Mohon tunggu...
Garvin Goei
Garvin Goei Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Akademisi, Penyuka Budaya

Penulis buku Psikologi Positif yang diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2021. Pengelola akun instagram @cerdasmental.id. Selain psikologi, suka mempelajari budaya dan mencoba makanan baru.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sebuah Analisa tentang Kegagalan Membentuk Habit di 2022

3 Desember 2022   09:00 Diperbarui: 3 Desember 2022   09:00 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: lukasbieri (https://pixabay.com/photos/youtuber-blogger-screenwriter-2838945/)

Saat tulisan ini dibuat, kurang dari 1 bulan lagi tahun 2022 akan berakhir dan memasuki tahun 2023. Saya sekilas mengenang hal-hal yang sudah terjadi dan sudah saya pelajari pada tahun 2022, salah satu pembelajaran yang banyak saya dapatkan adalah tentang goal setting dan habits (kebiasaan).

Saya sempat mengajar kursus online tentang cara membentuk habits. Beberapa kali saya juga menawarkan topik ceramah tentang habits untuk institusi pendidikan maupun sosial.

Ada satu pertanyaan yang pernah diajukan oleh salah satu audiens saya,

"Apakah seorang Garvin bisa gagal dalam membentuk habit?"

Jawaban saya, dengan cepat dan jelas, "Ya pernah, dong! Saya kan juga manusia, hehehehe..."

"Apa, tuh?"

"Misalnya, saya masih belum berhasil rutin meng-upload video di channel Youtube saya."

Silakan buka channel Youtube saya (https://www.youtube.com/@GarvinGoeiPsikologi) dan Anda akan menemukan bahwa saya sangat tidak konsisten dalam mengunggah video; kadangkala 1 minggu sekali, kadangkala 1 bulan sekali, malah bisa 3 bulan "bolong" baru mengunggah video baru, padahal channel-nya sudah dimonetisasi. Sesuatu yang sangat saya sayangkan, tentunya, tapi hal ini sudah terjadi.


Di akhir 2022 ini, saya pun menganalisa kegagalan saya dalam membentuk habit untuk rutin mengelola channel Youtube saya. 

Biasanya saya lebih suka menganalisa habit menggunakan Fogg Behavior Model, tetapi karena di Indonesia lebih terkenal model Atomic Habits dari James Clear, saya akan menganalisa kegagalan saya berdasarkan model Atomic Habits.

Atomic Habits menyebutkan bahwa ada empat hukum atau kaidah dalam perubahan perilaku, yakni:

(1) Perilaku dibuat jelas,
(2) Perilaku dibuat menarik,
(3) Perilaku dibuat mudah, dan
(4) Perilaku dibuat memuaskan.

Kita akan analisa dari masing-masing poin.

Analisa Pertama: Saya Tidak Jelas dalam Menentukan Jadwal Produksi dan Upload

Mengelola sebuah channel Youtube membutuhkan beberapa proses: meriset topik, menulis skrip, merekam video, mengedit video, kemudian mengunggahnya. Proses ini tidak mudah untuk dilakukan karena membutuhkan waktu dan konsentrasi. Sayangnya, saya seringkali melakukan proses-proses tersebut secara tidak terencana.

Maka, jadilah saya tidak memiliki perencanaan maupun tenggat waktu untuk masing-masing proses. Peristiwa yang kerap terjadi adalah saya tiba-tiba terpikirkan sebuah topik, 1-2 minggu kemudian secara mendadak menulis skrip 5-10 menit sebelum merekam video, kemudian merekam video seadanya tanpa persiapan, lalu mengeditnya 1 atau 2 minggu kemudian lagi, baru mengunggahnya ke Youtube. Benar-benar tidak ada perencanaan.

Walhasil, proses produksi dan upload video saya jadi tidak rutin. Jadinya suka-suka saya, dan tentu saja hasilnya pun "suka-suka nasib".

Hal ini merupakan pelanggaran kaidah pertama dalam Atomic Habits, yakni perilaku yang hendak saya bentuk menjadi habit ternyata tidak jelas. Tidak jelas prosesnya (suka suka saya), dan tidak jelas tenggat waktunya (sesempatnya saya).

Sebagai evaluasi, saya akan mulai membuat jadwal dalam proses produksi dan upload video, misalnya setiap hari Senin meriset topik, hari Selasa dan Rabu menulis skrip, hari Kamis melakukan proses rekaman, hari Jumat dan Sabtu untuk editing dan mengunggah ke channel Youtube. Berarti, tenggat waktunya juga jelas, yakni setiap hari Sabtu harus mengunggah 1 video.

Analisa Kedua: Proses Produksi Video Tergolong Sulit

Merekam sebuah video membutuhkan tempat yang tenang sekaligus nyaman. Pastinya bukan di rumah tempat saya tinggal (rumah orang tua saya), karena terletak di pemukiman yang ramai; setiap beberapa menit sekali selalu ada kendaraan lewat atau pedagang lewat. Suara pedagang tahu bulat dan kentongan tukang bakso sering masuk ke dalam video saya, dan akhirnya tidak jadi saya unggah karena beradu dengan suara ucapan saya. Akhirnya, saya menjadikan rumah saya di Jakarta Barat yang masih kosong dan belum saya tinggali sebagai tempat rekaman.

Tetapi letak rumah saya jauh dari rumah orang tua saya, meski sama-sama berada di Jakarta. Butuh setidaknya perjalanan sekitar 45 menit bila jalanan sedang sepi, atau bisa 1 jam lebih bila jalanan sedang padat (dan jalanan di Jakarta sangat jarang sepi, kecuali tengah malam). Cukup melelahkan bila harus menempuh perjalanan dengan jalanan yang padat.

Selain itu, rumah saya masih kosong; dalam artian tidak ada penghuni dan tidak ada perabotan. Tidak ada tempat duduk, tidak ada meja, bahkan pompa airnya pun mati sehingga kamar mandi tidak dapat digunakan. Jangan heran bila sebagian besar video saya direkam dalam posisi berdiri, karena memang tidak ada meja dan tempat duduk. Walhasil, pengalaman mengunjungi rumah saya (yang kosong) untuk membuat video menjadi tidak mudah, karena tidak ada alat bantu sama sekali.

Hal ini melanggar kaidah kedua dalam Atomic Habits. Perilaku yang ingin dijadikan sebuah kebiasaan hendaknya dibuat mudah, tetapi justru perilaku merekam video yang saya alami malah terasa sulit karena jarak dan alat yang pas-pasan. Tidak heran, saya jadi malas membuat video baru.

Solusinya, saya harus mulai membeli beberapa alat yang mendukung proses rekaman saya. Hal ini sudah saya lakukan: saya sudah memperbaiki pompa air sehingga saya bisa menggunakan kamar mandi (ini penting, terutama bila saya sedang butuh mandi atau buang air), pun saya juga sudah membeli meja dan kursi, sehingga saya dapat merekam video dengan lebih layak.

Soal jarak, ini memang tidak bisa diubah. Tapi saya yakin, dengan kehadiran fasilitas dan peralatan yang layak di "studio rekaman amatir" saya, proses rekaman akan menjadi lebih mudah.

Analisa Ketiga: Proses Produksi Video yang Tidak Menyenangkan

Hampir semua video di channel Youtube "Garvin Goei" saya rekam sendirian. Dan dipikir-pikir, salah satu faktor yang membuat saya malas merekam video adalah karena saya harus mengerjakannya sendirian.

Saya memang orang yang tidak suka keramaian, tetapi saya masih makhluk sosial (semua manusia adalah makhluk sosial). Ternyata saya butuh kehadiran satu atau dua orang untuk menemani saya merekam video agar saya tidak merasa terlalu sepi. Saya hanya butuh "tim hore" untuk memberi motivasi.

Dipikir-pikir lagi, ini melanggar kaidah ketiga dari Atomic Habits, yaitu saya harus membuat perilaku menjadi menyenangkan agar bisa menjadi sebuah rutinitas.

Solusinya, saya akan mengajak teman dekat untuk menemani saya dalam merekam video. Saya sudah mencobanya sekali. Ternyata kehadiran seorang teman memang bisa memberi motivasi, sebab saya tidak merasa kesepian ketika merekam video. Selain itu, ternyata kehadiran seorang teman bisa memberi masukan kepada saya, seperti posisi duduk atau pencahayaan. Dan setelah selesai merekam video, kami bisa pergi mencari makan sambil mengobrol menghabiskan waktu di akhir pekan. Aktivitas rekaman jadi menyenangkan.

Mungkin poin ketiga ini terkesan sepele, tetapi faktor "menyenangkan" sebenarnya sangat penting dalam membentuk sebuah rutinitas. Hal ini tidak hanya diamini oleh model Atomic Habits, tetapi juga disetujui oleh Fogg Behavior Model. Dan dalam psikologi ada sebuah kaidah yang disebut "The Law of Effect", yang berbunyi "sebuah perilaku yang disertai konsekuensi menyenangkan akan cenderung diulangi lagi".

Kalau saya mau rajin membuat video, maka saya harus membuat proses membuat video ini menjadi menyenangkan.

Analisa Keempat: Proses Produksi Video yang Tidak Memuaskan

Saya perlu jujur, setiap saya menyadari bahwa penonton video saya sedikit, saya merasa kehilangan semangat.

Ini yang membuat saya sering malas untuk membuat video baru, sebab saya selalu takut video yang saya buat tidak mendapat sambutan dari subscriber atau penonton, dan jumlah views-nya sedikit. Saya tidak munafik, jumlah views berpengaruh terhadap motivasi saya untuk membuat video baru; sebab saya membuat channel Youtube ini bukan untuk ditonton oleh orang lain.

Padahal, kaidah keempat dari Atomic Habits adalah perilaku harus dibuat menjadi memuaskan agar kita mau melakukannya secara rutin. Tetapi kekhawatiran (atau terkadang fakta) bahwa penonton video akan sedikit membuat saya merasa tidak puas.

Dipikir-pikir, saya membuat video secara "suka suka saya", maka tidak heran sambutan videonya juga "suka suka subscriber". Kalau sedang beruntung, video akan ditonton oleh banyak orang; tetapi lebih sering video saya mendapatkan jumlah penonton yang sedikit.

Cara membuat video yang "suka suka saya" tentu lebih mungkin menghasilkan video yang tidak sesuai dengan kebutuhan penonton. Idealnya, saya harus melakukan riset topik secara serius, yakni berdasarkan kebutuhan penonton dan topik yang sedang aktual atau sedang dicari. Saya seringkali tidak melakukan riset topik, hanya asal mencetuskan ide yang ada di kepala saja tanpa melakukan validasi. Tidak heran bila hasilnya juga tidak memuaskan.

Sebagai solusi, saya harus lebih mulai berorientasi kepada penonton, dalam artian video produksi saya harus disesuaikan dengan kebutuhan penonton saya. Saya amati, topik-topik tentang kesehatan mental sedang populer. Barangkali saya bisa mulai menggarap dari sini, sambil memanfaatkan Google Trends untuk meriset topik. Dengan demikian, video buatan saya akan lebih mungkin mendapatkan banyak penonton, dan ini akan membuat saya merasa puas karena karya saya diterima oleh masyarakat.

Simpulan

Berdasarkan keempat analisa di atas, tidak heran bila pada tahun ini saya gagal membentuk kebiasaan sebagai seorang content creator di Youtube. Proses membuat video ternyata tidak jelas, terasa tidak menyenangkan, sulit, dan bahkan tidak memuaskan. Hendaknya saya melakukan pembenahan dan perubahan, sesuai dengan solusi yang sudah terpikirkan tadi:

  • Agar proses membuat video menjadi jelas, saya harus memiliki rencana (jadwal) dan tenggat waktu.
  • Agar proses membuat video menjadi mudah, saya harus mempersiapkan peralatan yang memadai.
  • Agar proses membuat video menjadi menyenangkan, saya perlu mengajak seorang sahabat untuk menemani dan memberi masukan.
  • Agar proses membuat video menjadi memuaskan, saya harus berorientasi pada kebutuhan penonton agar video saya mendapat sambutan baik.

Mungkinkah keempat hal di atas saya lakukan? Jawabannya baru akan terlihat beberapa bulan lagi. Doakan saya.

Referensi:

  • Clear, J. (2018). Atomic habits: An easy and proven way to build good habits. Random House.
  • Feist, J., Feist, G., & Roberts, T. (2018). Theories of personality (9th ed.). McGraw-Hill.
  • Fogg, B.J. (2019). Tiny habits: The small changes that change everything. Virgin Books.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun