Mohon tunggu...
Garda Santri
Garda Santri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Polemik Reuni 212 dan Politik Angka-angka

5 Desember 2018   21:55 Diperbarui: 6 Desember 2018   12:31 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Reuni Akbar 212 di area Monumen Nasional (Monas) pada Minggu (2/12) lalu, menuai polemik dan keributan. Ironisnya, yang diributakan soal substansi acara itu, melainkan lebih di soal jumlah peserta. Hanya soal angka-angka.

Berbagai pun saling klaim berbeda-beda soal jumlah peserta Reuni 212. Ketua Pusat Media Reuni 212 Novel Bamukmin memperkirakan ada tiga juta. Ketua Panitia Reuni Akbar Mujahid 212 Bernard Abdul Jabbar menyebut lebih dari tujuh juta orang.

Prabowo Subianto saat berpidato tak menyebut angka pasti. Ia hanya menyebut ada jutaan orang yang hadir. Bahkan, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyebutkan bahwa Reuni 212 itu perhelatan terbesar di Planet Bumi.

Namun, Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menyebutkan peserta Reuni 212 hanya sekitar 40 ribu orang saja. Dalam penelusuran ilmiah media daring Tirto, jumlah peserta Reuni 212 diperkirakan sebanyak 429.431 orang dalam keadaan padat, dan 772.976 orang dalam kerumunan amat padat.

Sungguh miris. Politik di Indonesia baru sebatas angka-angka, belum beranjak ke arah politik gagasan. Itulah yang oleh Gus Hans, disebut bahwa angka dan huruf atau simbol masih dianggap menjadi hal yang sangat penting melebihi esensi dan isi. Isu dan program dari kegiatan tersebut tak lagi penting.

Menurut Gus Hans seperti dilansir SantriNews.com, politik kita masih berkutat pada angka-angka, masih belum pada maqom makna-makna. Orang perorang dihitung hanya sebagai nominal jumlah segumpal daging yang bernyawa (kuantitatif), masih belum pada tataran nilai-nilai makhluk Illahi yang Mulia (kualitatif).

Sekumpulan orang masih dilihat dalam kata "berapa" masih belum "siapa".

"Politik angka-angka" ini, kata Gus Hans di SantriNews.com, masih merasa perlu dilakukan bisa jadi karena pendekatan politik identitas saja masih belum dirasa kuat dalam mengagregasi kepentingannya terlebih setelah mengeksploitasi simbol-simbol menjadi bahan jualannya.

Politik kita memang masih belum pada tataran gagasan dan ide-ide yang menyegarkan, entah karena para elitnya yang enggan melakukan atau karena para elit sedang mengikuti selera pasar?.

Padahala, menurut Gus Hans di SantriNews.com, politik itu perlu "siasat" mengambil dari bahasa Arab "assiyasah" yang artinya politik. Setahu saya berpolitik itu harus menggunakan siasat dan siasat itu butuh strategi. Politisi "profesional" biasanya tidak pernah memverbalkan maksud atau goal utamanya, tetapi goalnya tercapai.

"Para ulama terdahulu adalah politisi ulung yang negarawan, mereka rela mereduksi ego untuk tidak mengutamakan simbol-simbol tapi lebih pada esensi, maka lahirlah PANCASILA bukan PIAGAM JAKARTA," tulis Gus Hans diSantriNews.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun