Jujur itu penting, dalam hidup ini perkara kejujuran memang selalu menarik untuk diuji. Perihal adanya soal "white lie" yang dianggap bisa mendingin-damaikan suasana namun tidak mengekspose akar rumput persoalan juga menjadi kajian yang tak usang. Mengapa mesti berbohong demi kebaikan? Karena kepepet? Jika tidak kepepet buat apa berbohong? Karena sudah berbohong sebelumnya. Bukankah kebohongan yang satu akan diikuti kebohongan lainnya yang mengalir bak sebuah efek domino. Atau mungkinkah sebuah candu bagi pihak tertentu?
[caption id="attachment_105670" align="aligncenter" width="300" caption="Candu USA Terhadap Minyak Bumi (by Google)"][/caption]
Mengapa jujur itu penting walau harus dibayar dengan "babak belur?" Karena kejujuran akan membawa kepada SOLUSI yang sejati, yang sejati artinya yang NYATA, yang RIIL. Tidak terus hidup dalam bayang-bayang dunia ilusioner dan halusinasi dibalik kebohongan-kebohongan yang akan menjerumuskan bagaikan pasir hisap yang terus menghisap makin dalam semakin Anda berusaha bergerak, berontak untuk membebaskan diri.
[caption id="attachment_105663" align="aligncenter" width="268" caption="Fenomena Quicksand (by Google)"][/caption]
Adalah suatu keheningan, kejernihan dari hiruk-pikuk alam pikiran dan dinamika sosial kehidupan yang akan membuat kita mampu mengambil suatu keputusan yang berintegritas, bukan hanya baik, namun juga bijaksana, dan menjadi suatu kerterwakilan akan siapa diri kita yang sesungguhnya, serta apa peran yang kita emban sebagai seorang manusia yang notabene telah lahir dan bertumbuh kembang selaras dengan putaran rotasi bola dunia.
Jujur juga bukan makanan yang bisa dibumbui jika rasanya nano-nano, so...biarlah dia tetap nano-nano, jika dia asin, biarkan dia tetap asin. Manis, asam, pahit,asin, hambar sekalipun tetap tidak menjadi persoalan berarti jika kita menerawang lewat sebuah kacamata kejujuran.
Jadi, apa yang akan membuat seseorang berlaku jujur? Dengan kasat mata ia telah melihat FAKTA, dengan telinga ia mendengar FAKTA, dengan hatinya ia telah meresapi FAKTA. Nyatanya, masih saja ada insan-insan yang memutar balikan fakta hanya karena tidak mampu menolak sesuatu yang membuat mata mereka menjadi "ijo" seijo warna dollar dari Negeri Paman Sam sana.
Body Language Menutup Mulut ala Pembohong (by Google)
Sebagai manusia, diakui memang ada kekhilafan. Namun tidaklah bijaksana, untuk menjadikan kekhilafan terus-menerus sebagai alasan dan pembenaran akan sebuah skenario dari kebohongan, yang bukannya diakui dan di REVISI bersama aksi pertobatan, tapi malah dengan kekeh-jumekeh ditindaklanjuti dengan adem ayem, alon-alon asal kelakon tidak menjadi mutiara dalam "case" ini, bahkan ia menjadi sampah, sampah yang bukan hanya kotor namun juga berbau sangat busuk.
Konon, kebohongan menjadi suatu mekanisme pertahan mental karena adanya perasaan tidak punya NYALI untuk menghadapi konsekuensi yang akan terjadi. Padahal dengan kejujuran, maka seseorang bisa menjadi besar jiwanya, bertumbuh demi kebaikan dirinya sendiri, bukan hanya untuk masa kini, namun juga bagi masa yang akan datang.
*[Ok, jika memang kejujuran itu sebegitu berharganya dan juga bermanfaat bagi subyek pelaku, namun mengapa masih ada saja mereka yang kecanduan dalam berbohong, apa bohong itu suatu seni? Ya, memang suatu seni, seni untuk mempersulit menjalani kehidupan.]*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H