Mohon tunggu...
Garinda Garinda Almaduta
Garinda Garinda Almaduta Mohon Tunggu... -

Lelaki di awal kepala 3.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Singkat Wirasaba hingga Karesidenan Banyumas (2/2)

9 Desember 2016   23:07 Diperbarui: 10 Desember 2016   21:55 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejarah Singkat Banjar Pertambakan, Banjar Watulembu hingga Banjarnegara

Pada pemerintahan Yudanegara I, Ngabei Banyakwide di angkat menjadi Kliwon Banyumas yang selanjutnya ditugaskan di Banjar Pertambakan. Sumber lain menyebutkan bahwa Banyakwide adalah Adipati Banjar Petambakan I sesudah pemerintahan Ngabei Wirayuda.1

Banyakwide mempunyai putra: 1. Kyai Ngabei Mangunyuda. 2. R. Kenthol Kertayudha. 3. R. Bagus Brata. 4. Mas Ajeng Basiah.1 Mangunyudha menggantikan ayahnya dan menjadi Adipati Banjar Pertambakan dengan gelar Adipati Mangunyudha I dan di kenal sebagai Mangunyuda Sedaloji karena gugur di Loji  Belanda Kertosuro pada peristiwa Geger Pecinan (1743).2 Mangunyudha I dimakamkan di Banjar Petambakan. Mangunyudha I digantikan oleh adiknya R. Kenthol Kertayudha dengan Gelar Hadipati Mangunyudha II. Seperti tertulis dalam Fauziah (2012), pada kepemimpinan Mangunyudha II  pusat pemerintahan dipindahkan ke Banjar Watu Lembu (sekarang Banjarmangu).1

Mangunyuda II juga dikenal sebagai Tumenggung Kertanegara III atau Mangunyuda Mukti. Mangunyudha II digantikan oleh puteranya, Ngabei Mangunyudo III yang kemudian berganti nama menjadi Ngabei Mangunbroto. 3 Setelah perang Diponegoro Kabupaten Banjar Watulembu diturunkan statusnya menjadi Distrik. Pada tahun 1831 Mangunbrata ditemukan meninggal dunia secara tidak wajar, yaitu bunuh diri dengan cara menusuk perutnya. Ngabei Mangunsubrata putra Mangunbrata dan Ngabei Ranudireja selanjutnya memimpin Distrik Banjar sebagai  dua penguasa.3

Dalam perang Diponegoro, Ngabei Dipayudha  yang saat itu menjadi ngabei Ayah distrik Adireja karena jasanya di usulkan kepada Susuhunan Paku Buwana ke VII untuk ditetapkan mengisi Jabatan Banjar Watulembu (yang berkedudukan di Banjarmangu) yang telah di hapus statusnya. Resolutie Governuer General Buitenzorg tanggal 22 Agustus 1831 Nomor I, mengangkat Ngabei Dipayuda yang selanjutnya bergelar R.T. Dipayudha IV.1  Dalam tulisan Priyadi (2006), Mas Kadirman (nama kecil dari Dipayuda IV atau Dipayuda Banjarnegara) adalah putra Ngabehi Dipawidjaya yang menikah dengan putri Dipayuda II Seda Banda.4 Dipawijaya (nama kecil Bagus Gugu setelah pensiun dikenal sebagai Dipamenggala) adalah anak bungsu Dipayuda I Seda Jenar.5  Ngabehi Dipadiwirya  seorang Demang di Ngayah-Adireja  juga adik Dipayuda IV selanjutnya diangkat menjadi Patih Banjar Watulembu.6 

Pada era Dipayudha IV ini Pusat Pemerintahan dipindahkan ke Selatan Sungai Serayu di daerah pesawahan yang cukup lebar (Banjar) dan di namakan  Banjarnegara (Banjar= sawah; Negara= kota).1 Dipayuda IV menjabat Bupati sampai tahun 1846 kemudian diangkatlah Raden Adipati Dipadiningrat sebagai penggantinya.3  Dipadiningrat memerintah hingga pensiun tahun 1878, setelah itu digantikan oleh Mas Ngabehi Atmadipura Patih Kabupaten Purworejo yang setelah menjadi bupati di Banjarnegara bergelar Tumenggung Jayanegara I. Pada saat ia memerintah, pada tahun 1884 sistem irigasi modern pertama di bangun di Banjarnegara dan diberi nama irigasi Singamerta.3

Sejarah Singkat Merden, Onje, Prabalingga hingga Purbalingga

Daerah Merden (wilayah ex Kawedanan Purworejo Klampok) ini pernah menjadi bagian dari Kadipaten Wirasaba sebelum dibagi empat pada kepemimpinan Wargahutama. Selanjutnya daerah Merden dipimpin Wira Kusuma  putra ke 2 Wargahutama I. Wira Kusuma juga dikenal sebagai oleh Ki Gede Senon sehingga pada versi lain nama Merden juga dikenal sebagai Senon. Tidak ada catatan sejarah yang lengkap sehingga pembahasan merden tidak bisa mendalam. Menurut sumber yang ada di era Yudanegara III diangkatlah Bagus Demang sebagai Ngabehi Merden. Bagus Demang masih terhitung sebagai adik Yudanegara III. Sumber lain juga menyebutkan Bagus Luwar putra Dipayuda Seda Jenar setelah dewasa bernama Kertayuda mendapat kedudukan di Marden.4 Kertayuda meninggal di era Dipayuda III. Merden selanjutnya di bawah kepemimpinan Tumenggung Karang Lewas hingga terbentuknya Kabupaten Purbalingga. Dan di tahun 1936, distrik Purwareja-Klampok (Wilayah Merden) dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Banjarnegara.

Wisnandari (2007) dalam karangan ilmiahnya menyebutkan tentang pengangkatan Ki Ageng Ore-ore sebagai Adipati Onje pertama oleh Sultan Pajang Hadiwijaya dan daerah Onje (sekarang terletak di daerah Kecamatan Mrebet). Dalam telaah yang sama disebutkan selain diangkat menjadi Adipati Onje juga mendapatkan istri dan punakawan. Putra Adipati Onje bernama Wiraguna dari istri yang berasal dari daerah Onje diangkat sebagai Patih Onje.7  Selanjutnya setelah wafatnya Adipati Onje I putra tiri dari istri yang berasal dari Pajang menggantikan sebagai Adipati Onje II atau dikenal sebagai Adipati Anyakrapati.7 Catatan lain juga menyebutkan di akhir Perang mangkubumi, Kadipaten Onje yang dibawah kekuasaan Surakarta selanjutnya dijadikan perdikan dibawah Merden oleh PB I.  Pada saat itu yang memimpin Merden adalah Ngabei Dhenok. Menurut Priyadi (2006) Ngabei Denok adalah Ngabehi Dipayuda I.8 Namun versi lain menyebutkan Ngabehi Denok adalah Bagus Demang sedangkan Dipayuda I memimpin daerah Karang Lewas. Bagus Demang dan Dipayuda I adalah anak dari Yudanegara II. Dari daftar silsilah yang dimiliki penulis, Yudanegara III, Bagus Demang dan Dipayuda I adalah kakak beradik beda Ibu. Onje, Merden dan Karang Lewas diduga berada di bawah pemerintahan Banyumas yang dipimpin Yudanegara III. Onje, Merden dan Karang Lewas menjadi wilayah Banyumas terjadi diduga sejak era Yudabangsa (Yudanegara I).

Adipati Onje II memiliki putra bernama Arsakusuma kelak dewasa bernama Arsantaka. Arsantaka menikahi 2 orang perempuan. Istri pertama berasal dari daerah merden dikenal sebagai Nyai Merden dan istri kedua bernama berasal dari daerah Kedung lumbu dikenal sebagai Nyai Kedung Lumbu.

Arsantaka menjadi demang di Kademangan Pagendolan (sekarang desa Masaran), suatu wilayah yang masih berada dibawah Karanglewas (sekarang kecamatan Kutasari, Purbalingga) yang dipimpin oleh Dipayuda I pada kurun waktu 1740 – 1760.3 Dalam perang jenar, Arsantaka berada didalam pasukan kadipaten Banyumas yang membela Paku Buwono.

Kedudukan Dipayuda I selanjutnya digantikan putera dari Tumenggung Yudanegara III dengan gelar Tumenggung Dipayuda II.  Atas jasanya menemukan jenazah Dipayuda I dalam Perang Jenar selanjutnya Arsantaka diangkat menjadi Umbul Demang (kepala demang). Tumenggung Yudanegara III juga mengambil menantu putera Arsantaka dari istri pertama yaitu Arsayuda. 9 Bahkan Arsayuda anak Arsantaka diangkat menjadi Patih Karanglewas mendampingi Dipayuda II.8

Karena sakit-sakitan, Raden Tumenggung Dipayuda II, tidak lama menjabat Ngabehi Karanglewas (tahun 1755-1758).9 Kelak Dipayuda II dikenal sebagai Dipayuda Seda Benda. Patih Arsayuda diangkat sebagai pengganti Dipayuda II sebagai Tumenggung Karanglewas dengan bergelar Dipayuda III (1759-1787). Pada era Dipayuda III pusat pemerintahan dipindah dari Karanglewas ke desa Prabalingga. 3 Dipayuda III menjadi pemimpin daerah yang kelak dikenal sebagai Purbalingga. Putera Arsantaka  dari istri kedua yaitu Mas Candrawijaya  kemudian hari diangkat menjadi Patih Purbalingga.

Dipayuda III digantikan Ngabehi Yudakusuma putra Yudanegara IV sebagai pejabat sementara (1787-1792). Selanjutnya pemerintahan digantikan putra Dipayuda III dari garwa selir yaitu Tumenggung Dipakusuma I. Dipakusuma I diangkat dan menjabat pada tahun 1792-1811. Dipakusuma digantikan Tumenggung Bratasudira pada tahun 1811-1831. Bratasudira adalah putra Dipakusuma I yang juga dikenal sebagai Danakusuma.

Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Tumenggung Dipakusuma II diangkat yang menjabat pada kurun waktu 1831-1846. Selanjutnya berturut turut digantikan oleh Dipakusuma IV (1868-1883) dan Dipakusuma V atau dikenal sebagai Kanjeng Candiwulan (1883-1899). Dipakusuma V  digantikan oleh Tumenggung Dipakusuma VI yang menjabat pada tahun 1899-1925.

Era Karesidenan Banyumas dan Transisi Dayeuh Luhur menjadi Cilacap

Perang Jawa atau dikenal dengan Perang Diponegoro (1825-1830) menyebabkan terjadinya perubahan hubungan patron-klien dari kekuasaan Mataram (Surakarta) beralih ketangan pemerintah kolonial Hindia Belanda.10  Terhitung sejak 22 Juni 1830 daerah mancanegara Kulon ini secara politis masuk di bawah control pemerintah kolonial Hindia-Belanda.11 Peningkatan status Banyumas dari Kadipaten menjadi Karesidenan telah membuat perubahan dalam sistem perpolitikan Banyumas dimana sebelumnya bupati menjadi penguasa tertinggi di kadipaten berganti menjadi residen yang dibantu oleh asisten residen yang dijabat oleh Bangsa Belanda.12

Pemerintahan di wilayah Banyumas diatur berdasarkan Konstitusi Nederland yang pada pasal 62 ayat 2 disebutkan bahwa pemerintahan umum di Hindia Belanda dilakukan oleh Gubernur Jenderal atas nama kerajaan Belanda. Gubernur Jenderal adalah kepala eksekutif yang berhak mengangkat serta memberhentikan para pejabat di Hindia Belanda, termasuk para Adipatinya.13 Gubernur Jenderal Johannes Graaf van den Bosch (1830-1833) membuat surat keputusan berupa rencana pembentukan Karesidenan, afdeeling, dan kabupaten di Karesidenan Banyumas tertanggal 18 Desember 1830 yang hanya menyebut empat kabupaten, yaitu Banjoemas (Banyumas), Adji-Baran (Ajibarang), Daijoe-Loehoer (Dayeuhluhur), dan Prabalingga (Purbalingga).14

Karesidenan Banyumas diperluas dengan memasukkan Distrik Karang Kobar, Pulau Nusa Kambangan, Madura (sebelumnya masuk wilayah Cirebon) dan karangsari (sebelumnya masuk wilayah Tegal).11

Kemudian dengan adanya Resolutie Governuer General Buitenzorg tanggal 22 Agustus 1831 Nomor I salah satunya tentang pembentukan Kabupaten Banjarnegara, Struktur pemerintahan di wilayah Banyumas mengalami perubahan dan perombakan secara total. Wilayah Banyumas dibagi menjadi lima kabupaten dan saat itulah dimulainya jabatan Residen dan Asisten Residen yang dijabat oleh orang Belanda di Banyumas 10 Resolutie van den 22 Agustus 1831, No.1 telah diangkat 5 orang pejabat bupati di Karesidenan Banyumas, yakni (1) Ngabehi Cakranegara dari Purwokerto diangkat menjadi bupati Banyumas, (2) Raden Tumenggung Mertadiredja II, Wedana Bupati Kanoman Banyumas diangkat menjadi Bupati Ajibarang, (3) Ngabehi Dipayuda dari Ngayah diangkat menjadi Bupati Banjarnegara, (4) Tumenggung Prawiranegara tetap di Dayeuhluhur, dan (5) Tumenggung Dipakusuma tetap di Purbalingga.14

Karena dianggap memihak P. Diponegoro Tumenggung Prawiranegara dipecat dari kedudukannya dan kemudian dibuang ke Pulau Banda. Sesuai dengan surat Asisten Residen Ajibarang pada tanggal 24 Oktober 1831 no 184, Bupati Ajibarang diberi kuasa Kabupaten Dayu-Luhur. Lowongan jabatan Bupati Dayu-Luhur ditiadakan sehingga Kabupaten Dayu Luhur bersama Kabupaten Ajibarang merupakan satu Afdeling Ajibarang dengan ibukota Ajibarang. Kabupaten Dayu-Luhur yang baru 2 bulan dikukuhkan, merosot statusnya menjadi Kepatihan (Pattehschap) Dayu-Luhur.15 Pada tahun 1832 terjadi pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Ajibarang ke distrik Purwokerto yang selanjutnya disebut sebagai Kabupaten Purwokerto.12

Pada tahun 1841 Kepatihan (Pattehschap) Dayu-Luhur dipisahkan dari Kabupaten Purwokerto dan Distrik Adireja dipisahkan dari Kabupaten Banyumas, dan dijadikan satu Afdeling tersendiri yaitu Afdeling Cilacap dengan ibukota Cilacap.15 Selanjutnya dalam Staatblad No.113 tahun 1883 Regentie Banjoemas (Karesidenan banyumas) terdiri dari regentschap/ afdelingsebagai berikut : 1. Banjoemas (Banyumas), 2. Poerwakerta (Purwokerto), 3. Poerbalingga (Purbalingga), 4. Bandjarnegara (Banjarnegara) dan 5. CilaCap(Cilacap).

Pada tanggal 1 Januari 1936  wilayah Karesidenan Banyumas diatur kembali oleh Pemerintah Hindia Belanda, yaitu hanya terdiri dari empat kabupaten: Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, dan Banyumas. Pada waktu itu Kabupaten Purwokerto dihapus dan dilebur kedalam Kabupaten Banyumas. 12 Ibu kota karesidenan dan kabupaten Banyumas dipindahkan ke Purwokerto pada tanggal 26 Pebruari 1936. Pendapa Si Panji dipindahkan ke Purwokerto pada bulan Januari 1937.14

DAFTAR BACAAN

1.         Fauziyah EN. Prosesi Upacara Kirab Panji Lambang Daerah Banjarnegara di Kabupaten Banjarnegara [Skripsi]. Yogyakarta: UNY; 2012.

2.         Semangat Juang Adipati Mangunyudo. (Accessed at

3.         Dari Banjar Petambakan Menuju Banjar Negara. (Accessed at

4.         Priyadi S. Konflik Sosial Masyarakat Perdesaan di Purbalingga dan Banyumas. Humaniora 2006;18:165 - 77.

5.         Kompleks Makam Yudanegara II Banyumas. (Accessed athttp://www.thearoengbinangproject.com/kompleks-makam-yudanegara-ii-banyumas/.)

6.         Patih R.Aria Wirjaatmadja dan RMS.Brotodiredjo(01). Kompasiana. (Accessed athttp://www.kompasiana.com/anklbrat/patih-r-aria-wirjaatmadja-dan-rms-brotodiredjo-01.)

7.         Wisnandari D. Cerita Adipati Onje dalam Naskah-Naskah Babad [SKRIPSI]. Semarang: Universitas Negeri Semarang 2007.

8.         Priyadi S. Tabu Nikah Pada Masyarakat Onje-Cipaku di Purbalingga. Jurnal Penelitian Humaniora 2006;7:202-20.

9.         Sejarah Purbalingga (19) : Kiai Arsantaka. (Accessed at

10.       Saptono. Banyumas: Sebuah Tinjauan Historis.

11.       Asal Mula Wong Banyumas. (Accessed at https://kluban.net/asal-mula-wong-banyumas.)

12.       Armando R. Dari Kadipaten ke Karesidenan (Sejarah Perkembangan Pemerintahan Banyumas dari tahun 1800-1950) [Tinjauan Pustaka]. Denpasar: Universitas Udayana; 2012.

13.       Asal Mula Wong Banyumas. (Accessed athttp://ongrosyadi.wordpress.com/2010/03/19/asal-mula-wong-banyumas/.)

14.       Priyadi S. Sejarah Kota Purwokerto. Jurnal Penelitian Humaniora 2008;9:106-18.

15.       sejarah dayeuhluhur dari awal sampai akhir. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun