Hidup dalam dunia metropolitan yang keras, penuh dengan intrik dan kompetisi, sehingga seringkali nilai-nilai kekeluargaan, gotong-royong, serta simpati dan empati positif itu terkesan menguap begitu saja. Memang dibutuhkan suatu kesadaran yang kokoh akan pentingnya suatu kaharmonisan hidup, suatu keselarasan yang berintegritas.
Hal ini semata-mata bukan agar seseorang bisa mengarungi bahtera hidupnya dengan baik, namun juga sedikit demi sedikit merubah paradigma lingkungan sekitarnya mulai dari skala yang terkecil sampai yang terbesar, dan akhirnya mampu menggerakan dan menyentuh hati suatu Bangsa yang menghadirkan kesatuan nasional yang senantiasa kompak, laiknya fenomena "snow ball effect".
Jadi tidak adem ayem pada awalnya kemudian saling adu jotos pada akhirnya. Konon, hormon Oxytocin mampu membentuk suatu keterikatan yang kuat antara seseorang dengan komunitasnya. Karena menghasilan perasaan untuk loyal, serta melindungi dan mengasihi terhadap "pihak dalam" , namun agresif dan waspada terhadap "pihak luar".
Itulah yang dinyatakan Dr Carsten De Dreu dari University of Amsterdam, seperti dikutip dari Telegraph mengatakan fenomena ini dikenal sebagai parochial alturism atau ‘merawat dan mempertahankan’.
Hmm, apa hubungan Oxytocin dengan Gaya hidup seimbang dan harmonis yang menjadi metode untuk hidup ala masyarakat Metropolitan. Tentu ada, namun yang akan menjadi fokus kita adalah sifat Oxytocin, untuk memelihara dan memperbaiki diri, serta kritis dan selektif dalam melakukan filtrasi terhadap pengaruh dunia external.
Hal ini dimulai dengan menyelami gaya hidup sehat, artinya juga memiliki gaya hidup yang seimbang. Gaya hidup yang seimbang digambarkan dengan memiliki kehidupan yang simetris dan sinergis dalam aspek-aspek utama yang ada di dalamnya, sehingga menjadi suatu kesatuan yang harmonis. Secara sederhana keharmonisan itu bisa dimulai dari aspek kejiwaan (psikologis), kebugaran, pergaulan (sosial), karir/pekerjaan, sampai yang sifatnya religius.
Sehat secara jasmani, mampu menikmati pekerjaan dan perannya di masyarakat, mampu menghargai diri dengan baik. Memiliki kehidupan spiritual yang positif, artinya kehidupan spiritualnya bisa bermanfaat bagi dunianya. Ekonominya mampu menunjang kebutuhan hidup untuk hidup layak. Keseimbangan ini secara umum dilihat berdasar kepada sisi kesehatan, spiritualitas, inter maupun intrapersonal, serta ekonomi. Anda adalah apa yang anda makan, lingkungan pergaulan Anda (inner circle), yang Anda pikirkan dan juga yang Anda kerjakan. Kira-kira itulah kesimpulan penelitian dari seorang Wallace D Wattles, penulis science of getting rich dan science of being well.
Kehidupan yang seimbang adalah suatu hukum, suatu ketetapan agar manusia dapat terus bertahan hidup dan menjalani hidupnya dengan lebih baik dan menyenangkan. Hal ini akan membuahkan rasa damai, makmur dan sejahtera. Perjuangan untuk meraih hal tersebut menjadi perjuangan manusia sejak dahulu kala, dari zaman ke zaman.
Seorang Albert Einstein pernah bekata “Life is like riding a bicycle. To keep your balance you must keep moving”. Walau sederhana namun pernyataan tersebut kaya akan makna dibaliknya. Tanpa keseimbanga mustahil bisa mengendarai sepeda. Yang ada Anda akan terjatuh, intinya; keseimbangan akan membuat suatu perbedaan dalam hidup, keseimbangan akan membawa seseorang kepada suatu bentuk kondisi yang belum pernah ada atau "tersentuh" sebelumnya.
Keseimbangan adalah suatu kondisi yang stabil, ada harmonisasi. Mengenai cara menggapai keseimbangan dalam hidup, ada sebuah Filosofi dari Jepang. Namanya Kaizen. Kaizen memahami dengan baik bahwa hidup adalah pembelajaran dan pertumbuhan terus menerus dalam berbagai hal. Feneomena tersebut kemudian dijadikan dasar dan kebijaknsaan dalam pengambilan keputusan.
Kaizen adalah istilah dari Jepang, artinya adalah perbaikan yang berkesinambungan. Mengejar kesempurnaan tanpa batas. Fokus Kaizen ada pada pemeliharaan dan perbaikan yang terus menerus. Plan-Do-Check-Act (Masaaki Imai,1991) adalah siklus utama dalam penerapan Kaizen.