Mohon tunggu...
Khadafi
Khadafi Mohon Tunggu... -

Bersahabatlah dengan alam, maka kau akan mampu membaca pesan-pesan Tuhanmu di dalam ayat Qauniyah.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Melawan Kolonialisme

14 November 2016   21:56 Diperbarui: 14 November 2016   21:59 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya alam, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut yang dikolonikan.

Koloni berasal dari kata Colonia (bahasa latin) yang artinya tanah jajahan. Jadi koloni suatu negara atau wilayah yang dijajah. Adapun kolonialisme dibagi menjadi tiga macam. Pertama, koloni eksploitasi, yaitu penguasaan wilayah untuk dikuras habis kekayaan alam dan penduduknya untuk penguasa. Kedua, koloni penduduk, yaitu penguasaan wilayah dengan cara menyingkirkan penduduk asli yang digantikan pendatang sehingga mengakibatkan terabaikannya penduduk asli. Ketiga, koloni deportasi, yaitu daerah jajahan yang dipakai sebagai tempat buangan narapidana nomor satu dari negara penjajah. Daripada negara penjajah harus memberi makan mereka seumur hidup lebih baik mereka dijadikan tenaga kerja di daerah jajahan dan tidak dibayar.

Apakah rezim saat ini bagian dari Kolonialisme ? Jawabannya adalah, iya. Rezim saat ini yang berkuasa adalah bagian dari satu kesatuan kekuatan kolonialisme di Indonesia.

Berikut bentuk kolonialisme yang dilakukan oleh rezim antek kolonialisme saat ini :

1. Koloni Eksplotasi

Rezim antek kolonialisme memberikan tax amnesty kepada pencuri atau garong negara untuk semakin mengekploitasi Indonesia.

Tax amnesty adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.

Untuk dapat diterima masyarakat, terlebih dahulu diyakinkan bahwa tax amnesty atau pengampunan pajak mengandung keadilan dengan iklan yang sarat pembodohan bahwa tax amnesty akan membawa dampak baik terhadap kas keuangan negara. Tapi benarkah demikian ? Tax Amnesty itu penyelundupan pajak yang dilegalkan oleh Presiden, Menteri Keuangan dan DPR. Secara pidana, adalah kejahatan harta kekayaan. Mestinya itu domain KPK. UU No 30 tentang KPK dan UU no 31 tentang Tipikor, mengenalkan kejahatan harta kekayaan dan UU TPPU.

Sebab, tak bisa kejahatan harta kekayaan dihapus dengan membayar pajak Tax Amnesty. Kejahatan harta kekayaan adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Maka tidak heran kalau para peserta tax amnesty adalah para cukong, para taipan, para perampok uang negara dan mafia-mafia BLBI.

Tidak sampai disitu, rezim antek kolonialisme ini juga melakukan privatisasi atau right issue pada perusahaan-perusahaan BUMN-BUMN. Jika kebijakan privatisasi tetap diteruskan oleh pemerintah, maka prosentase penguasaan asing atau aseng terhadap aset-aset negara jelas akan semakin membengkak.

2. Koloni Penduduk

Kalau kita perhatikan arah dan metode pembangunan saat ini, nyata sekali bahwa rezim saat ini melakukan dan mendukung praktik-praktik koloni penduduk demi terwujudnya keinginan Sang Kolonial dan berujung pada kuatnya cengkraman kapitalis-imprealis di nusantara . Salah satunya adalah pembangunan proyek reklamasi teluk jakarta yang nilai investasinya hampir mencapai 100 triliun, termasuk penggusuran yang selama ini kerap dilakukan oleh Gubenur Jakarta dengan dalih pembebasan tanah negara dan pembukaan lahan hijau jakarta. Sejatinya penggusuran rumah-rumah penduduk dan proyek reklamasi bukanlah bagian dari program keberpihakannya pemerintah terhadap rakyatnya dan bukan pula solusi dari tata kota apalagi kalau dibilang bagian dari sumber eknomi rakyat. Penggusuran dan reklamasi adalah bagian dari produk kapitalisme.

Mari kita belajar dari apa yang pernah terjadi di Amerika Serikat pada tahuan 1950-an, pada saat itu ada proyek bernama Pruitt-Igoe. Pruitt-Igoe merupakan rusun yang dibangun untuk solusi pemukiman kumuh di St. Louis. Proyek ini terdiri dari 2870 unit rusun yang berada dalam 33 bangunan dan terdiri dari 11 lantai. Pada tanggal 15 juli 1972 ternyata rusun ini malah dirubuhkan, dihancur-leburkan. Kenapa ? Konsep design arsitekturalnya yang khas pada proyek Pruitt-Igoe adalah sistem "skip stop elevator", dimana elevatornya hanya berhenti di lantai-lantai tertentu saja. Rencana idealnya, lantai-lantai tersebut akan dijadikan ruang komunal atau ruang bersama warga. Tetapi kenyataannya malah sering terjadi kejahatan, pemerkosaan, hingga peredaran narkoba, belum lagi permasalahan segregasi sosial.

Menengok sejarah Pruitt-Igoe, hampir sama dengan bagaimana rezim antek kolonialisme saat ini menggusur, merelokasi hunian warga. Relokasi warga dari kampung ke rusun adalah bentuk nyata dari program kapitalisme mengisolir warga miskin. Rusun hanya menyediakan hunian dan warga harus menyewanya, sedangkan dulu di kampung ia mempunyai rumah. Selanjutnya untuk yang lainnya silakan cari masing-masing termasuk nafkah dan pendidikan anak-anak. Kita mengarah pada kegagalan peradaban. Disisi lain penggusuran hanya sebagai daya pikat terhadap investor, lalu investor diuntungkan untuk merotasi investasinya dengan memanfaatkan lahan bekas gusuran guna membentuk kantong-kantong kapitalisme yang baru dengan legalitas dari pemda. Kalaupun adanya normaliasi sungai, semata-mata hanya untuk mensuplai air bersih ke gedung reklamasi di teluk jakarta nantinya.

3. Koloni Deportasi

Kita pasti sering melihat, mendengar dan membaca berita tentang banyaknnya warga negara asing secara ilegal yang masuk ke dalam negara kita. Di media-media massa kerap kali memberitakan maraknya WNA asal Tiongkok yang bekerja dan menetap secara ilegal. Bahkan mereka tidak bisa berbahasa Indonesia sama sekali. Aneh bukan ? Kenapa pemerintah diam soal ini ? Pernahkah terlintas dalam benak kita kenapa, bagaimana dan apa tujuannya dari semua yang terjadi hari ini. Maraknya WNA asal Tiongkok masuk ke Indonesia secara ilegal sudah terjadi beberapa bulan terakhir. Mulai dari Pontianak, Makassar, Manado, Halim Perdana Kusuma Jakarta bahkan yang paling mengerikan adalah yang di Bogor, dimana WNA asal Tiongkok secara ilegal menggarap tanah masyarakat setempat dan menanam cabai di sana. Ini adalah nyata bahwa kita tanpa sadar sedang dijajah melalui praktek Koloni Deportasi oleh Tiongkok, dimana ia menggunakan Indonesia untuk membuang sebagian besar warganya yang bermasalah hukum dan miskin ke Indonesia, selain Tiongkok tidak perlu rugi harus menghidupnya, Tiongkok juga sebagai negara tidak mampu menampung populasi rakyatnya yang semakin banyak. Ini bahaya, jangan sampai kita seperti Bangsa Australia asli atau Bangsa Singapura asli. Kita tidak boleh apatis atau cuek terhadap kondisi hari ini.

Lantas strategi apa yang kolonialisme dan antek kolonialisme lakukan dalam mempertahankan kekuasaannya ? Strategi yang mereka lakukan adalah “devide et impera”.


Secara hostoris, strategi devide et impera berkembang dari strategi penaklukan para Conquestador (penakluk) Spanyol atas suku-suku Indian di Amerika Latin pada abad 15 (1462). Penaklukan ini menguntungkan Spanyol dan negara-negara eropa pada saat bersamaan dengan adanya penemuan emas, perak, lahan produktif yang luas dan jumlah tenaga kerja dari populasi asli yang diperbudak.

Sejak saat itu Eropa mulai melakukan ekspansi menjarah sumber kekayaan alam. Ekspansi ini menjangkau Asia Pasifik mulai dari Maluku, Australia, Afrika hingga India. Hal ini pun mereka lakukan bukan tanpa kesulitan, meskipun daerah-daerah jajahan tadi yang mereka kuasai masih dalam keadaan gelap gulita dari teknologi perang tapi perlawanan terhadap mereka tetap berlanjut.

Lalu bagaimana cara negara-negara Eropa tadi untuk menaklukan perlawanan rakyat yang mereka jajah ? Mereka membuat dan mempraktekan metode yang rumit dari perang, yaitu mempelajari masyarakat jajahan dan membangun sentimen horizontal diantara mereka sehingga mereka saling bermusuhan dan semakin lemah. Mereka dipukul mundur dengan cara dimanipulasi melalui segregasi sosial atau pemisahan kelompok masyarakat secara paksa untuk memicu konflik horizontal.

Sejak saat itulah devide et impera merupakan metode penaklukan mujarab baik dalam perang ataupun menguatkan kekuasaan di tanah jajahan. Dan devide et impera bukan lagi hanya strategi perang tetapi juga startegi politik yang mengkombinasikan sains yang dibutuhkan dalam penaklukan.

Dalam konteks Nusantara era kolonialisme, pemerintah Belanda menggunakan devide et impera yang membagi populasi di Hindia Belanda menjadi tiga lapisan (Eropa, Timur Jauh meliputi Cina, India, Arab dan Pribumi). Operasi lain dari strategi segreasi sosial ini juga dilakukan dengan memperdalam perbedaan antar etnis, suku dan agama dengan menyabotase komunikasi antar etnis, suku dan agamanya.

Pada perkembangannya, devide et impera tidak berhenti disitu, tapi terus bergulir sampai sekarang sebagai sebuah strategi mempertahankan kekuasaan. Rezim antek kolonialisme hari ini pun masih menggunakan strategi ini.


Mencuatnya sentimen SARA saat ini pada momen Pilkada membuat Pilkada kali ini jauh dari semangat mencari pemimpin dan memimpin. Sentimen SARA bermula dari Ahok sebagai gubernur jakarta mengutip ayat kitab suci yang ia sendiri pun tidak paham dan tidak mengimani ayat kitab suci itu sendiri, kejadian itu saat ia berkunjung ke Kepulauan Seribu lengkap dengan pakaian dinas beserta rombongan dinasnya.

Dalam pidatonya salah satu dari rombongan tersebut merekam dan mengupload video tersebut ke youtube. Sontak video tersebut menjadi viral dan menimbulkan reaksi dari kelompok masyarakat dan agama. Dan sampai hari ini, kasus ini masih menjadi polemik di tengah masyarakat.

Banyak analisa-analisa yang bermunculan dari berbagai macam kelompok masyarakat dalam menyikapi persoalan ini. Tapi bagi saya, ada yang jauh lebih menarik dari persoalan ini. Ahok bukanlah anak-anak, bukan remaja dan juga bukan masyarakat biasa. Tetapi Ahok adalah manusia dewasa dan tokoh publik, yaitu pejabat daerah, jadi bukan tanpa sebab ia mengeluarkan sentimen SARA ini dan bukan berarti tidak sadar ia melakukan hal ini. Sentimen SARA ini ia ucapkan untuk mempengaruhi psikologis masyarakat dan membuat momen pilkada ini lebih mengutamakan emosi dibanding rasio. Di sisi lain juga menguntungkan buat dia, dimana masyarakat dan pilkada kali ini jauh dari paparan program-program solusi tentang hal-hal yang substansial.

Seperti yang sudah dijelaskan di awal, ini adalah bagian dari strategi devide et impera, Ahok mengeluarkan sentimen SARA untuk membakar perdebatan dan sentimen horizontal. Secara tidak langsung, ahok dan rezim antek kolonialisme beserta kekuatan di belakangnya sudah sangat memahami kita sebagai masyarakat jajahannya. Mereka memecah kita dalam berbagai kelompok. Yang paling menonjol adalah bagaimana mereka membelah dan memecah kelompok-kelompok islam dengan segala upaya demi menyelamatkan Ahok agar tidak dipenjara. Dengan begitu Ahok tetap menjadi perpanjangan tangan kolonialisme Tiongkok.

Mula-mula penguasa dengan kekuatan media massa mengklaim aksi 411 yang menuntut ahok dipenjara karena melakukan penistaan agama ditunggangi kelompok tertentu. Kemudian mempropagandakan bahwa aksi tersebut sebagai ancaman ideologi bangsa. Lalu mereka membelah kekuatan penentangnya dengan mensabotase komunikasi penentangnya dan memanipulasi segala pemberitaan di media.

Tidak sampai disitu, yang paling berbahaya adalah mulai maraknya praktek-praktek sabotase intelijen. Beberapa hari ini ada kejadian teror berupa pelemparan bom molotov di gereja dan vihara. Ini adalah bagian dari program segregasi sosial dari para antek kolonialisme terhadap kita.
Kita tidak bisa lagi melihat bahwa persoalan ahok ini sebatas penistaan agama. Selama kita terkungkung dalam paradigma sebatas itu, tidak ada kemenangan sedikitpun buat kita semua. Ahok adalah ancaman bagi Kebhinekaan Tunggal Ika, ahok bukan simbol Kebhinekaan. Dan kekuatan dibelakang ahok adalah ancaman bagi kedaulatan kita.


Hal yang kita perlu lakukan adalah bersatu menuntut penegakan hukum yang adil terkait kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan ahok dan membatalkan proyek reklamasi jakarta. Sebab perjuangan ini bukanlah sebatas melawan ahok, tapi melawan kolonialisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun