Mohon tunggu...
Luqman Abdul Chalik
Luqman Abdul Chalik Mohon Tunggu... -

tinggal di Bandung, suka barang-barang antik

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Meniti Jalur Kiri (3)

26 April 2013   10:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:34 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Apa nama Stasiun setelah ini?” tanyaku dalam bahasa Sundakepada kendektur berjambang bak Si Raja Dangdut.

Matanya terkaget-kaget karena ketambahan tugas:

“Cicalengka”. Ia berjalan terus menjual karcis.

Cicalengka, aku teringat sebuah pesantren Qur’an terbaik. Ajengan Gudang pimpinannya. Darinya muncul Qari dan Qari’ah terbaik Jawa Barat.

Kemudian kareta memasuki Nagrek. Kelak kutahu, pemandangan terbaik dari atas kereta api Bandung-Surabaya ada di Nagrek ini. Rel kereta seperti dihimpit bukit di kiri kanan. Hutan pinusnya jarang dan bertumbangan mirip rambut di kepala mahasiswa yang baru diplonco. Kepulan asap perambah hutan di sana-sini. Sebagian tanah gundulnyayang dibakar berubah kecoklatan, ditanami singkong bertangkai merah. Deru mesin disel semakin keras, tapi kecepatan kereta tetap bertahan. Rupanya jalanan menanjak dan agak berkelok. Padi huma dan gubuk-gubuk saling berlarian. Kebun tanaman merambat berundak-undak rapi seperti deretan genting. Aku tidak menemukan seorang manusiapun. Seperti sebuah kampung digempur porak poranda ditinggal penghuninya. Sesekali suasana terang berubah gelap. Kereta masuk terowongan beberapa detik. Keluar terowongan, kereta membelah lereng bukit. Sebelah kanan tak ada pemandangan, sebelah kiri jurang dalam. Dari kejauahan tampak kota kecamatan Kadungora terhampar bagai lukisan di kartu pos. Padi menghijau dan menguning bervariasi.

Aku berdiri, berjalan dengan menyibakkan orang-orang dan berkelit diantara onggokan dagangan, berbelok ke kiri diantara sambungan gerbong. Sebuah pintu bertuliskan toilet kudorong dan terbuka. Bau pesing menyengat hidung. Sebuah lubang berdiameter 12 sentimeter dengan sisi-sisi kerak campuran lumpur, asap, air seni dan kotoran manusia mengering. Bantalan rel kereta yang melaju terlihat jelas melaui lubang itu. Suara derik besi beradu diselingi deru mesin diesel dan hentakannya berulang-ulang menambah sulit diriku mengeluarkan air di kantung kemihku.Sebuah pegangan besi membantuku menguatkan posisi. Tak lama setelah pikiranku tenang, aku kembali duduk dan memulai mereka-reka rencana masa depanku.

Aku bercerita pada Ustadz Hafidin telah menyelesaikan sepuluh cerpen dan sebuah novel. Semuanya belum pernah dimuat di media apapun. “Saya senang mendengar itu, Akh Luke, boleh saya ikut membacanya?”

“Kang Pidin akan membacanya dalam keadaaan tercetak di koran atau majalah. Sayang sekali saya belum berniat mengirimkannya . Tapi catatan yang lain Akang boleh membacanya, kalau Akang suka.”

Aku menyodorkan naskah Yang Chil Sung dan aku perhatikan air mukanya. “Akang boleh komentar sekarang juga, hanya jangan sebuatkan nama-nama yang saya tulis di situ,” kataku memperingatkan.

“Nah itu! satsiun Wanaraja, beberapa kilometer dari sini ada Lapangan kecil “Gelora Merdeka”! aku menunjuk-nunjuk.

“Ada apa dengan “Gelora Merdeka?” Kang Hadizin keheranan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun