Mohon tunggu...
Garis Demokratis
Garis Demokratis Mohon Tunggu... Relawan - Aktivis Pendidikan

Simpang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menggugat Lembaga Pendidikan

31 Agustus 2020   05:36 Diperbarui: 31 Agustus 2020   05:32 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendidikan sejatinya merupakan sebuah proses pemanusiaan manusia, maksudnya pendidikan haruslah menjadi sebuah ikhtiar atau usaha dalam penyadaran manusia terhadap hakikatnya sebagai manusia melalui pembangunan spritual, kecerdasan dan keterampilan serta penumbuhan akhlak mulia.

Sebagaimana yang tercantum dalam UU no.20 tahun 2003 bahwasannya "pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif menegembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara".

Dunia kependidikan dan kepelajaran tentu bukan hanya tanggung jawab pemerintah, namun juga menjadi tanggung jawab bersama, lembaga pendidikan, orang tua, dan lingkungan masyarakat. Dalam mencapai cita-cita pendidikan nasional, pemerintah tentu memerlukan bantuan seluruh elemen pendidikan, selain lembaga pendidikan sebagai pelaksana teknis, Peran orang tua sebagai fondasi utama karakter pelajar dan masyarakat sebagai ruang aktifitas keseharian pelajar sangat dibutuhkan perannya.

Dalam menciptakan karakter pelajar yang sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan nasional, keempat elemen tersebut perlu beriringan dan tidak bisa terlepas satu sama lain, pasalnya aktifitas pelajar yang luas, bukan hanya rumah, lingkungan ataupun sekolah saja tapi ketiganya bisa langsung bersentuhan dalam satu hari, dengan begitu perlu ada penekanan pembentukan karakter pelajar di setiap ruang aktifitas pelajar dimana pun.

Beberapa hari ini dunia pendidikan Indonesia diramaikan kembali oleh kasus pemecatan (paksa) Anggota Osis (Siswa) SMAN 1 semarang, yang dinilai telah melakukan kekerasan di dalam praktek LDK. Kasus tersebut seolah menjadi bom PR (lagi) bagi pemerintah dan lembaga lembaga pendidikan di indonesia, pasalnya belum selesai persoalan formulasi pendidikan indonesia, dunia kepelajaran malah terus menerus diramaikan kasus-kasus dalam praktek pendidikan penerus bangsa.

Kasus ini bukanlah kasus pertama di tahun 2017, sudah banyak kasus sebelumnya yang hampir serupa baik di kalangan siswa maupun mahasiswa yang masih berada dalam cangkupan seorang Pelajar.
Dalam sumber yang didapat (Liputan6.com dan detik.com) dua pelaku Yang dianggap melakukan kekerasan dala LDK di Sman 1 Semarang dipastikan akan diberi "sanksi" dikembalikan pada orang tuanya atau dikeluarkan dari sekolah yang bersangkutan sisanya 7 siswa di berikan skorsing.

Pemecatan terhadap Pelajajar yang dianggap telah melakukan kekerasan sama saja seolah menganggap pelaku telah melakukan tindak kriminal, jikapun itu tindakan kriminal dan menyimpang dari cita cita pendidikan nasional siapa yang harus bertanggung jawab? Bukankah untuk menjadi pelajar yang berahlak mulia tidak bisa dilakukan secara otodidak? Jelas perlu ada yang mengarahkan baik pemerintah, sekolah, orang tua, ataupun masyarakat luas.

Sekolah sebagai salah satu lembaga yang mengemban amanah pendidikan dalam menyadarkan pelajar sebagai seorang manusia dan memiliki tugas dalam membangun karakter pelajar yang sesuai dengan etika serta norma-norma di masyarakat seharusnya mampu menjaga dan membina serta mengarahkan prilaku pelajar di jam-jam tertentu yang mampu berdampak hingga ke keseharian pelajar dalam bersosial. Artinya sudah menjadi sebuah kewajiban bagi sekolah untuk mengarahkan prilaku pelajar agar dapat mencerminkan seorang terpelajar yang berahlak mulia, sekolah tidak bisa berlepas tanggung jawab dari persoalan-persoalan penyimpangan prilaku pelajar.

Selain itu jika memang Pelajar telah melakukan tindak kekerasan yang dianggap merupakan salah satu persoalan penyimpangan prilaku pelajar, walaupun pada dasarnya dilakukan diluar  jam sekolah, bukan berarti sekolah sebagai lembaga penyadaran bisa angkat tangan dalam kasus ini, apalagi dengan sewenang wenang memberikan sangsi pemecatan pada pelaku. Dalam kasus ini, Sekolah seharusnya mengambil peran yang lebih dalam penyelesaian moral pelajar dan menyadari bahwa prilaku tersebut lahir sebagai bentuk kegagalan lembaga-lembaga pendidikan baik sekolah, pemerintah, orang tua hingga masayarakat luas dalam melakukan penyadaran terhadap pelajar.

Pelanggaran besar kemanusiaan jika pada prakteknya pelaku penyimpangan oleh pelajar selalu mendapatkan sangsi pengasingan baik oleh sekolah ataupun lingkungan masyarakat. Penyelesaian perilaku pelaku penyimpangan sebagai bentuk ketidak tahuan pelajar, tidak bisa selalu hanya ditekankan dan di selasaikan oleh para orang tua, perlu ada penekanan lain dari sekolah dan lingkungan.

Oleh karna itu, pemecatan terhadap pelaku penyimpangan pelajar oleh sekolah baik disadari ataupun tidak ini merupakan kejahatan pendidikan, karna dengan dilakukannya pemecatan terhadap pelaku penyimpangan prilaku pelajar, artinya telah melakukan pembiaran terhadap kesalahan-kesalahan pelajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun