[caption id="" align="aligncenter" width="544" caption="Firman Utina/ Dok. Tribunnews.com"][/caption] Hampir satu dekade Firman Utina menyandang gelar tak resmi sebagi gelandang terbaik di Indonesia. Berbekal visi gemilang sebagai playmaker, banyak klub besar telah merasakan servis pemain kelahiran Manado ini, sebelum akhirnya bergabung bersama Persib Bandung. Saya ingat betul bagaimana dia seorang diri menghancurkan Persija di final Copa Indonesia 2005, lewat torehan hattrick-nya. Ketika itu dirinya adalah seorang Advanced Playmaker, orientasinya adalah menyerang. Atau kita bisa melihat bagaimana dengan umpan dan kreasinya berhasil memporak-porandakan Bahrain di Piala Asia 2007. Satu sepakan kerasnya mengenai mistang, dan bola rebound disambar Bambang Pamungkas dan menjadi gol kemenangan. Firman pun dianugerahi Man Of The Match. Pemain yang hebat adalah pemain yang mampu beradaptasi, termasuk penurunan kondisi fisik. Sadar jika kecepatannya sudah jauh berkurang, Alfred Riedl pada AFF 2010, mulai mencoba peran baru pada jebolan Persma Manado ini. Jika sebelumnya dia condong bergerak bebas dalam menyerang, atau ‘pemain nomor 10’, kali ini dia digeser lebih kedalam. Dalam formasi 4-4-2, Firman berduet dengan Ahmad Bustomi sebagai poros ganda. Riedl berpikiran, meski tak lagi eksplosif menurun, namun dengan kelihainya mengatur permainan, dia akan tetap berguna sebagai deep –lying-playmaker. Apalagi dengan usianya yang menginjak usia emas pesepakbola, diharapkan mantan anak kesayangan Benny Dollo ini mampu bermain lebih taktis, sekaligus sebagai jendral permainan. Posisi berubah, namun kualitas tetap prima. Timnas Indonesia diantarkannya melaju hingga ke final. Kombinasinya dengan Bustomi pun terbilang bagus. Suami dari Marita Yustika ini pun berhasil meredam egonya untuk bermain menyerang. Dia sadar, jika saja dia terlalu agresif justru akan meninggalkan lubang di lini tengah. Dia pun lebih mengasah visinya, agar perannya sebagai pengatur serangan tak lantas meninggalkan tanggunng jawabnya sebagai penyeimbang di lini vital tersebut. Hasilnya luar biasa. Gelar pemain terbaik sukses disabet, meski akhirnya Indonesia hanya puas sebagai runner-up. Namun umur tak bisa dibohongi, meski masih memiliki kecakapan sebagai pengumpan handal, kemampuan fisiknya sudah jauh berkurang. Jika di Piala AFF 2010 dirinya masih mampu untuk berduel fisik atau kecepatan, maka diumurnya yang menginjak 32 tahun, jelas hal tersebut sulit untuk dilakukan. Meski dia masih mampu menjadi dirigen permainan, namun dia tak bisa lagi diandalkan sebagai sumber fantasi. Aksinya berlari melewati pemain lawan, sudah jarang dilakukan. Untunglah Persib punya Makan Konate yang sering tampil sebagai pembeda. Peran yang sebenernya dulu diemban Firman di masa jayanya. Digeser sebagai pivot ganda dalam formasi 4-2-3-1 pun bukan opsi ideal. Markingnya kendor, tekelnya pun tak istimewa, dan jika menghadapi gelandang dengan pergerakan liar dan eksplosif dirinya sering kedodoran, contohnya saat melawan Arema dengan Gustavo Lopez-nya. Bahkan kerap kali justru Konate yang harus mundur untuk menemani Hariono atau Taufiq untuk melindungi pertahanan dari gempuran lawan. Padahal lumrah diketahui area terbaik Konate adalah sepertiga akhir pertahanan lawan. Lantas jika begitu, mengapa Firman masih dipertahankan sebagai pemain utama? Tak bisa dipungkiri, sebuah tim membutuhkan figur bermental kuat, untuk mengadapi situasi sulit, dan Firman memiliki hal tersebut. Pengalaman 15 tahun di level top sepakbola dalam negeri, 60 caps bersama tim garuda, 1 gelar Copa Indonesia bersama Arema, dan 1 gelar Liga Indonesia, jelas membuktikan kapasitasnya. Apalagi dia pernah menjabat sebagai kapten timnas di turnamen besar, seperti AFF. Jelas ini diperlukan untuk tim seperti Persib, tim yang memiliki segudang pemain hebat, namun secara track record individual pemain minim pengalaman menjadi kampiun. Apalagi yang dihadapi adalah Persipura. Tima juara bertahan, yang tentu saja mental juaranya telah terbentuk. Jika tidak mana mungkin mereka bisa kembali ke form terbaik, setelah terpuruk pada awal putaran 8 besar. Menghadapi tim seperti inilah diperlukan mental baja, dan hal tersebut dimiliki Firman. Selain itu, visi seorang Firman masih dibutuhkan. Untuk mempercepat transisi untuk menghasilkan serangan balik cepat via sayap, diperlukan distributor jempolan. Belum lagi eksekusi bola mati yang kerap berbuah gol, baik dari tendangan penjuru yang jadi spesialisai Vujovic, atau tendangan bebas yang kerap dieksekusi sendi i oleh Firman. Tapi yang jadi permasalahan adalah bagaimana taktik yang dimainkan oleh Persipura. Tim Mutiara Hitam menerapkkan pola 4-3-1-2, dimana satu gelandang serang yang biasa ditempati Pugliara dan duet striker Boaz dan Tibo (kemungkinan digantikan Ian Kabes) bermain begitu cair. Ketiganya jarang berada dikotak penalti, namun memilih membuat limbung lini tengah lawan, lalu dengan skill dan kecepatan yang dimiliki merekan akan memporak-porandakan pertahanan musuh. Sedangkan trio gelandang yang diisi Lim Jun Sik-Gerald Pangkali-Immanuel Wanngai, berfokus menjaga kedalaman, dan membuat lini serang teta berada di final third. Mereka juga bertugas menuntup sektor sayap, sebab kedua full back Persipura pun sangat agresif membantu serangan. Disinilah kelemahan Firman sebagai pivot bakal terekspos. Menghadapi serbuan lini serang Persipura yang licin nan eksplosif jelas membutuhkan keberanian untuk berduel. Hariono adalah opsi yang pas, ini berkaitan dengan naluri destroyer yang dimiliknya. Tapi sebaliknya, bisa jadi Firman akan menjadi ‘kartu as’ Persib dalam melakukan serangan balik. Umpan panjangnya jitunya ke sisi sayap yang kerap ditinnggal oleh Tinus Pae dan Ruben Sanadi, tentu akan jadi senjata mematikan. Lantas apa opsi yang akan diambil Djajang Nurjaman? Menepikan Firman untuk meladeni ekplosifitas Persipuran di final third dengan resiko Persib akan kehilangan sosok pemimpin dilapangan, sekaligus penyuplai bola handal ? Atau tetap memainkan Firman dengan resiko mematikan peran Konate, sebab barang tentu pemain asal Mali ini akan cenderung membantu pertahanan ? Nasib Musim Depan dan Posisi Timnas Jika di Persib dirinya masih relatif aman, namun di timnas ceritanya lain lagi. Kompetitornya adalah Evan Dimas, yang tak hanya Firman Utina 2.0, tapi juga versi lengkap dari sang senior. Pemain Persebaya ini memiliki kemampuan bertahan dan menyerang sama baiknya. Dia pun kerap melepaskan pinpoint pass, dan ini jadi salah satu keahliannya. Belum lagi ketajamannya yang patut diacungi jempol. Sedangkan untuk bermain agak kedalam, Firman harus bersaing dengan Hariono, Raphael Maitimo, dan mantan tandemnya Ahmad Bustomi. Ini jelas tak mudah. Ketiganya memiliki syarat untuk mengisi posisi pivot ganda, dalam formasi 4-2-3-1 yang akhir-akhir ini sering dimainkan Riedl. Bersama Persib pun bisa jadi posisinya belum aman untuk musim depan. Moncernya Konate, dan konsistennya Taufiq jelas jadi alarm bagi Firman. Belum lagi dengan semakin bagusnya penapilan Agung Pribadi. Untung saja Hargianto dan Zulfiandi telah lebih dulu dikontrak Persebaya (berkhayal sedikit). Jika salah satu dari keduanya direkrut oleh Maung Bandung, bisa jadi karir Firman di kota kembang akan tamat. Namun seperti yang telah disinggung. Pengalaman segudang lah yang membuat Firman tetap jadi prioritas. Meski harus diakui, Firman telah menjadi dilema tersendiri. Firman telah menjadi kapten dilematis. Final Jumat nanti (7/11) pun memiliki arti lebih bagi Firman. Bisa jadi dengan trofi, posisinya akan terjamin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H