Kira-kira setahun lalu, ketika saya diminta untuk mendampingi mahasiswa-mahasiswa saya yang akan melakukan live-indi Kampung Pasir Angling. Kampung ini bertempat di Kabupaten Bandung Barat, lebih spesifiknya lagi, berada di Desa Sunten Jaya.
Berhubung kami ke sini beramai-ramai, maka moda transportasi yang digunakan adalah bus pariwisata. Sayang sekali, saya menjadi tidak tahu rute kendaraan umum untuk ke sini. Tapi saya yakin, informasi mengenai tranportasi umum ke Desa Sunten Jaya pasti sudah bertebaran di internet, tinggal googlingsaja.
Singkat cerita, kami turun di sebuah gapura di Desa Sunten Jaya. Untuk menuju Kampung Pasir Angling, kami harus berjalan kaki sekitar 1 hingga 2 kilometer, menanjak melewati perkebunan warga.
Di sini saya langsung disuguhkan makan siang khas kampung. Nasi putih, sayur asem bening, tumis sayur, ikan tongkol goreng, dan tempe goreng tersaji hangat di depan mata; lengkap dengan kerupuk sebagai penambah selera. Nampak sederhana, namun terasa nikmat sekali, apalagi saya makan dengan posisi duduk lesehan yang membuat suasana lebih terasa homy.
Saya menumpang bermalam selama 3 hari di rumah Ibu T. Beliau adalah seorang petani, ia bercocok tanam di lahan milik orangtuanya. Ibu T sudah menikah dan memiliki 3 orang anak, anak pertamanya bekerja di kota.
Rumahnya sangat sederhana. Dinding maupun lantainya terbuat dari kayu. Bila ada yang sedang berjalan, lantainya akan terasa sedikit bergetar. Awalnya saya merasa aneh dengan getaran tersebut, tapi lama-lama terbiasa juga. Antar ruang tidak dibatasi dengan pintu, tapi dengan kain yang dibentangkan. Tidak ada lantai 2, tidak ada rumah bertingkat di kampung ini. Ruang yang ada pun terbatas, hanyalah ruang tamu, sebuah ruang tidur, dapur, dan kamar mandi.
Ibu T sendiri, aktivitasnya cukup padat. Pagi hari sekali beliau sudah sibuk di dapur memasak dan menyiapkan seragam sekolah anak; sedangkan nanti suaminya yang akan mengantar anaknya satu per satu ke sekolah. Usai memasak, Ibu T kemudian pergi ke kebun untuk bercocok tanam. Nantinya sekitar jam 10 pagi Ibu T akan pulang ke rumah untuk menyiapkan makan siang, lalu berangkat ke kebun lagi hingga jam 3 sore.
Saya melihat aktivitas warga di sini cukup menyenangkan, tidak riweuhdan stressfulseperti di Jakarta. Mereka berangkat kerja pagi hari, tetapi letak tempat kerjanya sangat dekat dari rumah, bahkan ada yang bekerja di rumahnya sendiri (misalnya peternak sapi, di mana sapi ternakannya berada di belakang rumah). Sekitar jam 9 atau 10 pagi, mereka akan kembali ke rumah untuk duduk-duduk sambil menyesap kopi., hingga terasa segar kembali lalu lanjut bekerja. Sekitar jam 12 mereka akan makan siang, lalu lanjut bekerja lagi hingga pukul 3 sore.
Pukul 3 sore, pekerjaan selesai. Mereka kemudian menghabiskan waktu dengan bercengkerama bersama warga lainnya sambil duduk santai meminum kopi, teh, serta menyantap camilan. Tidak ada tekanan dari atasan untuk bekerja 8-9 jam per hari, dengan keharusan tiba dan pulang pada jam yang presisi. Mereka masih memiliki waktu untuk bersosialisasi dan menikmati sore dengan santai. Jauh berbeda dengan kehidupan di Jakarta.
Secara materi mungkin keluarga saya menang, namun secara kebahagiaan mungkin keluarga Ibu T lah yang juara. Bahagia dalam sahaja.
Hasil Produksi
Rata-rata warga di sini bercocok tanam dan berternak. Hewan yang diternakkan adalah sapi (untuk diambil susunya) dan kambing (untuk dijual ketika Idul Adha); sedangkan tumbuhan yang ditanam adalah brokoli, tomat, labu siam, sawi, kol, bahkan saya juga pernah melihat alpukat. Sisanya, ada juga saya temui seorang warga desa berprofesi sebagai pengrajin bingkai/pigura dari bahan kayu.
Pagi-pagi pukul 5, peternak sapi harus sudah selesai memerah susu sapi, sebab penadah akan segera datang dan mengangkut. Sayangnya saya tidak sempat mencoba memerah susu sapi dan mencicipi susu sapi segar produksi Kampung Pasir Angling.
Sedangkan untuk sayuran, mungkin karena masih sangat segar, rasanya memang berbeda dengan sayur yang biasa saya beli di pasar di Jakarta. Saya sempat membeli beberapa sayuran sebagai oleh-oleh, esoknya langsung saya masak. Labu siamnya terasa lebih halus. Dan mungkin karena di sini penghasil brokoli, maka hampir setiap makan Ibu T selalu menyuguhkan brokoli tumis. Saya sempat berkata di kota brokoli tergolong sayuran yang mahal, namun Ibu T hanya tertawa dan berkata kalau ia cukup memetiknya di kebun saja.
Ada juga seniman yang tinggal di Kampung Pasir Angling. Adalah Bapak N yang sempat menunjukkan kepiawaiannya memainkan kecapi sunda. Lagu-lagunya ia tulis sendiri, dengan lirik berbahasa Sunda pula. Rekamannya dapat dilihat di bawah ini:
Objek Wisata
Kampung Pasir Angling terletak di kaki Gunung Bukit Tunggul, maka tak heran cuaca di sini dingin sekali (bahkan saya selalu menggigil kedinginan setiap mandi, rasanya seperti mandi air es!). Saya sempat diajak oleh Ketua RW untuk menaiki Bukit Tunggul, meski tak sampai puncaknya. Jalurnya masih cukup sulit, apalagi saat saya mendakinya sedang turun hujan. Tanah menjadi sangat licin dan saya sempat tergelincir. Meski demikian, pemandangan yang ditawarkan termasuk indah. Saya diajak ke sebuah lokasi yang disebut Batu Ampar:
Well,demikian yang bisa saya ceritakan mengenai Kampung Pasir Angling. Mungkin tidak banyak cerita yang bisa disampaikan, tapi sebenarnya pengalaman live-in di sini menjadi pengalaman baru bagi saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H