“Naskahku yang sedang Akang baca berkisah tentang Komarudin alias Yang Chil Sung . Sungguh tak banyak lagi diingat orang”.
“Jangan cerita dulu, aku tamatkan membaca naskah ini!” Kang Pidin meminta.
Pikiranku melayang ke empat puluh tahun yang lalu di daerah Garut Kota ini. Peristiwa tragis seorang mualaf yang menemukan kehidupan di Garut yang berakhir di tegalan “Kherkoff” , lapangan “Gelora Merdeka” saat ini. Serdadu asal Korea yang dianggap sebagai tentara Jepang itu gugur, setelah dieksekusi Belanda, 10 Agustus 1949. Keunikannya jelas, seorang serdadu Korea, menikah dengan penduduk setempat, masuk Islam, dan mati demi membela tanah airnya yang baru. Apapun kata orang, menurutku bukan. Bukan tanah air yang dia bela. Dia bukanasal mati, dia martir, syahid. Setiap orang berucap syahadat, dia ahli surga, darimana pun asal orang tuanya.
Ini catatan seorang wartawan yang berusaha mengangkatnya menjadi seorang pahlawan.
“Kepergian Yang Chil Sung, lalu mengalirkan serpihan kenangan perjuangan yang amat dramatis. Tentu, karena pemerintah Belanda memvonis hukuman mati itu untuk tiga serdadu Jepang, yang berganti nama Indonesia. Mereka terdiri dari Komarudin, Abubakar, dan Usman. Ketiganya aktif membantu aksi gerilyawan kemerdekaan Indonesia.”
Namun Komarudin alias Yanagawa Sichisci, diketahui kemudian bernama asli Yang Chil Sung, tentara dari Korea. Hanya Abubakar dan Usman, serdadu Jepang yang bernama asli Hasegawa dan Masashiro Aoki.
Mereka bersama Komarudin, bergabung ke dalam pasukan “Pangeran Papak” Markas Besar Gerilya Galunggung (MBGG) pimpinan Mayor Kosasih, yang bermarkas di Kecamatan Wanaraja, Garut. Dengan pasukan itu pula, mereka pernah ikut tempur dalam peristiwa Bandung Lautan Api.”
“Sudah selesai!”. Kang Hafidzin mengagetkan lamunanku.
Naskah rekaan tentara korea yang aku buat itu tidak terlalu panjang, hanya lima halaman. Aku dan orang asing di sebelahku memperhatikan raut muka temanku yang baru saja tenggelam dalam tulisan itu. Dengan menarik nafas dan menghembuskannya ia letakkan naskah itu ke pangkuanku dengan hati-hati, seakan takut pecah, menatap aku dengan mata berkilau.
“Tak kusangka kau mempunyai pikiran seperti itu,” katanya memberi komentar.
Aku sudah kuatir jangan-jangan ia menyebut Komarudin, atau Darusl Islam. Dan dia tidak menyebut satu nama.