Pada perkembangannya, devide et impera tidak berhenti disitu, tapi terus bergulir sampai sekarang sebagai sebuah strategi mempertahankan kekuasaan. Rezim antek kolonialisme hari ini pun masih menggunakan strategi ini.
Mencuatnya sentimen SARA saat ini pada momen Pilkada membuat Pilkada kali ini jauh dari semangat mencari pemimpin dan memimpin. Sentimen SARA bermula dari Ahok sebagai gubernur jakarta mengutip ayat kitab suci yang ia sendiri pun tidak paham dan tidak mengimani ayat kitab suci itu sendiri, kejadian itu saat ia berkunjung ke Kepulauan Seribu lengkap dengan pakaian dinas beserta rombongan dinasnya.
Dalam pidatonya salah satu dari rombongan tersebut merekam dan mengupload video tersebut ke youtube. Sontak video tersebut menjadi viral dan menimbulkan reaksi dari kelompok masyarakat dan agama. Dan sampai hari ini, kasus ini masih menjadi polemik di tengah masyarakat.
Banyak analisa-analisa yang bermunculan dari berbagai macam kelompok masyarakat dalam menyikapi persoalan ini. Tapi bagi saya, ada yang jauh lebih menarik dari persoalan ini. Ahok bukanlah anak-anak, bukan remaja dan juga bukan masyarakat biasa. Tetapi Ahok adalah manusia dewasa dan tokoh publik, yaitu pejabat daerah, jadi bukan tanpa sebab ia mengeluarkan sentimen SARA ini dan bukan berarti tidak sadar ia melakukan hal ini. Sentimen SARA ini ia ucapkan untuk mempengaruhi psikologis masyarakat dan membuat momen pilkada ini lebih mengutamakan emosi dibanding rasio. Di sisi lain juga menguntungkan buat dia, dimana masyarakat dan pilkada kali ini jauh dari paparan program-program solusi tentang hal-hal yang substansial.
Seperti yang sudah dijelaskan di awal, ini adalah bagian dari strategi devide et impera, Ahok mengeluarkan sentimen SARA untuk membakar perdebatan dan sentimen horizontal. Secara tidak langsung, ahok dan rezim antek kolonialisme beserta kekuatan di belakangnya sudah sangat memahami kita sebagai masyarakat jajahannya. Mereka memecah kita dalam berbagai kelompok. Yang paling menonjol adalah bagaimana mereka membelah dan memecah kelompok-kelompok islam dengan segala upaya demi menyelamatkan Ahok agar tidak dipenjara. Dengan begitu Ahok tetap menjadi perpanjangan tangan kolonialisme Tiongkok.
Mula-mula penguasa dengan kekuatan media massa mengklaim aksi 411 yang menuntut ahok dipenjara karena melakukan penistaan agama ditunggangi kelompok tertentu. Kemudian mempropagandakan bahwa aksi tersebut sebagai ancaman ideologi bangsa. Lalu mereka membelah kekuatan penentangnya dengan mensabotase komunikasi penentangnya dan memanipulasi segala pemberitaan di media.
Tidak sampai disitu, yang paling berbahaya adalah mulai maraknya praktek-praktek sabotase intelijen. Beberapa hari ini ada kejadian teror berupa pelemparan bom molotov di gereja dan vihara. Ini adalah bagian dari program segregasi sosial dari para antek kolonialisme terhadap kita.
Kita tidak bisa lagi melihat bahwa persoalan ahok ini sebatas penistaan agama. Selama kita terkungkung dalam paradigma sebatas itu, tidak ada kemenangan sedikitpun buat kita semua. Ahok adalah ancaman bagi Kebhinekaan Tunggal Ika, ahok bukan simbol Kebhinekaan. Dan kekuatan dibelakang ahok adalah ancaman bagi kedaulatan kita.
Hal yang kita perlu lakukan adalah bersatu menuntut penegakan hukum yang adil terkait kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan ahok dan membatalkan proyek reklamasi jakarta. Sebab perjuangan ini bukanlah sebatas melawan ahok, tapi melawan kolonialisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H