Mohon tunggu...
Gaston OttoMalindir
Gaston OttoMalindir Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia

"Teruslah menjadi si Bodoh yang haus akan Ilmu"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kontrak Sosial Ala Rousseau

21 Oktober 2023   11:12 Diperbarui: 21 Oktober 2023   11:14 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku I

Pada bagian pertama buku ini, Rousseau memulainya dengan pembahasan tentang "Masyarakat Pertama". Rousseau mengatakan bahwa masyarakat yang paling awal dan satu-satunya yang alami adalah keluarga (Rousseau, 1986:6). Hal ini digambarkan Rousseau bahwa ikatan yang terbangun dalam keluarga antar anak dan orang tua dibangun atas dasar rasa aman (perlindungan) yang secara tidak langsung bersifat terikat.

Keterikatan antar anak dan orang tua ini pada akhirnya akan berakhir ketika anak sudah tidak tinggal lagi dengan orang tuanya dan menjalani hidupnya sendiri. Oleh karena itu pada bagian ini juga Rousseau menyebutkan bahwa keluarga menjadi modal pertama bagi masyarkat politik. Rousseau pada bagian ini membandingkan "Kepuasan" antar ikatan dan keluarga dengan negara memiliki perbedaan yang signifikan. Kepuasan dalam keluarga dirasakan oleh seorang anak karena kasih sayang dari pihak ayah yang menghasilkan kesadaran yang bermanfaat bagi anak dan sebaliknya anak pun akan membalas budi kepada sang ayah yang telah memeliharanya. Sedangka dalam negara, kepuasan memerintah telah menggantikan yang tidak dimiliki oleh penguasa terhadap rakyatnya.

Pada bagian selanjutnya, Rousseau menjelaskan terkait keadilan bagi mereka yang terkuat. Ia menyebutkan bahwa "Golongan yang terkuat tidak akan pernah merasa cukup kuat untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya secara mulus, terkecuali mereka menemukan cara untuk merubah kekuatan menjadi hak dan ketaatan menjadi semacam kewajiban" (Rousseau, 1986:8).

Disebutkan bahwa apabila ini terjadi (kukuatan menjadi hak) maka akibat telah berubah menjadi sebab. Pada kondisi ini, orang-orang yang dikuasai akan menaati segala sesuatu yang diperintah bukan berdasarkan pada hakekat ketaan yang sebenarnya melainkan atas dasar kenyataan untuk menyerah pada kekuatan. Disebutkan juga bahwa aturan yang dibuat atas dasar kekuatan memang baik, namun berlebihan sifatnya karena tidak akan pernah atau bisa dilanggar.

Pada bagian selanjutnya dijelaskan mengenai perbudakan yang terjadi, yang melibatkan raja dan hambanya. Dijelaskan bahwa meskipun terdapat keinginan untuk hidup bebas, namun seorang hamba pada akhirnya tidak terbebas di bawah kekuasaan seorang raja. Seorang hamba memberikan dirinya dan apa yang ia punya untuk raja sehingga kehidupan raja menjadi lebih baik dan hambanya tetap pada keadaan yang tidak menguntungkan. Dalam hubungan yang terbangun antar raja dengan hambanya inilah perbudakan secara tidak langsung terjadi. Grotius menyebutkan bahwa sebelum mereka memberikan dirinya kepada raja, mereka itu adalah masyarakat. Maka pemberian diri kepada raja itulah adalah perjanjian sipil dan dianggap sebagai konsultasi umum.

  Disebutkan bahwa perbudakan juga terjadi salah satunya sebagai konsekuensi pasca perang seperti yang dikatakan oleh Grotius (Rousseau, 1986:110). Hasil dari perang yang terjadi memberikan hak bagi pemenang perang untuk membunuh musuh yang ditaklukan, dan yang kalah memperoleh kehidupannya dengan jalan mengorbankan kebebasannya. Dengan begitu maka ada keadaan "keterpaksaan" dari mereka yang kalah untuk memberikan hidupnya sebagai budak bagi pemenang perang. Meskipun demikian namun Rousseau mengatakan bahwa hak "Perbudakan" tidak mempunyai suatu dasar. Hal ini tidak dapat dibenarkan sama sekali karena arti dari kata "perbudakan" dan "hak"saling bertentangan dan saling meniadakan.

Pada bagian berikutnya tentang "Kesepakatan Sosial" disebutkan bahwa manusia dalam keadaan alami akan menghadapi krisis bilamana kekuatan setiap individu tidak lagi mampu mengatasi kendala dalam menjaga dirinya. Oleh karena itu menurut Rousseau bahwa satu-satunya jalan untuk mempertahankan diri adalah dengan membentuk kesatuan kekuatan dengan menghimpun diri dalam satu tubuh yang dapat digerakan untuk bertindak bersama-sama agar dapat mengatasi segala kendala dan hambatan yang terjadi. Persatuan kekuatan ini harus dihasilkan oleh kesepakatan orang banyak yang kemudian dinamakan dengan "Kesepakatan Sosial". Selanjutnya kesepakatan sosial ini berlanjut pada pemindahan dari setiap anggota asosiasi beserta semua haknya kepada komuniti karena setiap individu memberikan diri sepenuhnya hingga kondisi tiap pribadi menjadi sama maka inilah yang kemudian dinamakan kontrak sosial.

Selanjutnya kesatuan kekuatan dari masing-masing individu ini kemudian mencerminkan adanya persatuan dan kesamaan pribadi yang kemudian disebut dengan "kota" (dulu) dan "republik' atau "negara hukum" (sekarang). Istilah ini juga yang kemudian diartikan sebagai kumpulan manusian dalam suatu negara. Hal ini oleh para anggotanya disebut "negara" bila pasif sifatnya, dan disebut, "penguasa" bila bersifat aktif.

Perubahan dari masyarakat alami (state of nature) menjadi masyarakat sipil (civil state) menghasilkan pula perubahan yang sangat besar pada manusia, yaitu menggantikan perilaku berdasarkan naluri dengan azas keadilan serta memberikan suatu watak moral (moral character) bagi tindakannya yang tidak mereka miliki sebelumnya. Yang dapat digunakan sebagai basis dari seluruh sistem sosial, yaitu sebagai pengganti hapusnya persamaan hak alami dari umat manusia. Persetujuan fundamental telah mengubah ketidaksamaan fisik yang telah ditetapkan oleh alam diantara manusia dengan persamaan hak secara hukum dan moral.

Buku II

Pada bagian kedua mengenai kedaulatan yang tak dapat dicabut, Rousseau mengatakan bahwa yang paling penting dari beberapa prinsip yang ditetapkan ialah hanya kehendak umum (general will) yang dapat mengatur kekuatan negara dengan cara yang disetujui untuk mencapai tujuan akhir lembaga itu, yakni kebaikan Bersama (Rousseau, 1986:22). Oleh karena itu ia menegaskan bahwa; kedaulatan sebagai pelaksana kehendak umum tidak pernah dapat memindahkan haknya sendiri, dan penguasa hanya berbentuk badan kolektif tidak dapat diwakili selain oleh dirinya sendiri: kekuasaan (power) boleh diserahkan tetapi kemauan (will) tidak.

Selanjutnya Rousseau mengatakan bahwa kedaulatan tidak dapat dicabut, begitu juga tidak dapat dibagi. Baik kehendak umum maupun kehendak pribadi, keduanya adalah kehendak seluruh lembaga rakyat atau Sebagian dari padanya. Kesalahan yang terjadi muncul karena tidak memiliki gagasan terperinci yang membentuk otoritas penguasa. Kelanjutan dari yang telah diuraikan bahwa kehendak umum itu selalu benar dan menguntungkan umum. Meskipun acapkali terdapat banyak perbedaan antara kehendak semuanya dan kehendak umum.

Rousseau menyebutkan dalam bukunya bahwa batas kekuasaan penguasa terletak pada hak individu yang dimiliki oleh masyarakatnya. Mereka memberikan kebebasannya dan haknya secara kolektif berdasarkan kesepakatan bukan didasarkan pada keinginan individu. Oleh karena itu maka kesepatakan sosial (social compact) menetapkan diantara warga negaranya suatu persamaan bahwa mereka semua terikat pada perjanjian di bawa kondisi yang sama dan semua akan menikmati hak yang sama.

Disebutkan bahwa setiap orang memiliki hak atas hidup dan matinya dan tidak untuk dihakimi atau dipersalahkan. Oleh karena tujuan akhir dari perjanjian sosial adalah memelihara kelangsungan beberapa kelompok yang sedang mengadakan ikatan perjanjian. Siapa pun yang ingin menikmati tujuan akhir itu harus bersedia memikul berbagai resiko, bahkan berbagai bahaya yang tidak terpisahkan dari cara untuk mencapai tujuan itu. Rousseau juga mengatakan bahwa di dalam suatu negara dengan pemerintahan yang baik dijumpai hanya sedikit hukuman yang dijatuhkan. Hal ini bukan karena dinegeri itu berlaku banyak pengampunan yang diberikan kepada si terhukum, tetapi karena hanya terdapat sedikit jumlah kejahatan yang terjadi.

Dengan kesepakatan sosial kita telah memberikan eksistensi serta hidup kita pada negara hukum, dan sekarang tinggal memberikan padanya saran serta kehendak untuk menetapkan perundang-undangan. Tidak dapat diragukan lagi bahwa keadilan bersifat universal sehingga hanya bersumber pada pertimbangan sehat. Jika kemudian terbentuk suatu hubungan, ini hanyalah satu hubungan dari keseluruhan objek dari satu titik pandang terhadap seluruh objek dari titik pandang yang lain dan keseluruhan itu sendiri tidak terbagi-bagi. Kemudian suatu yang mereka perankan adalah umum seperti halnya kehendak yang memerankan itu. Tindakan inilah yang oleh Rousseau disebut "hukum" (law).

Buku III

Dalam buku ini selanjutnya Rousseau membagi pemerintahan ke dalam dua bentuk yakni legislatif dan eksekutif. Meskipun demikian, ia mengatakan bahwa hanya kekuasaan legislatiflah yang menjadi milik rakyat dan hanya dapat dimiliki oleh lembaga itu. Hal ini dikarenakan dasarnya sudah ditetapkan, maka sebaliknya mudah dilihat bahwa kekuasaan eksekutif tidak bisa menjadi kekuasaan umum sebagaimana pembuat undang-undang atau penguasa.

Dikatakan bahwa di dalam pemerintahanlah didapatkan kekuasaan perantara yang menjadi penghubung dari keseluruhan pada keseluruhan atau dari penguasa dengan negara. Suatu pengaturan pemerintah yang absolut dan unik tidak akan baik bagi setiap negara. Dalam skala kecil adalah pemerintah dan dalam skala besar adalah negara hukum.

Pada bagian ini disebutkan bahwa apabila pada akhirnya kehendak perorangan dari pangeran menjadi lebih efektif daripada kehendak penguasa, dan kekuatan umum yang berada di tangannya digunakan untuk memaksa timbulnya ketaatan pada kehendak perorangannya, munculkan kemudian dua penguasa: yang satu hak dan yang lain dalam kenyataan. Pada saat itulah kesatuan sosial menjadi sirna dan negara hukum pun menjadi bubar.

Rousseau menyebutkan bahwa dalam perbandingan pemerintah menjadi lemah dengan melipatgandakan jumlah hakim, dan saya sudah membuktikan bahwa kekuasaan untuk mengendalikan harus ditingkatkan bila penduduk menjadi lebih banyak. Dari sini menyusul bahwa perbandingan antara hakim dan pemerintah harus tepat sesuai dengan titik balik dari perbandingan antara subjek dengan penguasa.

Penguasa dapat melaksanakan tanggung jawab pemerintah terhadap seluruh rakyat atau Sebagian besar rakyat, dengan suatu cara sehingga terdapat lebih banyak hakim-warga dibandingkan dengan warga secara perorangan. Bentuk pemerintahan seperti itu disebut "Demokrasi". Sebaliknya, penguasa dapat pula membatasi pemerintah ditangan sejumlah kecil orang sehingga terdapat lebih banyak warga negara perorangan dibandingkan dengan para hakim. Yang mana bentuk pemerintahan seperti ini oleh Rousseau dinamakan "aristokrasi". Akhirnya, seluruh pemerintah terkonsentrasi di dalam tangan seorang hakim dari mana semua hakim lain akan memperoleh kekuasaannya. Ini merupakan bentuk yang paling umum yang dikenal dengan nama "monarki" atau "pemerintah Kerajaan".

Demokrasi menghimpun semua rakyat atau dibatasi separuhnya saja. Aristokrasi mengikutsertakan separuh penduduk, atau hanya terpusat dalam jumlah yang kecil dan tidak dapat dipastikan. Bahkan bentuk Kerajaan pun bisa terbagi.  Bilamana perlu agar di dalam negara jumlah hakim tertinggi berbanding terbalik dengan jumlah warga negara, maka sebagai akibatnya pemerintah demokratis adalah yang paling sesuai dengan negara kecil; bentuk Aristokrasi untuk negara yang sedang besarnya; dan bentuk monarki untuk negara yang besar.

Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan yang paling baik adalah kekuasaan legislatif dan eksekutifnya menyatu. Bagi kekuasaan yang membuat hukum, adalah tidak baik untuk melaksanakannya juga, dan juga tidak baik bila lembaga rakyat memalingkan mata dari pandangan umum dan menyerahkan pada objek khusus. Dikatakan juga bahwa tidak ada yang lebih berbahaya dari kepentingan pribadi yang mempunyai pengaruh atas segala urusan umum, dan penyalagunaan hukum oleh pemerintah merupakan kejahatan yang lebih kecil dibandingkan dengan kecurangan para pembuat undang-undang yang menjadi konsekuensi sempurna dari pandangan perorangan.

Jika menggunakan kata "Demokrasi" dalam artian yang tepat, mungkin tidak ada atau tidak pernah ada yang menghendaki eksistensi pemerintah seperti itu. Karena hal ini dianggap bertentangan dengan norma alami yang wajar, maka jumlah yang besar akan memerintah dan yang lebih sedikit diperintah. Rousseau menyebutkan dalam bukunya bahwa pemerintah yang mutlak menganggap dirinya terbaik adalah pemerintah yang dapat meningkatkan jumlah warganya serta melipatgandakannya, asal saja segala sesuatunya sama, tanpa menggunakan peralatan ekstern apapun, tanpa naturalisasi orang-orang asing dan tanpa menerim penduduk baru serta warga negara bertambah dan berlipat ganda.

Buku IV

Pada bagian pertama buku ini, Rousseau menyebutkan bahwa kehendak umum tidak dapat dihancurkan atau dikorupsi, karena pada dasarnya kehendak umum itu akan selalu tetap konstan, tidak dapat diubah dan senantiasa murni. Namun demikian disebutkan bahwa, kehendak umum dapat ditempatkan lebih rendah dari kehendak lain yang mendominasinya.

Semua uraian yang terdahulu jelas mengungkapkan bahwa cara menghantarkan permasalahan umum merupakan kriteria paling baik untuk menilai moralitas serta kesejateraan negara hukum. Dalam perbandingan pada derajat persesuaian yang berlaku dalam majelis yaitu semakin opini mendekati kebulatan suara; kehendak umum akan semakin dominan; sementara kegaduhan, percecokan dan perdebatan yang berkepanjangan mewarnai pengaruh kekuasaan kepentingan pribadi dan situasi negara yang sedang menurun.

Pada tindakan lain yang lebih hebat dari lingkaran tersebut, kebulatan suara menyatakan dengan resmi: warga negara kemudian begitu tenggelam kedalam perhambaan sehingga mereka tidak mempunyai kebebasan atau kehendak apapun. Ketakutan serta bujukan kemudian membuat mereka mengubah suaranya ke dalam suara aklamasi. Mereka kehilangan keberanian untuk berbicara, sebaliknya mereka justru memuja dan mengutuknya.

Rousseau pada bagian ini menyebutkan bahwa hanya terdapat satu hukum yang menghendaki persetujuan dengan suara bulat. Dalam hubungan tersebut yang ia maksudkan ialah kesepakatan sosialnya karena persentuhan sosial sipil adalah yang paling sukarela dari semua Tindakan. Jika sekiranya ada seseorang yang melawan kesepakatan sosial, maka perlawanan mereka itu tidak diartikan kesepakatan sosial tadi sebagai Tindakan syah, tetapi hanya merintanginya, termasuk orang-orang asing yang terdapat diantara para warga negara.

Ia juga menyebutkan bahwa kelompok oposisi sebenarnya tidak dapat bebas bilamana mereka tunduk pada hukum, karena pada dasarnya mereka tidak pernah mengizinkan atau menyetujui terhadap hukum itu. Kondisi ini oleh Rousseau disebut sebagai masalah yang tidak disebutkan secara jujur, karena warga negara mengizinkan atau menyetujui pada semua hukum yang telah disahkan meskipun terdapat oposisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun