Persis seperti pada ending cerita, di mana salju turun di malam hari, sang anjing-setia yang sudah menua sedang berbaring di tempat tak jauh dari pintu masuk stasiun. Ia perlahan-lahan menutup kedua matanya. Dalam penantian sebelum ajal, sang tuan mendadak muncul dari pintu masuk stasiun, lalu ia berlari menubruk tuannya.
Perjumpaan adalah takdir pertemuan, tidak hanya antara manusia, namun juga antara manusia dengan anjing. Setelah si profesor di stasiun memungut kembali si anjing setia Hachiko yang tercampakkan; kesetiaan, kasih dan kerinduan adalah segalanya bagi anjing-setia Hachiko. Kesetiaan tulus dan kasih yang teguh semacam ini mirip dengan tindakan balas budi.
Saya mengusap air mata haru dan dalam sekejab menyadari, barangkali bukan sepenuhnya disebabkan oleh kisah Hachiko itu sendiri, tetapi lebih karena di dalam umat manusia dan masyarakat realita zaman sekarang, hilangnya kesetiaan dan kasih – kefanaan dan ketakberdayaan – tuntutan pendambaan nurani manusia terhadap kesetiaan, kasih, kepercayaan, kepedulian dan perlindungan, telah membuat saya terharu dan tercenung. (Xia XiaoQiang/The Epoch Times/whs)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H