Keempat, adalah cinta. Bahwa dasar dari hubungan antarmanusia adalah cinta. Dan dengan memberikan cintalah kita akan merasakan kebahagiaan. Tapi, bagi politisi menerapkan cinta adalah yang kesekian, bahkan boleh jadi tidak ada. Dalam berpolitik yang menjadi dasar dari hubungan antarmanusia adalah kepentingan. "Tidak ada persahabatan abadi yang ada adalah kepentingan abadi’" barangkali adagium itu pas dalam menggambarkan dunia politik.
Kelima adalah memberi. Dalam artian memberi tanpa mengharap balasan. Inilah tindakan memberi yang tertinggi. Nampaknya, konsep ini pun teramat sulit untuk dilakukan politisi, karena rumus utama dalam politik bukanlah memberi (giving), tapi mendapatkan (getting).
Keenam adalah memaafkan. Untuk meraih kebahagiaan sifat pemaaf sudah menjadi hal yang mutlak dilakukan. Karena, sejatinya memaafkan bukanlah untuk kepentingan orang yang menyakiti kita, tapi untuk kita sendiri. Dalam dunia politik, seringkali amat sulit menjadi pribadi yang pemaaf. Justru yang ada adalah menyerang balik atas apa yang dilakukan lawan politiknya, seperti mengungkit masa lalunya yang negatif.
Ketujuh adalah berserah atau pasrah kepada Tuhan. Berserah yang paling membahagiakan bukanlah meminta sesuatu kepada Tuhan, melainkan benar-benar berserah. Sedang bagi politisi jauh dari berserah semacam itu. Doa mereka hanya satu: Meminta kemenangan kepada Tuhan, tak peduli kemenangan tersebut baik atau buruk bagi mereka. Hal ini akan sangat tidak membahagiakan saat mereka tidak dikabulkan doanya.
Kebahagiaan yang ada dari perasaan dan tindakan yang konkrit untuk membagikan kasih kepada diri sendiri dan kepada dunia, tentu saja dalam dunia politik hal tersebut adalah suatu kondisi yang berada pada dimensi yang lain. Ditambah lagi seorang Blaise Pascal menyatakan: "Justice without force is powerless; force without justice is tyrannical."
Keadilan dalam kontex ini, walau terkesan obyektif, namun merupakan suatu kondisi yang mengarah kepada subyektifitas yang dikuasai oleh pihak mayoritas, pemenang politik tentu yang dimaksud dalam hal ini. Keadilan tidak boleh menyebelah, namun sisi keadilan humanis akan sering terasa menyebelah, tidak akan sempurna. Didasari dari landasan itu, bukankah semakin nyata jika keadilan hanya akan menjadi sesuatu yang absurd apalagi dalam ranah kompetisi politik?
Wah...wah, rasanya menjadi tidak adil juga, jika politisi dianalisa tidak memiliki kebahagiaan. Politisi bersaing dengan sehat untuk kemajuan Rakyat, itu yang utama, klise memang. Namun hal klasik ini memang belum berubah sampai detik ini, sebuah panggilan kebahagiaan politisi adalah untuk menjadi negarawan luhur yang mengusahakan sikap integritas setinggi-tingginya. Di sisi lain; secara de jure, terlepas dari kajian buku tersebut, memang sah-sah saja, jika seorang politisi itu bahagia dengan status dan aktifitasnya, karena kebahagiaan itu diputuskan oleh diri sendiri.
Untuk menata dunia, kita harus menata terlebih dahulu bangsa...
Untuk menata bangsa, kita harus menata keluarga terlebih dahulu....
Untuk menata keluarga, pertama-tama kita harus menata diri pribadi kita terlebih dahulu...
Kita harus meluruskan hati kita sebelum yang lainnya...