Wajahnya segar, ia nampak profesional, mengenakan blus putih dan rok hitam berbelah yang lebih tinggi sedikit di atas lututnya. Kulitnya kuning langsat, rambutya yang hitam kemerahan terurai sebahu, terlihat rapih dan indah dipandang. Ia Seorang wanita Tionghoa, usianya nampak diatas 25, namun mungkin belum mencapai 33-an. Senyumnya manis dan bersimpul, ia masuk ke kelas kami dan mulai memperkenalkan diri sebagai seorang dosen. Bagiku ia lebih cocok main di serial drama asia, ketimbang menjadi dosen.
Mempesona, ia seorang wanita yang memiliki intonasi suara mengajar yang unik, Ia mengajar dengan baik juga menyenangkan untuk sebuah mata kuliah yang erat berhubungan dengan jurnal dan angka-angka itu. Ditambah lagi, ketika ia mengajar, pernah baju bagian bawahnya akan sedikit terangkat bila ia menulis di "whiteboard" beberapa sentimeter lebih tinggi dari kepalanya. Pinggang atas dan punggung bawah yang mulus itu; sungguh terpaksa tak bisa kami tolak, sebagai para mahasiswa penikmat keindahan wanita. Hal itu begitu jelas terlihat saat ia sedang menulis membelakangi kami.
Wow!! astaga, kuharap ia tidak menyadarinya, saat itu terjadi. Karena Rudi seorang teman yang duduk dekat denganku juga nampak terbelalak, kemudian dengan spontan seorang teman wanita disebelahnya, yang aku tahu cukup akrab dengannya berseru "ada apa sih!?", Rudi menjawab"Ya, Tuhan ampunilah dia karena dia tidak mengerti." Mendengarnya aku hanya tersenyum tenang, walau ngakak dalam hati. Namun naluriku dengan kuat tetap mengatakan kalau dosen cantik itu seorang wanita baik-baik.
***
Apa enaknya menjadi dosen? Seorang temanku cukup yakin, bahwa menjadi dosen itu menyenangkan. Ia memang berencana menjadi dosen, setelah menyelesaikan S3-nya, masih menjadi angan-angan baginya saat ini. Karena butuh biaya yang relatif tidak sedikit untuk itu. Sekitar Rp, 500.000.000,- sudah terkuras untuk menjadi seorang Doktor, katanya. Ibunya memang seorang Doktor, lulusan sebuah universitas negeri ternama di bilangan Depok, dan saat ini tengah sibuk menjadi dosen di beberapa universitas. Mungkin ia terinspirasi dari situ.
Nah, dari seorang dosen sendiri kira-kira ada beberapa hal positif seperti:
1. Ada kepuasan batin karena bisa mengajar sesuatu yang baik kepada orang lain. Bisa mewariskan sesuatu yang positif memang menyenangkan.
2. Karena sering melihat mahasiswa yang silih berganti, maka ada variasi sosial yang kontinyu. Hal ini menarik, karena tidak akan membuat hidup menjadi jenuh. Jadi bisa sekalian belajar menjadi peneliti "social human behavior."
3. Bisa buat aturan kelas, juga mengajar gaya dan kreatifitasnya sendiri. Ada yang sering "jalan-jalan" dan memberikan tugas yang akan dikumpulkan, bisa juga ceramah non-stop, ada juga yang presentasi kelompok. Ada yang "curhat" sebelum mengajar dengan serius, kadang curhatan bisa lebih banyak porsinya daripada bahan yang akan disampaikan, he he.
Maka itu, bagaimanapun juga siapa dosennya akan mempengarhui akan seperti apa mahasiswanya.
Memang seseorang merasa lebih nyaman dengan orang lain, jika orang tersebut dirasa akan mudah berempati dengan kita. Maka itu dibanding dengan dosen-dosen senior, maklum;dosen-dosen muda akan lebih cepat digandrungi, karena dirasa kurang-lebih akan mampu banyak memahami penderitaan mahasiswa.
Mungkin yang diharapkan dari seorang mahasiswa adalah si dosen akan dibuat merasa tidak enak jika tidak meluluskan mereka. Para dosen akan sering diajak "gaul", "diperhatikan" dan "dikagumi" selama mengajar dan berinteraksi dengan mahasiswa. Potensi itu dirasa kuat terjalin dengan dosen-dosen muda, ketimbang dengan para dosen senior yang telah berumur, bagiku mereka biasa terlihat dengan ciri khas rambut yang putih semua, ya; bisa jadi memang ingin menunjukan level senioritas dan pengalamannya dengan "hair style" seperti itu.
Hmm, dosen muda yang cantik, menjadi bagian dari kelas yang akan favorit dan dipenuhi oleh mahasiswa, terutama mahasiswa-mahasiswa yang sudah lama tidak lulus-lulus. Apa ini sebuah strategi dari universitas untuk menolong para mahasiswa yang sudah patah semangat, sudah mutung dengan mata kuliah yang menjadi suatu momok dalam perjalanan akademiknya?
Karena entah kenapa, tiba-tiba mahasiswa-mahasiswa yang dahulu selalu duduk manis di barisan ujung belakang tersebut, mulai asyik mengikuti pelajaran sambil aktif bertanya, jika si dosen pengajar terlihat "fresh and easy approachable".
Itu lah salah satu kenangan yang masih tersimpan saat masih asyik jadi mahasiswa. Jumlahnya memang sedikit, karena menjadi dosen butuh level akuntabilitas yang tinggi, dan hal ini bisa diraih dengan akumulasi pengalaman dan karier akademik yang rata-rata cukup panjang.Namun tetap saja, dosen muda yang cantik dan rendah hati memang selalu laris manis bagi para mahasiswa yang sudah "jenuh" kuliah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H