Seorang guru agama memegang peran besar pendidikan masyarakat sejak dini. Hampir semua golongan manusia khususnya di Indonesia, selalu menekankan ajaran agama sejak dini sebagai landasan awal ideologi pemikiran sang anak. Lebih dalam lagi pada masyarakat yang masih memiliki pemikiran konservatif, guru agama adalah tempat untuk menemukan segala jalan keluar perkara di dunia maupun akhirat.Omongan mereka dipahami, dimengerti, dan juga dipercayakarena memiliki unsur secara langsung kepada Tuhan yang menciptakan segala bentuk kehidupan di alam semesta.Di Indonesia, khususnya mengenai kehidupan agama Islam, orang yang memiliki ilmu berlebih dalam agama biasa disebut Ustad oleh orang awam. Adapula yang menyebut Mualim, Kiyai, dan sebutan lainnya berdasarkan perbedaan geografis dan tingkat pengetahuan ilmu agama yang dimiliki sosok Ustad tersebut. Karena sangat dipercaya, tak ayal lagi ucapan yang diutarakan oleh para Ustad menjadi sebuah obat luka hati yang ampuh bagi para masyarakat yang memiliki kegundahan hati dan memiliki hati yang sempit.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia terdapat unsur peran Ustad atau Kiyai yang mengobarkan semangat jihad kepada masyarakat agar melawan bangsa asing yang masuk untuk menjajah negeri ini. Sebagai contoh, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, KH Agus Salim, KH Noer Ali dan masih banyak Ustad atau Kiyai daerah yang namanya tidak pernah dicetak di buku sejarah nasional Indonesia. Mereka dengan mudah mengundang massa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, dikarenakan suara mereka murni dan masyarakat muslim melihat bahwa para Ustad tidak pernah mengambil keuntungan dari apa yang mereka perbuat. Bila dibandingkan dengan kekuatan mereka menarik simpati massa, hal ini miris dengan persentase seorang Ustad yang menceburkan dirinya di ranah politik saat ini yang berbanding jauh dengan para intelektual, yang menurut asumsi dikatakan bahwa mereka tidak ingin "mengecewakan Jamaah". Hal ini bisa juga diketahui dari fakta yang terjadi disekitar tempat tinggal Penulis. Tempat tnggal penulis adalah sebuah daerah perkampungan yang sangat kental unsur Islam di dalamnya. Di daerah ini Penulis menemukan fenomena yang unik mengenai seorang Ustad. Pada kampanye Pemilu legislatif 2014 lalu, yaitu ada seorang Ustad yang memberikan pengajaran Al-quran secara privat kepada seorang anak calon legislator suatu partai. Karena kedekatan dengan seorang calon legislator yang hanya sebatas guru pengajian untuk anaknya ini, namanya mencuat dikalangan masyarakat sebagai tim sukses orang tersebut. Karena hal ini, kontan Ustad ini mendapatkan prasangka yang buruk oleh masyarakat, dikucilkan dan menjadi jarang muncul di mata masyarakat. Masyarakat setempat melihat hal ini dengan mata yang hanya melihat secara garis besar kejadian tanpa menelusuri fakta yang terjadi di dalamnya. Kenyataan yang terjadi sebenarnya adalah Ustad tersebut hanya sebagai guru ngaji, dan memang tidak pernah membantu kegiatan kampanye caleg tersebut. Namun opini masyarakat perkampungan dengan kekuatan Islam yang kuat dan memiliki spiral of silence di dalamnya, mengantarkan Ustad ini kearah yang negatif.
lain halnya mengenai seorang figur Islam nasional-internasional, yaitu Habib Rizieq Syihab, yang memiliki kekuatan jejaring massa yang sangat kuat. Suaranya didengar di komunitas Islam tertentu di Indonesia maupun di luar negeri. Pada saat Pemilu legislatif menjelang beberapa hari, Habib Rizieq menyerukan kepada jamaah Islam di seluruh Indonesia agar memilih pemimpin yang memiliki landasan dan memperjuangkan Islam serta tidak memperbolehkan golput. Salah satu pesan yang disampaikan oleh beliau, “Jika tidak ada caleg Syariah yang kita kenal, baik tentang iman, Islam dan ihsannya, maka pilihlah jenis partainya yaitu partai Islam”, yang dikutip dari pesan broadcast message BBM yang diringkas dari ceramah Habib Rizieq oleh salah satu jamaah yang menghadiri pengajian mingguan tersebut. Hal ini menjadi salah satu indikasi yang cukup berpengaruh pada hasil Pemiliu legislatif lalu, karena partai Islam yang sebelumnya diprediksikan akan jatuh, dikarenakan kehilangan ketokohan sentral, malah mendapatkan suara yang lumayandengan PKB yang bercokol di peringkat ke-lima yang memiliki selisih persentase 0,61% mendekati peringkat ke-4 yaitu Partai Demokrat berdasarkan hasil quick count.
Beda hal lagi dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto yang melakukan pendekatan ke masyarakat muslim Indonesia melalui foto yang beredar bersama seorang ulama besar dari Yaman yang sangat dikenal dikalangan Islam mahzab Imam Syafi’i yang konon merupakan mahzab yang mayoritas dalam ajaran Islam di Indonesia. Dalam foto tersebut Prabowo yang mengenakan setelan jas berdiri berdampingan dengan sosok Habib Umar bin Hafidz yang dikenal sebagai tokoh suci dan seorang wali Allah oleh masyarakat muslim Indonesia. Namun berbeda dengan kasus Ustad kampung yang sudah diutarakan diatas. Habib Umar tidak mendapatkan persepsi negatif dimata umat karena Integritas ke-ulamaan sang Habib sudah dipandang baik sejak dulu dengan tidak berurusan dengan kegiatan yang berhubungan duniawi.Malah Prabowo yang dicap masyarakat dalam hal foto tersebut, sebagai sebuah strategi pencitraan untuk memenangkan hati pemilih.“Habib Umar itu orang baik, siapa saja yang mau foto sama beliau pasti dipersilahkan”, kata Fahrurrozi, seorang Ustad muda yang memang kagum dengan sosok Habib Umar bin Hafidz. Prabowo juga menggunakan pendekatan lain kepada masyarakat muslim Indonesia dengan cara berkunjung ke pesantren-pesantren. Jokowi pun pernah melakukan hal yang hampi serupa pada saat dirinya mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta, yaitu menjenguk almarhum Habib Munzir, pemimpin Majelis Rasulullah SAW pada saat beliau masih hidup.
Dari fakta-fakta yang dikemukakan diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Politik selalu berhubungan dengan unsur keagamaan dan dampaknya tidak bisa dipisahkan. Ustad atau tokoh agama menjadi figur yang strategis untuk dijadikan pendongkrak nilai sebuah citra. Hal ini memang sangat bersebrangan, karena disatu sisi politik adalah untuk memenangkan kekuasaan, di sisi lainnya agama khususnya Islam selalu mengajarkan untuk tidak mengumbar nafsu kekuasaan karena akan berujung kekacauan. Di satu sisi politik adalah ajang mencalonkan diri dan mempertontonkan janji, namun di sisi lain Islam mengajarkan bahwa pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar di mata Tuhan. Keadaan tersebut dapat menjawab sementara pertanyaan kenapa para pemuka agama dalam hal ini Ustad atau Kiyai kurang tertarik untuk menceburkan diri ke dalam ladang politik praktis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H