"Pada 1847 (Too Kong tahun ke-27 Teng Bie Shio Yo) tanggal 9 Oktober timbul gempa bumi besar, selama 5-6 hari sehari semalam bumi bergetar 5-6 kali. Sebagian besar rumah-rumah hancur luluh."
Lalu pada tahun 1859, 1874, dan 1882 Â sempat terjadi wabah kolera yang membahayakan:
"Pada 1859 (Ham Hong tahun ke-9 Kie Bie Shio Yo) berjangkit penyakit kolera yang membahayakan. Toapekong Jamblang diedarkan sekitar tempat itu, lalu lenyaplah penyakit itu."
(Catatan-catatan tersebut dapat dibaca pada link berikut ini)
Sebelum saya berpamitan, Ibu Yani bercerita bahwa ternyata ia juga berjualan kue tradisional untuk menyambung hidupnya. Pada pagi hari ia akan membuat kue dibantu oleh suaminya, dan setelah itu Ibu Yani berjalan berkeliling kampung untuk berjualan, sedangkan suaminya menjaga kelenteng.Â
Kue yang dijual berbeda setiap harinya, kebetulan pada hari itu kue yang dibuat adalah kue ku atau kue kura-kura, dan di sampingnya juga ada plastik-plastik berisi sup baso yang akan ikut dijajakan.Â
Saya membeli lima buah kue ku yang harganya dipatok Rp2.500 per buah. Tekstur kulitnya kenyal dan agak tebal, tetapi isi kue mengejutkan saya. Selama ini, kue ku yang saya santap biasanya berisi kelapa parut manis atau kacang hijau kupas, tetapi kue ku buatan Ibu Yani ternyata berisi campuran serundeng gurih dengan kacang hijau kupas.Â
Rasanya menjadi dominan asin dengan jejak rasa manis dan aroma rempah yang samar. Unik dan belum pernah saya temukan sebelumnya, mungkin inilah cita rasa kue ku khas Jamblang yang saya nilai enak.
Meski bukan kelenteng megah yang ramai didatangi pengunjung, tetapi Kelenteng Jamblang meninggalkan kesan yang baik di dalam hati saya. Suasananya sangat mendukung untuk beribadah, menghormat kembali kepada para leluhur dan suciwan yang kini mulai ditinggalkan dan dilupakan oleh Tionghoa generasi muda.Â
Selain mengandung nilai sejarah yang kuat, kelenteng ini juga mengandung nilai toleransi antar umat beragama yang patut kita renungi. Coba bayangkan, ternyata salah satu kelenteng tertua di Cirebon dibangun menggunakan kayu yang sama untuk membangun Masjid Agung Cipta Rasa yang merupakan masjid terbesar di Cirebon; kapan lagi bisa ada harmoni seperti ini?
Semoga kelenteng ini tetap lestari dan menjadi salah satu saksi bisu peradaban yang pernah ada di wilayah Jamblang.