Pemikir seperti seorang Paul Janet menyikapi ilmu politik sebagai ilmu yang mengatur perkembangan Negara begitu juga prinsip - prinsip pemerintahan. Pendapat ini didukung juga oleh R.N. Gilchrist. Disisi lain, Lasswell menyetujui ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari pengaruh dan kekuasaan. Sedangkan menurut teori klasik ala Aristoteles, katanya politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Secara garis besar, ilmu politik adalah sebuah ilmu yang menekankan pada peraihan dan pengelolaan kekuasaan, kemudian secara sinergis dan sistematis menjalankan unsur-unsur di dalamnya sehingga dapat terintegrasi dengan baik.
Dalam berpolitik ranah hukum akan menjadi sebuah ranah yang memiliki peran besar, karena politik akan dikuasai oleh hukum. Meskipun begitu kekuatan politik bisa "membeli" hukum. Politik itu kejam, politik itu penuh startegi dan siasat, tak sering terjadi saling sikut dalam berpolitik, ada yang bersaing dengan cara-cara yang sportif ada juga yang ala mafia. Hal ini memang sudah menjadi rahasia umum, dunia politik memang sarat dengan tingkat stres yang tinggi.
Bagaimana dengan kebahagiaan dalam berpolitik? Kebahagiaan dalam berpolitik bisa dicapai dengan menjalankan politik yang mengayomi sisi-sisi kebahagiaan manusia yang holistik. Maksudnya adalah, politik itu mampu berjalan dengan sehat dan tepat guna. Apa memang ada sebuah bentuk politik ideal yang bisa membawa kepada suatu utopia yang merata bagi para insan pelakunya? Banyak yang mungkin sudah putus asa, dan mulai mencari solusi dan orientasi alternatif, untuk memanfaatkan politik.
Maka itu pula seorang Ernest Benn pernah berkata: “Politics is the art of looking for trouble, finding it whether it exists or not, diagnosing it incorrectly, and applying the wrong remedy.”
Apakah politik mampu bersanding dengan kebahagiaan? menilik kepada buku "Kalau mau bahagia jangan jadi politisi" karya Arvan Pradiyansah. Dijelaskan disana, bahwasanya politik itu akan berada dalam posisi senang lihat lawan politik susah, dan susah lihat lawan politik senang.
Mengelaborasi buku best seller sebelumnya yang berjudul “The 7 Laws of Happiness”, Arvan menghadapkan rumus kebahagiaan amatlah berbeda dengan rumus politik:
1. Patience (sabar), fokus pada proses vs instant, fokus pada hasil
2. Gratefullness (syukur) vs jangan cepat puas
3. Simplicity (sederhana) vs rumit
4. Love (cinta) vs kepentingan
5. Giving (memberi) vs mendapatkan
6. Forgiving (memaafkan) vs membalas
7. Surrender (berserah) vs meminta sesuatu kepada Tuhan
Pertama adalah sabar. Bersabar adalah menyatukan badan dan pikiran di satu tempat. Apakah para politisi dapat melakukannya? Ternyata tidak. Mereka sangat sulit untuk menyatukan badan dan pikirannya. Saat badannya sedang berhadapan dengan rakyat tapi pikirannya sibuk dengan hal lain. Saat penghitungan suara pemilu caleg masih berlangsung, namun para sudah meributkan koalisi, berbagi jabatan (presiden dan wapres), serta berbagi kekuasaan.
Kedua, adalah syukur. Salah satu hal yang dapat menimbulkan rasa syukur adalah selalu melihat ke bawah, karena dengan begitu kita akan mampu berdamai dengan segala kekurangan kita dan merasa puas dengan apa adanya kita. Tapi, bagi politisi kata-kata puas sangat jauh dari hidup mereka, “Kalau mereka selalu puas, bagaimana mereka bisa berpolitik” ujar Arvan.
Ketiga, adalah sederhana, baik dalam cara berpikir maupun gaya hidup. Sudah dapat dipastikan konsep kebahagiaan ini sangat sulit diterapkan oleh politisi. Kondisinya amat sangat tidak memungkinkan untuk hidup berpola sederhana.
Keempat, adalah cinta. Bahwa dasar dari hubungan antarmanusia adalah cinta. Dan dengan memberikan cintalah kita akan merasakan kebahagiaan. Tapi, bagi politisi menerapkan cinta adalah yang kesekian, bahkan boleh jadi tidak ada. Dalam berpolitik yang menjadi dasar dari hubungan antarmanusia adalah kepentingan. "Tidak ada persahabatan abadi yang ada adalah kepentingan abadi’" barangkali adagium itu pas dalam menggambarkan dunia politik.
Kelima adalah memberi. Dalam artian memberi tanpa mengharap balasan. Inilah tindakan memberi yang tertinggi. Nampaknya, konsep ini pun teramat sulit untuk dilakukan politisi, karena rumus utama dalam politik bukanlah memberi (giving), tapi mendapatkan (getting).
Keenam adalah memaafkan. Untuk meraih kebahagiaan sifat pemaaf sudah menjadi hal yang mutlak dilakukan. Karena, sejatinya memaafkan bukanlah untuk kepentingan orang yang menyakiti kita, tapi untuk kita sendiri. Dalam dunia politik, seringkali amat sulit menjadi pribadi yang pemaaf. Justru yang ada adalah menyerang balik atas apa yang dilakukan lawan politiknya, seperti mengungkit masa lalunya yang negatif.
Ketujuh adalah berserah atau pasrah kepada Tuhan. Berserah yang paling membahagiakan bukanlah meminta sesuatu kepada Tuhan, melainkan benar-benar berserah. Sedang bagi politisi jauh dari berserah semacam itu. Doa mereka hanya satu: Meminta kemenangan kepada Tuhan, tak peduli kemenangan tersebut baik atau buruk bagi mereka. Hal ini akan sangat tidak membahagiakan saat mereka tidak dikabulkan doanya.
Kebahagiaan yang ada dari perasaan dan tindakan yang konkrit untuk membagikan kasih kepada diri sendiri dan kepada dunia, tentu saja dalam dunia politik hal tersebut adalah suatu kondisi yang berada pada dimensi yang lain. Ditambah lagi seorang Blaise Pascal menyatakan: "Justice without force is powerless; force without justice is tyrannical."
Keadilan dalam kontex ini, walau terkesan obyektif, namun merupakan suatu kondisi yang mengarah kepada subyektifitas yang dikuasai oleh pihak mayoritas, pemenang politik tentu yang dimaksud dalam hal ini. Keadilan tidak boleh menyebelah, namun sisi keadilan humanis akan sering terasa menyebelah, tidak akan sempurna. Didasari dari landasan itu, bukankah semakin nyata jika keadilan hanya akan menjadi sesuatu yang absurd apalagi dalam ranah kompetisi politik?
Wah...wah, rasanya menjadi tidak adil juga, jika politisi dianalisa tidak memiliki kebahagiaan. Politisi bersaing dengan sehat untuk kemajuan Rakyat, itu yang utama, klise memang. Namun hal klasik ini memang belum berubah sampai detik ini, sebuah panggilan kebahagiaan politisi adalah untuk menjadi negarawan luhur yang mengusahakan sikap integritas setinggi-tingginya. Di sisi lain; secara de jure, terlepas dari kajian buku tersebut, memang sah-sah saja, jika seorang politisi itu bahagia dengan status dan aktifitasnya, karena kebahagiaan itu diputuskan oleh diri sendiri.
Untuk menata dunia, kita harus menata terlebih dahulu bangsa...
Untuk menata bangsa, kita harus menata keluarga terlebih dahulu....
Untuk menata keluarga, pertama-tama kita harus menata diri pribadi kita terlebih dahulu...
Kita harus meluruskan hati kita sebelum yang lainnya...
[Konfusius]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H