabrik dibandingkan menjadi petani, berbeda dengan zaman dahulu ketika upah buruh petani diatur oleh desa.
Dwi Gesti Atmoko berharap agar sejarah dan tradisi Desa Banjarsari terus dilestarikan, meskipun desa ini telah mengalami banyak perubahan seiring perkembangan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H